SELAIN limbah industri, limbah manusia menimbulkan masalah. Yang paling merepotkan dari limbah para cucu Adam itu adalah limbah rumah sakit dan laboratorium. Padahal, dampaknya tak kalah ganas dengan sampah pabrik tekstil, misalnya. Hingga tahun 1992 -- ini berdasarkan laporan Departemen Kesehatan -- sebagian besar rumah sakit mengolah limbahnya dalam septic tank. Setelah diproses, limbah tersebut disedot dan dibuang ke tempat khusus, atau dialirkan ke perairan umum. Pemrosesan semacam inilah yang menimbulkan masalah lingkungan, seperti yang terjadi di RS Mitra Keluarga Bekasi, belum lama ini. Menurut harian Kompas, Tim Pemeriksa Pemda Bekasi telah menemukan sejumlah pelanggaran yang dilakukan RS Mitra Keluarga, di antaranya membuang limbah air ke saluran umum di Perumnas II Bekasi. Tak jelas, adakah hal itu benar atau tidak, namun satu hal yang cukup memprihatinkan juga adalah kenyataan bahwa hampir tak ada pengamat lingkungan, termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM), yang meneliti perkara limbah rumah sakit. Apalagi mengukur aman tidaknya hasil pengolahan limbah, seperti yang dilakukan Nurhalim Shahib. Kepala Bagian Biokimia FK Unpad dan staf PAU Bioteknologi ITB ini, sejak awal tahun 1992, meneliti septic tank serta buangan dari sejumlah rumah sakit dan laboratorium di Bandung. Hasilnya? Meskipun telah dilakukan klorinasi (mematikan kuman dengan bahan kimia klor), limbah cair buangan rumah sakit tadi masih mengandung bakteri dan jamur yang dapat menularkan penyakit kepada manusia. Lebih dari itu, bakteri ini ternyata menjadi resisten terhadap antibiotik. Malah, menurut Nurhalim, belakangan muncul infeksi nosokominial di beberapa rumah sakit. Akibatnya, orang yang datang berobat karena batuk justru di rumah sakit terkena bronkitis atau penyakit lainnya. Nurhalim mensinyalir, hal itu disebabkan oleh sistem pengolah limbah yang belum berfungsi optimal. Masalahnya, mengapa bakteri di rumah-rumah sakit menjadi resisten dan tak mudah dibasmi. Kenyataan inilah yang mendorong Nurhalim melakukan penelitian. Pria berusia 47 tahun ini menduga bahwa molekul DNA plasmidlah yang menjadi biang penyebabnya. Molekul DNA ini mengandung gen yang dapat memproduksi enzim yang mampu merusak antibiotik. Bila plasmid DNA tersebut berpindah ke bakteri lain, menurut Nursalim, ia menjadi bandel terhadap antibiotik tertentu. "Kita harus memutuskan rantai itu. Di antaranya dengan pengolah limbah rumah sakit yang berfungsi secara optimal," kata Nurhalim. Rasa ingin tahu Nurhalim menggiringnya untuk mencari teknologi yang pas dan ampuh dalam menanggulangi pencemaran limbah buangan rumah sakit. Tapi upaya ini cukup merepotkan, karena DNA plasmid tidak bisa dilacak dengan pemeriksaan mikrobiologi. Maka, pria yang pernah belajar tentang DNA di Inggris ini mencoba melakukan pendekatan bioteknologi dan biologi molekuler. Berbekal dana Rp 200 juta, selama tujuh bulan Nurhalim meneliti pembiakan bakteri, mengisolasi DNA plasmid, mengombinasikan suhu dan waktu, hingga teknik pendinginan secara mendadak. Temuan bioteknologi Nurhalim itu, pekan lalu, dibahas dalam Seminar Nasional Kedokteran Lingkungan di Bandung. Dalam penelitian Nurhalim, bakteri itu (diidentifikasi sebagai bakteri streptococus, e. coli, pseudomonan, dan lain- lain) diisolasi DNA plasmidnya. Proses berikutnya memusnahkan DNA plasmid itu dengan dipanaskan, kemudian didinginkan secara mendadak. Mula-mula dicoba dipanaskan dengan suhu 85 derajat Celsius selama 10 menit. Ternyata, beberapa bakteri masih hidup. Setelah beberapa percobaan lagi, terbukti dengan pemanasan 95 derajat Celsius selama 30 menit, disusul pendinginan ke dalam air 0 derajat Celsius (secara mendadak), DNA plasmid mati. "Jika semua bakteri limbah rumah sakit bisa dimusnahkan, salah satu faktor penyakit infeksi dapat dihilangkan," kata Nurhalim lagi. Penanggulangan limbah rumah sakit biasanya dilakukan lewat kolam penampungan, septic tank, diberi bahan kimia, kemudian diendapkan dan ditambah oksigen. Padahal, limbah rumah sakit sebagian besar berpotensi menularkan penyakit, karena mengandung bakteri dan kuman atau zat-zat yang dihasilkan kuman-kuman itu. Dalam limbah jenis ini termasuk potongan tubuh manusia, darah, urine, dahak, dan obat-obatan. Alat pengolah limbah canggih (yang mampu mencegah berkembang biaknya aneka penyakit) -- seperti yang dimiliki Rumah Sakit Dokter Soetomo, Surabaya - harganya mencapai Rp 1 miliar. Temuan Nurhalim ini -- telah didaftarkan ke Departemen Kehakiman dua tahun silam -- baru berskala kecil. Tapi seorang pejabat Departemen Kesehatan menyatakan keyakinannya, temuan itu dapat mengatasi masalah limbah rumah sakit, khususnya rumah sakit kelas C. Dari 1.500 rumah sakit pemerintah dan swasta di seluruh Indonesia, dalam catatan Ditjen Pelayanan Medik, hingga tahun 1992 baru 18 yang merencanakan pengadaan pengolah limbah. Kini, dengan adanya kasus-kasus pencemaran yang diakibatkan oleh limbah rumah sakit, apakah bukan sudah waktunya bila Departemen Kesehatan bersama-sama Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup merancang seperangkat ketentuan, khusus mengatur masalah limbah rumah sakit berikut sanksi-sanksinya?Bambang Aji dan Happy Sulistyadi (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini