PERAMPOKAN, pembunuhan, atau perkelahian hampir tidak pernah sepi di Sumatera Bagian Selatan. Dan bedil buatan lokal bernama kecepek sering pula bicara. Tahun lalu, misalnya, dua orang tewas ditembus pelor kecepek di Musi Rawas. Ancaman hukuman 20 tahun penjara bagi pembuat atau pemakai senjata api itu tampaknya tidak membuat jera. Pembuatan senjata lokal itu malah meningkat. Rabu pekan lalu, Pangdam Brawijaya Mayor Jenderal Syamsiar Siregar mengatakan, Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional Daerah (Bakorstanasda) menyita hampir 1.500 bedil dan pistol. ''Senjata itu jauh di bawah standar senjata ABRI, tapi bisa mematikan,'' kata Letnan Kolonel Malian Syahri, Kepala Dinas Penerangan Kodam II Sriwijaya, kepada Ali Fauzi dari TEMPO. Lumbung kecepek adalah di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) dan Muara Enim. Sebanyak 78 kelompok pandai besi di OKI bisa dikatakan mampu membuat senjata. Ini ada riwayatnya. Dulu, nenek moyang mereka membuat senjata itu untuk mengusir penjajah. Setelah kemerdekaan, senjata ini dipakai untuk memburu babi. Belakangan, kecepek dipakai untuk kejahatan. Karena itu, Polda Sumatera Bagian Selatan sering mengadakan razia. Dalam Operasi Curas 1992 dan Pelatuk 1992 disita hampir 850 senjata. Tersangkanya 119 orang. Di antara perajin kecepek itu adalah Rizal. Jebolan kelas II jurusan mesin STM yang berusia 31 tahun ini semula membuat pistol kecepek hanya iseng. Awal Oktober 1992, penjaga malam yang bergaji Rp 100.000 itu mengamati pistol mainan anaknya. Lalu ia membeli lempengan baja untuk bodi, pipa lampu petromaks untuk laras, dan timah untuk kepala peluru. Amunisinya diambil dari pentol korek api. Sebagai pemantik api untuk membakar amunisi dan memelesatkan pelor dipakai dua atau tiga ''obat'' pistol mainan. Setelah dicobanya, peluru itu bisa menerjang 25 meter. Kemudian pistol buatannya itu ditembakkan ke seekor babi hutan. Dor. Mati. Tetangganya lalu memesan senjata buatan Rizal. Laku 8 buah. Dengan modal Rp 15.000, pistol itu dijual Rp 40.000. Hasil jualannya itu, menurut Rizal, untuk memenuhi kebutuhan dapur. Kini ayah dua anak itu dipenjara dua tahun. Di Polda Jawa Barat, razia senjata api juga digalakkan. Sebelum ini, Kepolisian Wilayah Kota Besar (Polwiltabes) Bandung telah menangkap empat pembuat dan pemakai senjata api. Penangkapan itu berawal dari perkelahian mahasiswa di Riung Bandung yang mengakibatkan seorang mahasiswa tewas. Dua pistol disita dari mereka. Kemudian disusul oleh seorang pelajar SMA di Bandung, Juli lalu, yang menewaskan temannya. Dengan gaya koboi, pelajar tadi memainkan pistol cis kaliber 22. Ia mengarahkannya ke pelipis Wahyu Hermawan, 15 tahun. Pada tarikan pelatuk ketiga, pistolnya meledak. Temannya itu terkapar. Setelah diteliti, ternyata pistol itu hasil modifikasi pistol angin di Cipacing tempat perajin senapan angin di Bandung. Sehabis itu, Polwiltabes Bandung melakukan razia. Disita 12 pistol FN dan senapan modifikasi. Senapan angin kaliber 4,5 mm, misalnya, diubah menjadi kaliber 5,5 mm bisa menewaskan orang. Menurut Letnan Kolonel Astin Alimudin, Kepala Satuan Reserse Polwiltabes Bandung, kepada Asikin dari TEMPO, senjata sitaan itu belum dipakai untuk merampok. Ada pula yang membeli senjata untuk meredam maling. Contohnya, Ngaripan, 75 tahun, yang selama ini dikenal sebagai dukun. Di awal September lalu ia menembakkan senapannya ke buah mangga di depan rumahnya. Dari lima pelor yang didorkan, hanya satu yang kena. Warga Desa Bongeran, di pinggir hutan jati Bojonegoro-Ngawi, Jawa Timur, itu jadi bengong melihatnya. ''Kok Mbah Ngar punya bedil, ya?'' kata mereka. Lalu warga melapor ke polisi. Ngar ditangkap. Senjata itu dibelinya Rp 100.000 dari Wardoyo di Ngawi. ''Untuk jaga-jaga, Pak. Di desa saya banyak maling,'' katanya. Ngar juga menyebutkan yang membeli senjata adalah Jumadi, Cokarno, dan Nasrip. Polisi lalu menangkap mereka. Jumadi memiliki pistol kaliber 9 mm berikut 25 butir pelor. Ia membeli senjata itu karena sering diminta membantu menjaga hutan oleh mantri hutan. Cokarno membeli senjata jenis SKS kaliber 7,62 mm untuk memburu babi hutan di ladangnya. Tapi, dari 30 peluru yang dipakai untuk latihan, tak satu pun mengenai sasaran. Adapun Nasrip memiliki bedil jenis SKS, tanpa pelor, Rp 75 ribu untuk dipajang di rumahnya. Senjata tadi dibelinya dari Suyitno, purnawirawan pembantu letnan satu Angkatan Udara. Sejak pensiun empat tahun lalu di Skuadron Teknik di Pangkalan Udara Iswahyudi, Maospati, Suyitno, 54 tahun, membuka jasa memperbaiki senapan angin rusak. Belakangan, ia menerima pesanan senjata api. Bahan utama, seperti laras senjata, diperoleh dari rongsokan di tempat dinasnya. Pelurunya didapat dari sisa ketika ia sepuluh tahun lalu bertugas di Timor Timur. Ia mengaku uang pensiunnya, Rp 220.000 sebulan, dirasa kurang. Apalagi, biaya pengobatan penyakit hernia dan kencing manis yang dideritanya tidak sedikit. ''Saya tak tahu akibatnya begini,'' katanya. Guarto, 48 tahun, pekan lalu juga ditangkap polisi. Pemilik bengkel sepeda motor itu diduga menjual senjata dua laras M-16 kepada Suyitno seharga Rp 60 ribu. Senjata yang disita itu, menurut Letnan Kolonel Tri Waluyo, Kapolres Bojonegoro, belum terbukti dipakai untuk kejahatan. Widi Yarmanto dan Zed Abidien (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini