Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Gunting Asia Masih Tajam

Beberapa negara Asia Tenggara telah menjalankan sistem pengklasifikasian tapi tetap melakukan sensor dengan cara menggunting. Me-rating tapi tak memotong baru ada di belahan dunia Barat.

7 April 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

This one is PG That one is G This one is R(A) You cannot see You’re only old enough After army This is Singapore Censorship is free’

Lirik di atas akan makin lucu kalau kita akrab dengan irama We Are Singapore, lagu nasional populer di Negeri Singa itu. Satire dan bisa bicara banyak.

Itulah kode klasifikasi film yang berlaku di negeri tersebut. PG adalah bimbingan orang tua. Sementara itu, G adalah semua umur dan R(A) artinya boleh ditonton 18 tahun ke atas (pada 2008 ini, pagu usianya dinaikkan menjadi 21 tahun ke atas). Royston Tan, 31 tahun, sutradara film asal Singapura, adalah orang yang mempopulerkan lagu di atas dalam Cut (2004), film musikal satire yang meledek Dewan Sensor Singapura.

Cut adalah respons marah Tan saat Dewan Sensor Singapura menetapkan setidaknya 27 adegan dari film sebelumnya, 15 (2003), mesti enyah agar bisa lolos dengan kategori R(A). Padahal 15 justru bicara tentang fenomena antikemapanan: sekumpulan anak muda bergajul, pemakai narkoba yang brutal di tengah masyarakat Singapura yang licin dan steril.

Dengan Cut, Tan mengolok-olok Dewan Sensor dan Amy Chua, salah seorang pejabatnya. Untuk membuatnya, ia dibantu hampir 200 orang dari komunitas kreatif di negeri jiran itu. Tan adalah simbol anak muda yang ”melawan”. Hampir 30 karyanya berbicara tentang kemiskinan, AIDS, dan penyakit sosial. Ia diganjar lebih dari tiga lusin piala internasional sejak 1995. Majalah Time menobatkannya sebagai satu dari 20 orang muda Asia yang fenomenal.

Usaha Tan mendongkel pintu sensor di Singapura masih jauh dari berhasil. Film 15 milik Tan menjadi korban sistem klasifikasi film di Singapura, yang menurut kritikus film Singapura, Philip Chea, pengkategoriannya justru semakin ketat. ”Sekarang distributor dan pembuat film justru melakukan self-censorship demi mengejar kategori tertentu,” katanya kepada Tempo.

Singapura adalah contoh negara Asia yang galak menerapkan saringan film bagi publik. Meskipun Singapura mengatasnamakan lembaga peratingan, hal itu tetap tak ada bedanya dengan lembaga gunting yang tajam. Lembaga sensor film yang kuat sebagai perpanjangan tangan pemerintah pada umumnya menjadi fenomena negara-negara di Asia.

Setali tiga uang dengan Singapura, Malaysia pun memberlakukan sistem ”golong dan gunting” yang ketat. Namanya Lembaga Penapisan Filem. Ia bertugas menjaga ”keselamatan negara dan keharmonian kaum”. Namun, berbeda dengan Singapura yang menerapkan sejumlah kategori umur, Malaysia hanya mengenal empat kategori: lulus bersih, lulus dengan potongan, haram, dan ditolak.

Sejumlah film yang dilarang muncul di Malaysia antara lain The Passion of the Christ (2004), yang dilarang dipertunjukkan bagi penonton nonkristiani, Brokeback Mountain (2006), kisah cinta dua koboi homoseksual di Amerika Serikat, Rambo, dan The Simpson.

Akan halnya di Thailand, urusan seks dan buka-bukaan boleh longgar, tapi jangan pernah sentuh seujung kuku pun keluarga kerajaan. Media massa di Thailand, entah surat kabar, televisi, radio, entah film, terikat dengan lese majeste, yakni larangan penghinaan terhadap raja dan keluarganya yang tercantum bahkan hingga di konstitusi mereka.

Masih ingat tentang kisah Anna Leonowens, guru privat asal Inggris yang disewa untuk mendidik anak-anak Raja Mongkut pada 1860? Tak satu pun dari film Anna and the King of Siam yang diproduksi pada 1946 atau rilis ulangnya, Anna and The King, pada 1999 yang dibintangi Chow Yun Fat dan Jody Foster itu yang boleh ditonton warga Thailand. Hal yang sama juga menimpa pertunjukan teater The King and I.

Adapun Filipina, dengan Da Vinci Code, yang diperkirakan membuat penduduk di negeri yang mayoritas Katolik itu berang, ternyata bergeming. Film yang bersandar pada interpretasi alternatif terhadap sosok Maria Magdalena tersebut hanya diprotes keras oleh seorang pastor senior. Namun, tidak demikian halnya dengan konferensi wali gereja seluruh negeri, yang menyatakan film itu ”urusan uang, bukan agama”.

Menariknya, kategori X, yang artinya larangan muncul, pernah menempel pada sebuah film dokumenter tentang bekas presiden Joseph Estrada pada 2006. Menurut Lupon sa Pagrerepaso at Pag-uuri ng Sine at Telebisyon alias Dewan Peninjauan dan Klasifikasi Film dan Televisi, bagian film itu yang menunjukkan revolusi 2001 dianggap bisa menimbulkan ”perlawanan politik”.

Memang, bila ingin mencari acuan bagaimana seyogianya lembaga peratingan beroperasi, harus dilakukan di luar Asia. Lembaga peratingan memang sudah eksis di Asia, tapi dalam kinerjanya ia tetap menggunting.

Lembaga klasifikasi di Inggris boleh jadi rujukan yang bagus. Mira Lesmana pun menunjuk Lembaga Klasifikasi Film di Inggris bisa dijadikan model. Kepada Tempo, Ben Slater, kritikus film asal Inggris yang kini bekerja di Singapura, menyatakan memang British Board of Film Classification semata-mata menggolongkan sesuai dengan namanya. Lembaga itu sangat jarang memotong. Menurut Ben, terdapat hingga sembilan kategori dalam klasifikasi itu dan tujuh di antaranya diperuntukkan bagi kategori khusus bagi anak-anak.

Meskipun demikian, Negeri Union Jack ini bukannya tak pernah menggunting sama sekali. Inggris pernah memotong The Fight Club (1999) yang dibintangi Brad Pitt karena adegan kekerasannya. Dari situs online mereka, hampir 2 persen dari 4.000-an film yang mereka tengok kena gunting.

Bagaimana dengan adegan-adegan erotis? Memang, di Inggris atau Amerika tak ada persoalan dengan film-film beradegan sensual bahkan film biru. Meskipun demikian, undang-undang di sana memperhatikan film-film agar tidak mencakup sejumlah hal, seperti pemerkosaan, adegan seksual dalam ancaman, seks yang melibatkan anak-anak, dan pelecehan.

Misalnya di Amerika. Di sana film bersandar pada Amendemen Pertama, jaminan kebebasan berekspresi dalam konstitusi Amerika. Pengadilan Amerika menyatakan Amendemen Pertama melindungi pornografi yang indecent (tak pantas), tapi bukan yang obscene (cabul). Mereka yang terbukti menyebarkan pornografi yang disebut belakangan bisa menghadapi hukuman penjara dan perampasan aset.

Publik Amerika yang terkenal sadar hukum pun mudah mengajukan tuntutan hukum perdata bila mereka curiga suatu produk film atau video dianggap cabul. Tapi bagaimana membedakan yang tak pantas dengan yang cabul sangat bergantung pada konteks, publik penonton, dan lokasi mengingat setiap negara bagian bisa menerapkan putusan hukum yang berbeda.

Akan halnya Kanada, ini dia! Di negeri paling utara di Benua Amerika itu, lembaga peratingan sudah lama mencopot giginya untuk urusan seks. Kebebasan untuk film seks bahkan lebih longgar daripada tetangganya, sang empunya Hollywood. Kewajiban mereka adalah sekadar menempatkan film di bawah kategori umur, demikian pula dengan film-film biru.

Di Kanada, kasus tuntutan publik terhadap ihwal pornografi jarang terdengar. Yang muncul justru bukan urusan seks, melainkan tentang tayangan yang rasis atau yang menyajikan kesan stereotipe buruk bagi suatu ras tertentu. Kanada bahkan berani menayangkan film-film yang biasanya tayang larut malam di Amerika pada jam-jam lebih awal, seperti serial mafia yang terkenal dengan adegan seks dan kekerasannya, The Sopranos, dan rangkaian serial satir bedah plastik Nip/Tuck.

Kurie Suditomo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus