Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Sai baba, atau gado-gado agama

Inilah "gerakan" atau apa pun namanya yang mencampuradukkan agama-agama. pekan lalu, kelompok ini dicoret dari daftar organisasi keagamaan di Departemen Agama.

5 Februari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Aku datang ke dunia ini bukan untuk mendirikan suatu agama baru, bukan untuk menghancurkan atau mengganggu kepercayaan mana pun yang sudah ada...." KATA-kata itu diucapkan oleh Bhagawan Sri Sathya Sai Baba, 68 tahun, seorang tokoh spritual asal India. Ucapan dari tokoh yang berambut kribo, berbadan subur, dan selalu berjubah oranye itu menggambarkan misi yang dibawa olehnya: mempersatukan pemeluk dari berbagai agama tanpa mengubah agama mereka. Jadi, tak mengherankan bila di antara pengikut Sai Baba, di samping yang beragama Hindu, ada juga yang beragama Budha, Kristen, dan Islam. Di Indonesia, ajaran Sai Baba ini telah berkembang sejak tahun 1973, ketika kelompok itu belum berbentuk badan hukum. Hingga kini telah berdiri 20 pusat pengkajian Sai Baba, tersebar di Sumatera, Jawa, Bali, dan Lombok. Bila akhir-akhir ini, di Indonesia, nama Sai Baba mencuat ke permukaan, itu tidak lain karena surat dari Direktur Jenderal Bimbingan Massa Hindu dan Budha, Ketut Pasek. Surat bertanggal 14 Januari 1994 itu mencabut pendaftaran Yayasan Dewan Pusat Sri Sathya Sai (dan cabang-cabangnya), sebuah lembaga tempat bernaungnya para pengikut Baba di Indonesia. Artinya, lembaga itu tidak di bawah perlidungan Departemen Agama lagi. Hal itu meresahkan pengikut Sai Baba. Tanpa terdaftar di Departemen Agama, bisa saja kelompok ini dianggap liar. Dan dengan demikian bisa saja sewaktu-waktu kelompok ini dilarang melakukan kegiatan apa pun oleh kejaksaan tinggi. Ada dua alasan Ketut Pasek mencabut pendaftaran ini. Bila tetap terdaftar, Yayasan Sai Baba itu seolah-olah sama dengan agama-agama lainnya yang dilindungi Departemen Agama. Dan karena Sai Baba mengikutsertakan umat dari agama lain, "Ini bisa dianggap mengagamakan orang yang sudah beragama," kata Ketut Pasek. Di samping alasan-alasan resmi tersebut memang masih banyak alasan lain yang cukup menyudutkan kelompok Sai Baba. Misalnya, tentang penggunaan simbol semua agama di Indonesia. "Penggunaan itu terkesan mencampuradukkan agama-agama," kata Pasek. Dan memang dalam simbol yang digunakan Sai Baba ada tanda salib, bulan sabit, omkara, jantra, dan pohon terang simbol-simbol yang sudah melekat pada agama-agama tertentu. Dan bukan sekadar simbol. Di ruang semedi kelompok ini, misalnya di dinding Asram di Sunter, Jakarta Utara, terdapat gambar orang suci dari berbagai agama: Dewa-dewi Hindu, Budha Gautama, Yesus disalib, tulisan kaligrafi Muhammad dan gambar Ka'bah. Memang masalah ini pernah dipersoalkan oleh Majelis Ulama Indonesia Semarang setahun lalu (dan mengherankan, kenapa Majelis Ulama Indonesia pusat maupun daerah lain, dan pihak agama lain, tak mempersoalkannya). Dan itu sebabnya simbol- simbol dan gambar-gambar itu kemudian tidak terlihat lagi di dinding tempat ibadah Sai Baba di Semarang. Adalah pemujaan yang terlalu berlebihan pada Sai Baba, faktor lain yang menyebabkan sementara pihak keberatan terhadap kelompok ini. Dan keberatan itu antara lain datang dari Raka Santeri, seorang intelektual Hindu. Soalnya, Raka Santeri menyaksikan bagaimana gambar Baba dalam ukuran besar dan kecil selalu menonjol ketimbang dewa-dewa lainnya dalam Hindu. Seharusnya, kata Raka, "Sebagai seorang guru suci, ia jangan dipuja, tapi hormatilah sebagai guru," kata Raka yang baru saja mengunjungi Asram Sai Baba di Puttaparthi, India Selatan. Tapi, perlu dimaklumi, pemujaan memang tak lepas dari rasa terima kasih yang dalam dari seseorang terhadap orang yang dianggap menyelamatkannya. Itu, agaknya, dialami Nyonya Budi dari Singaraja. Ketika suami Nyonya Budi meninggal, ia mengalami syok sehingga sekujur tubuhnya terasa lumpuh. Malamnya, tiba-tiba muncul seorang lelaki berjubah oranye dan rambut kribo, duduk di tempat pemujaan di dalam kamarnya. Orang itu menyuruh Nyonya Budi mengusap tubuhnya dengan air bunga Wijaya Kusuma yang tumbuh di halaman rumahnya. Ia sembuh. Sejak itu, katanya, seluruh keluarganya menyerahkan diri pada kebesaran Sai Baba. Tampaknya, "kegaiban" semacam inilah antara lain yang menarik orang menjadi pengikut Sai Baba. Itu diakui I Komang Alit Sudiasna, wakil kelompok Sai Baba di Bandung. Umumnya, kata Sudiasna, pengikut Sai Baba berkembang secara cerita dari mulut ke mulut atau karena buku tentang Sai Baba, khusus ikhwal tentang keajaiban yang bisa dilakukannya. Hal itu dibenarkan oleh Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus, seorang cendekiawan Hindu, "munculnya Baba seiring dengan tumbuhnya keinginan sebagian besar manusia akan mukjizat." Raka Santeri mengatakan, Sai Baba terlalu menonjolkan kesaktian. Padahal, kata Raka pula, hakikat agama bukan pada kesaktian itu, tapi penghayatan pada Yang Esa. Raka pun mengkhawatirkan kelompok Sai Baba, pada masa mendatang, berubah menjadi sebuah sekte dalam agama Hindu. Tapi, Wayan Djendra, Koordinator Studi Sai Sathya Wilayah V (Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur) membantah kemungkinan tersebut. "Sai Baba bukan aliran atau sekte atau sempalan, tapi ini hanya pusat studi Weda," kata Wayan Djendra. Bahkan, menurut istilah Ketut Wiana, Wakil Sekjen Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, lewat studi Sai Baba ini umat Hindu bisa menyeterum kembali akinya agar benar-benar menjadi orang Hindu sejati. Soalnya, seperti diakui oleh Wayan Djendra, yang menjadi daya tarik pada Sai Baba adalah kajiannya tentang hal-hal praktis, tidak melambung di awang-awang, dan tetap berdasarkan ajaran Weda. Itulah yang dialami Gusti Rai Pujayasa, 40 tahun. Selama ini, katanya, buku-buku yang mengupas Hindu, Bhagawadgita dan Upanishad, misalnya, sangat susah dipahami. Setelah membaca buku-buku Baba, kata Rai Pujayasa, terasa betapa mudahnya mempelajari Hindu. Tampaknya, Rai memang tak berlebihan. Soalnya, yang diajarkan Baba, seperti yang dikatakan Lachman Vaswani, Ketua Yayasan Sri Sathya Sai Indonesia, kepada Nunik Iswardhani dari TEMPO, betapa "mudah"-nya menemukan sikap hidup berdasarkan lima tahap nilai sebagaimana diajarkan Sai Baba: kebenaran, kebajikan, cinta kasih, kedamaian, dan tanpa kekerasan. Kelima nilai kemanusiaan itu bisa dicapai oleh pengikut Baba secara bertahap. Setelah orang melaksanakan kebajikan, ia akan menemukan kedamaian, dan seterusnya. "Kebajikan tertinggi adalah tanpa kekerasan," kata Sudiasna kepada Asikin dari TEMPO. Sikap itu, oleh para pengikut Sai Baba, mereka wujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dalam bentuk kunjungan ke panti jompo, panti asuhan, penjara, dan donor darah. Bahkan, kelompok Baba di Semarang, dalam dua tahun ini, membagi-bagikan zakat fitrah kepada 150 orang yang kurang mampu, masing-masing berupa sepotong kain, 5 kg beras, gula, dan teh. "Dana itu kami kumpulkan dari anggota," kata Sri Wahyuni, seorang pengusaha dan pengurus Sai Baba, kepada Bandelan Amarudin dari TEMPO. Kini, yang menjadi persoalan, ikutnya pemeluk agama lain dalam kelompok Sai Baba. Soalnya, ajaran Baba ini mengakar pada kitab Weda, kitab suci umat Hindu. Dan sejak 21 Januari, Yayasan Sai Baba berada di bawah naungan Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat.Julizar Kasiri dan Putu Fajar Arcana (Denpasar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus