SELAIN soal santet, Rencana Undang-Undang (RUU) Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) punya pasal lain yang cukup penting. Yakni soal menghasut orang lain berpindah agama, yang tercantum pada Pasal 261. Pasal itu menjadi topik pertemuan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Sabtu dua pekan lalu. Pasal bernomor 261 dalam RUU KUHP itu menyebutkan bahwa menghasut atau meniadakan keyakinan atau kepercayaan terhadap agama bisa dipidanakan. Yang kemudian menjadi masalah, menurut Dr. Barda Nawawi Arief, S.H., pembicara utama di Universitas Muhammadiyah itu, karena menghasut di situ mencakup ''penyiaran agama kepada orang lain yang beragama lain.'' Yakni bila ''yang dimaksudkan dengan penyiaran agama itu adalah membuat orang lain tak lagi meyakini agamanya.'' Dan penyiaran agama, ''sering menjadi pemicu pertentangan di antara umat beragama, karena itu hal ini perlu dicegah,'' kata Barda, salah seorang anggota tim perumus RUU KUHP itu. Jelasnya, ''ketenangan dan kerukunan beragama perlu mendapat perlindungan hukum.'' Dan sebenarnya, masih menurut Barda, sebagian besar tokoh agama tak setuju dengan penyiaran agama kepada orang yang beragama lain. Ia mengutip hasil penelitian Supanto, dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Solo, yang tercantum dalam tesis masternya di Fakuktas Hukum Universitas Diponegoro. Dari penelitian itu disimpulkan bahwa lebih dari 50% tokoh Islam, 70% tokoh Katolik, dan 60% tokoh Protestan yang dijadikan responden menyatakan tak setuju terhadap penyiaran agama kepada orang lain yang berbeda agama. Tapi, kata Barda dalam pertemuan itu, untuk mempidanakan mereka yang dituduh melanggar Pasal 261, diperlukan syarat: perbuatan itu dilakukan di depan orang banyak. Karena itu seorang suami, misalnya, yang menganjurkan atau mengajak istrinya berpindah agama tak termasuk melanggar Pasal 261. Juga guru agama di sekolah-sekolah Katolik tak bisa dituduh sedang menghasut andaikan di antara para murid ada yang beragama lain. Sebab, menurut lazimnya, mereka yang masuk ke sekolah Katolik sejak awal sudah tahu bahwa mereka juga diminta mengikuti pelajaran agama (Katolik) di sekolah itu. Jadi, bagaimana dakwah atau penyebaran agama dilakukan tanpa risiko dituduh melanggar Pasal 261? Atau penafsiran Barda terhadap pasal itu berlebihan? Dr. Eka Darmaputera, salah seorang ketua Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) Pusat, berpendapat bahwa penafsiran Barda itu bertentangan dengan Pasal 29 UUD 1945, yang menjamin kemerdekaan memeluk agama masing-masing. ''Itu berbahaya bagi perkembangan dakwah dan pekabaran Injil,'' kata Eka Darmaputera. Bagi orang Kristen, katanya pekabaran Injil itu merupakan bagian dari akidah. ''Kabar baik itu harus disampaikan kepada semua orang. Itu dilakukan dengan sopan, menghormati semua orang, dan tidak ada paksaan atau keterpaksaan.'' Adalah Y.B. Mangunwijaya, seorang pastor yang juga arsitek dan novelis yang bermukim di Yogyakarta. Romo Mangun, demikian panggilan akrabnya, mengakui penyiaran agama ada kalanya menimbulkan konflik. Sebab, di antara umat beragama yang menyiarkan agama kepada pemeluk lain, ada yang caranya dilakukan dengan tidak sopan. ''Tapi mereka adalah minoritas di antara minoritas,'' kata Romo Mangun. Jumlah yang kecil ini tak bisa dijadikan generalisasi, katanya pula. Singkat kata, Romo Mangun menganggap tak perlu ada pasal dalam KUHP yang mengatur penyiaran agama. Katanya kepada Mochamad Faried Cahyono, wartawan TEMPO, ''Soal agama janganlah ditatanegarakan.'' Azhar Basyir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, sependapat dengan Barda. ''Saya bahkan sangat setuju jika menghasut orang yang sudah beragama untuk meninggalkan agamanya diatur dalam undang- undang,'' katanya. Sebab, umat Islam tidak boleh dimurtadkan. Memurtadkan dirinya sendiri, sanksinya di akhirat. Tapi, jika ada orang yang memurtadkan orang lain, kata Azhar, ia sangat layak dikenai hukuman di dunia. Menurut Azhar, Pasal 261 itu tak akan membatasi penyiaran agama. Dakwah tetap bisa dilakukan, misalnya melalui televisi atau koran, yang audiensnya jelas dari berbagai agama. Sebab, makna dakwah adalah ''menawarkan kebenaran, bukan menghasut orang,'' katanya pula. Sebenarnya, dalam hal ini Azhar sejalan dengan Eka Darmaputera, yang mengatakan, seperti sudah dikutip, ''kabar baik harus disampaikan kepada semua orang.'' Sampai di sini menjadi jelas, yang perlu dijernihkan adalah istilah ''menghasut'' dan ''menyiarkan agama''. Ada yang menafsirkan, dua kata itu sudah dengan sendirinya mengandung perbuatan memaksa, menjelek-jelekkan, dan hal yang negatif lainnya. Yang lain bilang, misalnya Prof. Dr. Muladi, ketua Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia, kata ''menghasut'' itu netral. Karena itu, menurut Muladi, orang yang ''menghasut'' baru bisa diseret ke pengadilan jika dalam ''menghasut'' itu ''disertai dengan menjelek-jelekkan agama lain''. Dan pasal yang bakal menyeretnya adalah pasal penghinaan terhadap agama. Tampaknya, nanti, Dewan Perwakilan Rakyat yang akan membahas RUU KUHP ini mesti mendengarkan banyak pendapat sebelum menolak atau menyetujuinya, untuk hal yang cukup peka di Indonesia ini. Julizar Kasiri (Jakarta) dan Heddy Lugito (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini