Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kisah Tukang Sulap di Gedung Film

Mekanisme yang tak jelas untuk mendapatkan surat tanda lulus sensor merupakan lahan usaha yang subur bagi para calo dan menjadikan LSF rawan penyuapan.

7 April 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tanda larangan merokok menempel di dinding. Tapi ia tak peduli. Ia seperti gelisah, sibuk mondar-mandir, menelusuri salah satu lantai Gedung Film, sambil membawa seberkas sensor film impor. Pertengahan Maret lalu Tempo mengaku membutuhkan uluran tangannya untuk mendapatkan sensor yang menyangkut adegan seseorang dengan rokok terselip di tangan, asap sigaret pekat mengepul di atasnya. Pembicaraan pun terjadi. Berikut ini petikannya.

”Mau urus sensor? Ya, tiga hari, Rp 250 ribu, deh.”

”Kalau mau cepat, hubungi saya. Nama saya Xxx. Telepon kantor enggak perlu. Catat saja HP saya, 081xxx... enggak pernah mati, kok.”

”Saya bukan calo, lo ya, saya pegawai negeri. Tapi situ kan mau minta tolong, ya, saya bantu. Kita sama-sama enak, deh....”

”Kalau situ enggak punya izin usaha perfilman, ya, pakai perusahaan orang lain saja. Rp 300 ribu per judul.”

”Di sini banyak calo? Ya, mereka sudah puluhan tahun di sini. Biarin, deh, kalau enggak boleh justru dia merampok....”

”Waduh, kalau yang kejar tayang itu biasanya punya PH-PH besar. Dia punya karyawan ditaruh di sini. Dari pagi sampai sore....”

Ia bisa mempersingkat hal yang berlarut-larut, menyulap yang sulit jadi mudah, bahkan mengubah yang mustahil jadi mungkin. Ia, misalnya, bisa membantu mengambilkan berkas formulir sensor dengan cepat.

Ya, mekanisme pemasukan film ke Lembaga Sensor Film (LSF) melalui Sekretariat Film, yang tanpa prosedur baku, membuat ia dan kawan-kawan hidup. Sekaligus mendorong para pengimpor atau pembuat film membayar biaya sensor lebih tinggi dan memperoleh lisensinya lebih cepat.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2002 yang digunakan sebagai panduan tarif terakhir, harga satu kali sensor sebuah tayangan video diukur berdasarkan durasi: Rp 1.000 per menit. Adapun untuk film 35 milimeter alias film layar lebar, tarifnya Rp 75 per meter film.

Tapi simak pengalaman Mira Lesmana, produser film, saat membayar tarif sensor 3 Hari untuk Selamanya yang dirilis Juni tahun lalu. Setelah diukur, 3 Hari, yang berdurasi 104 menit, panjangnya 2.850 meter. Artinya, ongkos sensor hanya Rp 200 ribuan. Adapun kopi selanjutnya cuma dikenai separuh dari tarif kopi pertama. Nah, harga sensor master film tersebut dan 11 kopinya semestinya tak lebih dari Rp 1,5 juta. Agar filmnya tidak terlalu lama antre, Mira rela merogoh kocek hingga Rp 8,25 juta! ”Tanda terima yang diberikan cuma kuitansi tanpa memuat logo atau cap LSF. Ke mana uang itu pergi?” kata Mira.

Nah, kalau Mira saja digetok Rp 8,25 juta, berapa sesungguhnya pendapatan LSF? Mari kita mulai dari pendapatan resmi berdasarkan laporan kerja LSF periode Juli 2007. Di situ disebutkan selama satu bulan LSF menyensor 22 judul film bioskop, 2.188 judul rekaman video (6 ditolak), dan 197 judul iklan. Dari film dan video saja, bila rata-rata panjang filmnya sama dengan film Mira, pada bulan itu semestinya LSF menyetor setidaknya Rp 135 juta ke kas negara.

Mereka yang paling bersedia membayar dengan harga lebih tinggi, agar urusan surat tanda lulus sensor lancar, adalah para pengusaha sinetron ”kejar tayang”. Kerap kali sinetron yang baru selesai dikerjakan sore hari, malamnya harus tayang di televisi. Dani Sapawie, produser Lini di Sinemart, mengaku kepada Tempo rumah produksinya sering mengakali waktu yang mepet begitu dengan tetap mengerjakan editing sinetron di kantornya. Sementara itu, yang dikirim ke LSF adalah kaset rough cut alias versi kasar.

Dari pengalamannya, LSF masih bisa menerima video versi kasar itu untuk disensor bahkan hingga selepas magrib setiap hari, kecuali untuk Jumat yang sering kali sudah ”tutup warung” pada pukul 16.00 WIB. Tanda lulus sensornya pun cukup difaksimile ke kantor dan diteruskan ke stasiun televisi. ”Kalau libur panjang, kami panik,” katanya.

Seorang produser di rumah produksi besar lain mengaku kepada Tempo bahwa untuk bisa mendapatkan tanda lulus sensor cepat-cepat, ia bersedia membayar bea sensor Rp 150 ribu untuk satu episode. Adapun untuk setiap film layar lebar, harganya Rp 1,5 juta untuk master film serta Rp 750 ribu untuk kopi kedua dan seterusnya.

Itu, menurut dia, belum termasuk sumbangan saat hari raya berdasarkan surat permohonan yang dikirimkan ke setiap rumah-rumah produksi. ”Kadang kami beri, kadang juga tidak, kan kami bayar satu episodenya saja sudah mahal,” katanya tergelak, sambil menambahkan, ia tak pernah meminta kuitansi atas setiap pembayarannya itu.

Simak pengalaman salah seorang sutradara alternatif kita yang tak kalah ”absurd”-nya. Suatu hari, ia datang ke Gedung Film untuk memasukkan filmnya. Ia tak mau ke atas dan sekadar memarkir mobil di pelataran parkir Gedung Film. Sang petugas sensor yang turun menghampiri mobilnya untuk menerima sebuah salinan video dan uang Rp 350 ribuan untuk ongkos sensornya!

Tapi, begitu ketahuan filmnya banyak adegan syurnya, sang petugas sensor meminta tambahan uang. ”Kalau gue kasih Rp 1 juta gimana?” kata sutradara itu kepada sang petugas. Tawar-menawar pun terjadi dan sampailah ke angka Rp 2,5 juta dengan perjanjian, sutradara itu sendiri yang akan memotong satu-dua adegan agar masih bisa lolos.

Hari berikutnya, sang sutradara itu kembali ke Gedung Film membawa film dan uang Rp 2,5 juta. Masih ditempat parkir, petugas sensor itu menemuinya. Si petugas tersebut telah membawa selembar tanda lulus sensor. Si sutradara memberi uang itu dan karena jengkelnya–ia membawa sebuah cakram padat kosong tanpa isi apa pun. Si petugas menerima duit dan filmnya itu tanpa memeriksanya lagi. Filmnya berhasil beredar tanpa sensor!

Itu belum pengalaman orang iklan. Kepala bagian audio visual sebuah rumah produksi besar mengatakan ia memproduksi setidaknya 50 iklan per tahun, yang terdiri atas iklan televisi, adaptasi iklan luar, dan iklan promo acara. Ini belum termasuk perpanjangan tanda lulus sensor iklan yang hanya berlaku tiga bulan.

Harga rata-rata yang harus ia bayar untuk iklan lokal adalah Rp 600 ribuan, untuk iklan asing atau adaptasi sulih suara sekitar Rp 2 juta, sedangkan yang termahal untuk iklan rokok, Rp 8 juta. Setiap tiga bulan, tiap iklan pun harus diperpanjang lagi dengan biaya yang sama!

Lebih pelik lagi, kata dia, iklan yang sama tapi berbeda durasinya–misalnya iklan pasta gigi satu jenis tapi ada empat versi (45/30/15/10 detik)—tiap versi durasi mesti dikenai biaya sensor, meski isinya sama. Demikian pula dengan iklan yang diputar di bioskop. Selain biaya sensor, iklan mesti membayar biaya per kopi. Dan seperti juga yang terjadi pada Mira, ”Semua pembayaran tidak disertai kuitansi berlogo LSF dan tidak ada perincian biayanya,” ujarnya.

Kurie Suditomo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus