MENJELANG tengah malam, bunyi gumam suram menggeletar di udara.
Seperti jutaan lebah terbang mendatangi, berbareng dengan
gerimis. Tapi tak mungkin lebah, dan tak ada gerimis. Apa yang
terjadi?
Esoknya, para petani di Kecamatan Tanjung Barat, Pasar Minggu,
Jakarta baru tahu berjuta-juta ulat yang ganas dan bikin gatal
rupanya telah menyerang 80 hektar perkebunan jambu klutuk
(psidium guajava) mereka.
Dalam waktu yang tak berapa lama-serangan itu mula-mula datang
awal pekan kedua Agustus --perkebunan jambu yang subur itu pun
hancur. Bintik-bintik yang mula-mula nampak di daun dengan cepat
berubah jadi ulat kecil. Pada gilirannya bayi-bayi jenis trabala
pallida ini menjadi dewasa, lalu menggerogoti daun, bahkan juga
buah. Sembilan rukun tetangga ranggas, dengan kecepatan
pengrusakan yang kadang mencapai satu hektar dalam dua hari.
"Tadinya kami kira ulat biasa," kata Nyonya Sukra, seorang
petani yang 0,5 ha kebunnya remuk. Ternyata bukan. Kata ibu dari
4 anak yang kemudian mengungsi selama 10 hari itu, dengan seram:
"Kami takut, makin dibunuh, mereka makin datang." Sehabis
menggasak daun, para penyerbu yang berwarna coklat, kuning,
hitam dengan punggung bergaris itu pun mencoba menerobos rumah,
juga kamar tidur.
Para petani kontan panik. "Baru kali ini terjadi peristiwa
seperti ini: serbuan besar-besaran trabala pallida," kata
seorang ahli hama. Kerugian ditaksir mencapai Rp 1 sampai Rp 2
juta sehari. Para petani menghubungkannya dengan kepercayaan
lain. Menurut cerita Pos Kota pekan lalu seorang yang
"kesurupan" di daerah itu mendapat info dari ruh: perlu korban
50 ekor kambing, 7 macam kembang, 7 macam rujak .....
Dengan atau tanpa kambing & rujak, suasana ekonomi setempat agak
dipulihkan sementara. Setelah bencana itu tersiar di pelbagai
koran dan bahkan televisi, ribuan orang Jakarta datang menengok
--dan tempat itu jadi pusat turisme tiba-tiba. Tukang parkir,
penjual makanan dan minuman, memanfaatkan para pengunjung yang
menonton perkebunan yang jadi gundul itu. Tanda mata yang dibawa
pulang: sebungkus ulat, dalam kantung plastik.
Tapi ada juga pengunjung yang menangis, melihat tamasya yang
seperti musim gugur yang aneh itu. Sementara itu para petani
mencoba melawan para penyerbu dengan obat semprot anti hama,
jenis basudin. Dinas Pertanian DKI Jakarta juga mengirim 10
petugas penyemprot, dan menyediakan dua ton basudin yang dapat
diperoleh gratis dari kecamatan.
Hasilnya belum diketahui dengan pasti. Seperti dikatakan Ir.
Jusuf Lengah, Kepala Dinas Pertanian Pemerinta DKI Jakarta yang
Jumat yang lalu diganti oleh Ir. Sri Soesilo Rini-Soerojo, ulat
trabala pallida "berkembang biak seperti deret ukur" selama tiga
minggu. Tambah Jusuf Lengah "Bayangkan saja, dalam waktu 9 bulan
satu ekor ulat jenis itu bisa jadi 4 juta." Maka penyemprotan
yang sekarang akan diusahakan selama tiga minggu tanpa henti,
agar sampai telur ulat pun ikut musnah sebelum berubah.
Tapi dapatkah ledakan hama yang ke dua dihindarkan sama sekali?
Kalangan Dinas Pertanian sendiri ragu. Bahkan seorang ahli ilmu
serangga menyangsikan perlunya penyemprotan di Pasar Minggu.
Mohammad Amir, sarjana entomologi (ilmu serangga) di Museum
Zoologi Bogor menganggap digunakannya pestisida buat melawan
hama di perkebunan jambu itu "menyedihkan. " Katanya kepada
wartawan TEMPO Bachrun Suwatdi: "Mereka kurang memikirkannya
dengan hati dingin."
Mohammad Amir, yang juga jadi dosen entomologi dan ekologi di
Fakultas Biologi Universitas Nasional, justru melihat penyebab
ledakan ulat yang mengejutkan di daerah hijau Jakarta itu akibat
penggunaan pestisida yang berlebihan. Akibatnya "pengaturan
alamiah yang tidak seimbang."
Ulat-ulat itu memang punya musuh alamiah pada tiap fase
perkembangannya, sejak dari telur sampai dengan kepompong serta
kupu-kupu. Musuh-musuh itu -- burung, kumbang dan lebah kecil --
kini habis. Selain hal itu, ada perkembangan lain: "Pembangunan
gedung-gedung modern di Jakarta menyebabkan banyak hewan pemakan
serangga menghilang," kata Mohammad Amir.
Lagu Papaya
Pasar Minggu memang bukan lagi daerah yang dulu terbayang
bagaikan kebun luas dan lebat. Lagu Papaya, yang hampir dua
puluh tahun yang lalu terkenal, dan menyebut Pasar Minggu
seakan-akan udik penyedia buah-buahan bagi Jakarta, kini terasa
janggal: Pasar Minggu telah hampir penuh rumah dan kuyup
disemprot knalpot.
Menghadapi semua itu, apa daya? Basudin, yang kini dipergunakan
melawan ulat di perkebunan jambu itu secara tergopoh-gopoh --
dan sangat bersemangat --bahkan diakui para ahli mengandung
bahaya lebih besar. Apalagi konsentrasinya kini ditambah, jadi 4
cc tiap liter air, guna memperoleh hasil yang cepat. Ahli
serangga seperti Mohammad Amir justru cenderung membiarkan ulat
itu tanpa disemprot. Ia melihat bahayanya tak seperti wereng.
Toh di musim hujan nanti daun jambu akan tumbuh lagi.
Jalan panjang yang lebih aman biasanya memang dengan pengendahan
biologis. Misalnya bakteri jenis bacillus tburingiensis dapat
dicampur dengan air dan dipakai untuk menyebarkan penyakit
kepada ulat, hingga mati, sementara serangga lain tak terganggu.
Pestisida sudah diketahui justru bisa membikin generasi ulat
yang tak mati akan jadi lebih kebal. Tapi melihat petani yang
panik, dan ulat yang menakutkan itu, jalan panjang memang bisa
dianggap tidak peduli.
Meskipun para petani sendiri juga suka memilih metode yang
sabar: kenduri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini