BILA sebuah telaga dalam bahasa Sunda disebut situ lenyap dari muka bumi, apakah ini bisa dikatakan sebagai salah satu tanda-tanda zaman? Mereka yang optimistis kira-kira akan menjawab sambil bergurau tentu saja bahwa memang itu tanda- tanda kedatangan abad ke-21. Sebaliknya, orang yang pesimistis akan dengan prihatin menyatakan bahwa inilah awal kehancuran sebuah ekosistem. Kalau mau bicara jujur, sebaiknya kita meminjamkan telinga untuk suara yang pesimistis. Kondisi kritis yang menimpa Situ Rawa Danau terletak 45 kilometer arah barat daya Kota Serang, Jawa Barat mengharuskan hal itu. Mengapa? Telaga yang juga dianggap rawa itu oleh Asian Wetland Bureau disebut sebagai rawa terunik di dunia luasnya semakin menyusut, kedalamannya kian mendangkal. Kalau gejala kemerosotan itu tidak dicegah, untuk kesekian kalinya Indonesia akan kehilangan anugerah alam yang tidak pernah ada gantinya. Itulah. Arkian, berdasarkan penelitian Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Jawa Barat, dalam dua puluh tahun, luas Situ Rawa Danau menyusut drastis dari 100 hektare menjadi tinggal 11 hektare. Jadi, dalam dua dasawarsa, sebuah telaga yang lumayan luas menciut sampai 90%. Dan keadaannya terasa lebih parah kalau diingat, sebelum Perang Dunia II, luas rawa itu 300 hektare. Tapi dua tahun lalu, berdasarkan potret udara dari Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (Dirjen PHPA), Situ Rawa Danau sudah terpecah dua. Satu bagian terletak di Padaricang seluas 9 ha, dan bagian yang lain di Pabuaran seluas 2 ha. Kedua bagian rawa itu dipisahkan oleh jarak 15 km yang permukaannya penuh ditutupi eceng gondok. Agaknya cukup beralasan bila pihak KSDA menyuarakan kekhawatirannya. Begitu pula Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat, yang belakangan giat memantau kondisi rawa tersebut. ''Rawa Danau termasuk langka. Karena itu, penyempitan di Rawa Danau harus cepat ditangani,'' kata Kasub KSDA, Tubagus Unu Nitibaskara. Puncak keunikan rawa itu adalah posisinya yang terletak pada ketinggian 90 meter di atas muka laut. Wajarlah bila pemerintah kolonial Belanda sejak tahun 1921 sudah menetapkannya sebagai cagar alam. Salah satu alasannya, barangkali, rawa ini punya arti penting bagi habitat yang terdapat di sekitarnya. Menurut catatan Yayasan Indonesia Hijau, terdapat sekitar 77 jenis burung di sana. Boleh percaya boleh tidak, kabarnya, buaya putih juga terdapat di rawa itu. Selain itu, ada tanaman langka seperti pohon jajaway, gempol, dan gagabusan. ''Tumbuhan endemik itu terbatas jumlahnya,'' kata Tubagus Unu. Tapi karena eceng gondok dan rumput merajalela, pihak KSDA mencemaskan nasib pohon-pohon tersebut. Apalagi masyarakat ikut ambil bagian dalam perusakan Rawa Danau. Maksudnya? Menurut KSDA, penyempitan Rawa Danau terjadi karena terganggunya catchment area (daerah tangkapan air). Memang, Rawa Danau punya sumber airnya sendiri, yaitu mata air di Gunung Karang, Tukung Gede, dan Wangur. Namun, dalam beberapa tahun terakhir ini, gunung-gunung itu, astaga, mengalami erosi berat. Penyebabnya adalah kebiasaan penduduk dalam perladangan berpindah. Seiring dengan itu, penebangan pohon yang berlebihan telah mengganggu kelangsungan fungsi hidrologis lingkungan di sana. Maka, selain menuangkan air (berupa mata air), gunung-gunung juga mengirim tanah lumpur. Tebalnya endapan lumpur itulah yang mempercepat pendangkalan. Ancaman dari erosi sebenarnya sudah diendus Pemerintah. Tahun 1985, untuk kepentingan konservasi lingkungan, Pemerintah memindahkan 750 kepala keluarga yang bermukim di tengah kawasan cagar alam ke tempat lain. Tapi, setelah kosong, daerah itu tidak segera ditanami pohon. Nah, ketika musim hujan tiba, erosi pun tak terhindarkan. Masih ada faktor perusak lain yang banyak dipertanyakan yakni penyedotan air oleh PT Krakatau Steel (KS). Tudingan itu dilontarkan oleh KSDA dan Walhi Ja-Bar, yang sudah tiga kali melakukan penelitian ke Rawa Danau. Syahdan, untuk memenuhi kebutuhan airnya, sejak tahun 1975 pabrik baja ini diberi izin menyedot air dari rawa tersebut. Dan Walhi Ja-Bar menuding KS telah menyedot 5.000 meter kubik per detik dari Rawa Danau. Sebagian air itu, menurut Dynno Chressbon dari Walhi Ja-Bar, selain dipakai sendiri, oleh KS juga dijual ke industri- industri lain seperti PT Asahimas Subentra, PT Krakatau Industrial Estate Cilegon, dan PT Latinusa. Bahkan, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Cilegon dan PLTU Suralaya juga membeli air KS. ''Jelas PT Krakatau Steel harus bertanggung jawab atas eksploitasi itu. Kalau tidak, kami akan melakukan boikot,'' kata Dynno. Ancaman itu tak main-main. Pihak KSDA akan melaporkan KS ke Departemen Kehutanan dan membuat papan larangan penyedotan air. ''Selama ini protes kami tak pernah ditanggapi pihak PT Krakatau Steel,'' kata Tubagus Unu. Dan Walhi akan menggunakan Indonesia Committee for Environment serta LSM-LSM luar negeri. Menurut Dynno, pihaknya akan menekan pemerintah Brasil agar tidak menjual bijih besi kepada KS. Ia juga akan menyerukan agar perusahaan kereta api di Eropa tidak menggunakan baja buatan KS. ''Kami akan mengumpulkan 3 juta surat untuk memprotes cara-cara PT Krakatau Steel,'' kata Dynno, keras. Walhi Ja-Bar juga menuding bahwa PT KS mengoperasikan penyedotan air melalui sumur bor di Cidanau. Namun, diakui pula bahwa belum jelas korelasi sumur bor dan ruang bawah tanahnya dengan penyusutan air Rawa Danau. Yang jelas, tuduhan Walhi dibantah oleh pihak KS maupun Pemda Jawa Barat. Direktur Utama PT Krakatau Steel, Soetoro Mangoensoewarso, mencoba meluruskan persoalan. Katanya, air yang disedot KS berasal dari Cidanau, 15 km arah barat Rawa Danau. Dari situ, air dipompa sejauh 27 km ke penjernihan air di Waduk Kreceng, baru kemudian didistribusikan ke pabrik KS maupun dijual ke sejumlah pelanggan. ''Jadi, tidak benar kami menyedot air langsung dari Rawa Danau,'' kata Soetoro. Dari pemantauan wartawan TEMPO, sebelum ditampung di Cidanau, air buangan dari Rawa Danau itu melewati Curug Bitung, kemudian bermuara di Selat Sunda. Dengan demikian, bukan tidak mustahil penyempitan Rawa Danau tak ada sangkut pautnya dengan penyedotan air oleh KS. Tapi, soal penjualan air, Soetoro tidak membantah. Saat ini KS menyedot air buangan rawa sebanyak 1.200 liter per detik. Dari jumlah itu, 800 liter per detik dipakai sendiri oleh pabrik KS. Selebihnya dijual ke PDAM (Rp 65 per liter) dan ke industri yang ada di Cilegon (Rp 600 per liter). ''Itu sebagai ongkos pengolahan air,'' kata Soetoro. Untuk pengambilan air, selama tahun 1993 KS menyetor retribusi kepada Pemda Serang sebesar Rp 350 juta. Terlepas dari masalah penyedotan oleh KS, masalah utamanya ialah siapa yang bertanggung jawab atas pendangkalan Rawa Danau. Menurut Tubagus Unu, bagaimanapun, KS tetap harus ikut bertanggung jawab. Ia berpijak pada Pasal 4 UU No. 5/90 tentang KSDA dan ekosistem. Hal ini dibenarkan oleh Wakil Gubernur Jawa Barat, Karna Suwanda. ''Mereka sudah datang kepada saya dan siap membantu,'' kata Karna. Pemda Jawa Barat sendiri, kabarnya, sudah siap melakukan pengerukan dan pemberatan eceng gondok. Tapi, menurut Tubagus Unu, pengendalian eceng gondok harus dilakukan secara biologis. Ia berpendapat, sebaiknya disebarkan kumbang dan bakteri ke seantero rawa. ''Untuk mematikan gulma-gulma itu,'' katanya. Apa pun caranya, Rawa Danau memerlukan tindak penyelamatan yang terencana dan terpadu. Dan sesegera mungkin. Bambang Aji, Happy Sulistiadi, Taufik Alwi, dan Ahmad Taufik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini