SELAMA ini Tanjung Luar, Lombok Timur, dikenal sebagai kantong cumi-cumi oleh para nelayan. Tapi, itu dulu. Kini barangkali para nelayan akan sulit menggambarkan, bagaimana bentuk cumi- cumi kepada cucu mereka. Sebabnya, binatang laut itu nyaris tak ada lagi di sana. Muslim dan Suwarno -- dua nelayan yang ditemui TEMPO dua pekan lalu -- sekarang hanya bisa mengenangkan masa-masa melimpah- ruahnya cumi-cumi. Pada waktu itu, mereka masih bisa menjala 5 kuintal cumi-cumi setiap hari. Sekarang, tak seekor cumi pun menghampiri jaringnya. Yang diperoleh hanya ikan lemuru (Sardines longiceps) yang harga jual per kilonya tak sampai sepersepuluh harga cumi-cumi. Padahal, Oktober -- April biasanya merupakan musim panen cumi. Tapi dari tahun ke tahun, cumi-cumi makin langka. Menurut data di PPI (Pangkalan Pendaratan Ikan) Tanjung Luar, tahun 1988 masih didapat 1.350 ton cumi-cumi. Tapi tahun 1993, perolehan nelayan menyusut menjadi 80 ton. Ke manakah cumi-cumi bersembunyi? Menurut Kepala Dinas Perikanan NTB (Nusa Tenggara Barat), Soetomo Koesbandi, cumi- cumi terdesak oleh rombongan ikan lemuru yang menyerbu dari Selat Bali. Kemungkinan ini dikutip dari penelitian awal dari Bagian Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Departemen Pertanian. "Ikan lemuru itu sendiri bergeser karena pengaruh lingkungan, " ujarnya. Namun, masih belum jelas betul kenapa rombongan lemuru menggusur cumi-cumi. Boleh jadi karena perubahan arus bawah laut di perairan Selat Bali, Selat Lombok, dan Selat Alas. Perubahan arus ini mempengaruhi ketersediaan plankton -- salah satu makanan ikan lemuru. Pertemuan arus akhirnya membuat nutrian atau bahan makanan teraduk ke atas, hingga laut kaya akan makanan. Ini mengundang lemuru yang lalu mendesak cumi- cumi (Loligo sp). Kalau itu yang terjadi, masih lumayan. Artinya, populasi cumi-cumi belum terancam. Yang dikawatirkan ialah bila invasi lemuru terjadi, justru karena populasi cumi-cumi menipis. Akibatnya plankton, yang biasa disantap cumi-cumi, menjadi surplus karena konsumennya menyusut. Maka plankton yang tersisa ini jadi daya tarik bagi lemuru. Kalau asumsi itu benar, kenapa populasi cumi menyusut? Ada beberapa kemungkinan. Menurut Widodo, mungkin akibat pengaruh perubahan arus panas El Nino dari Amerika. Arus panas ini menyebabkan kematian cumi-cumi muda. Maka tak aneh bila kini sulit ditemukan cumi-cumi dewasa. Kemungkinan lain, Widodo melihat cara-cara penangkapan ikan yang dikerjakan para nelayan. Kalau ditelusuri, para nelayan mulai sulit menjaring cumi-cumi sejak 1988. "Ini sebenarnya akibat penangkapan terus-menerus. Dari hasil pengamatan, cumi- cumi yang akan memijah banyak yang ditangkapi. Akibatnya, pada musim berikutnya cumi yang berkembang makin sedikit, " ujarnya. Lebih parah lagi, tak sedikit nelayan yang "mengebom" laut dan menaburkan racun potas. Akibatnya, habitat telur cumi rusak. "Yang besar saja mati, apalagi yang kecil," kata Aris Kabul Pranoto, Kepala Dinas Perikanan Lombok Timur. "Saya kira Pemerintah harus memberlakukan ketentuan penangkapan ikan yang lebih ketat " kata Widodo. Misalnya, dengan mengatur musim tangkap sehingga potensi sumber daya cumi-cumi tidak habis. Dan alangkah menyedihkan bila erairan yang menjadi sumber penghidupan nelayan itu malah hancur akibat ulah mereka sendiri. Laut dan isinya memang boleh dieksploatasi, tapi juga harus dipelihara, karena ia adalah harta yang "dipinjamkan" oleh anak cucu kita.Gabriella Sugrahetty, Supriyanto Khafid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini