EMPATBELAS orang dari 90 penyelundup, yang terjerat "Operasi
902" terpaksa diadili secara in-absentia -- tanpa hadirnya
terdakwa -- karena para tertuduh tersebut buron ke luar negeri.
Terutama berlindung di Singapura atau Hongkong.
Minta bantuan pemerintah Singapura untuk menangkap mereka?
Inilah sulitnya: negara sahabat terdekat tersebut tak terbujuk
untuk menandatangani persetujuan saling menyerahkan penjahat.
Jelasnya, antara Indonesia dan Singapura belum ada perjanjian
ekstradisi.
Hingga saat ini pun belum ada tanda-tanda ke arah sana. Bahkan
PM Singapura Lee Kuan Yew masih menyatakan: Perbedaan sistem
perundang-undangan menjadi hambatan bagi terselenggaranya
perjanjian ekstradisi, seperti dikatakannya kepada LKBN Antara
bulan lalu.
Terutama perbedaan dalam menyebut sesuatu kejahatan
penyelundupan. Singapura mendakwa seseorang melakukan tindak
pidana penyelundupan, katanya, bila ia menggelapkan atau
menghindari bea cukai. Sedangkan Indonesia, disamping anti
penyelundupan secara fisik seperti Singapura, juga mengenal
penyelundupan administrasi: penyalahgunaan atau manipulasi
dokumen impor.
Lebih mendasar, kata PM Singapura itu lagi, hukum pidada dan
acara pidana antara Indonesia yang menganut sistem Kontinental
memang berbeda dengan Singapura yang Anglo Saxon. Bagi Indonesia
hanya pelaku kejahatan politik saja yang tak dapat
diekstradisikan. Sedangkan Singapura mengecualikan pelaku
kejahatan fiskal.
Bahwa Singapura dengan berbagai alasan, enggan membuat
perjanjian ekstradisi memang sudah lama menjadi ganjalan. Negara
tetangga tersebut memang tinggal satu-satunya anggota Asean yang
belum saling mengundangkan perjanjian penyerahan penjahat sejak
sekitar 4 tahun lalu. Yang pertama terselenggara antara
Indonesia-Malaysia pada 1974. Yaitu yang berkenaan dengan
berbagai pelaku kejahatan pembunuhan, seks, penculikan,
penganiayaan berat, perbudakan, perampokan, pencurian,
penggelapan & penipuan, pemalsuan dokumen, pemalsuan
uang/barang, pembajakan di laut dan di udara, penyalahgunaan
senjata api serta narkotika. Juga tak ketinggalan, tentu saja,
pelaku kejahatan penyelundupan.
Dibuat-buat
Bagi Indonesia, yang mendesak antara lain adalah agar Singapura
bersedia mengekstradisikan para penyelundup. Bagaimana pun,
seperti pernah dikatakan Menteri Luar Negeri Mochtar
Kusumaatmadja, "Singapura tentu tak mau dikatakan sebagai
pelindung penyelundup." (TEMPO, 26 Juni 1976).
Tapi justru pasal penyelundupan itulah yang oleh PM Lee dianggap
sebagai batu pengganjal. "Saya yakin kalau bagian yang paling
sulit dan ruwet itu tak dimasukkan dalam perjanjian, kita akan
menemukan dasar yang sama bagi perjanjian ekstradisi," katanya
lagi. Perundang-undangan Singapura, katanya, mendasarkan pada
usaha dan perdagangan bebas. "Peranan ekonomi Singapura
didasarkan atas kepercayaan pada hukum, kepastian hukum,
rasional dan dapat diperhitungkan," ucapnya.
Namun Jaksa Agung Singapura konon sedang mempertimbangkan usul
Indonesia. Sementara di pihak Indonesia sendiri, seperti
dikatakan seorang pejabat tinggi di Jakarta, sudah telanjur
dingin menanggapi sikap Singapura yang mundur-maju seperti
selama ini. "Sudah dua kali pemerintah Singapura berbasa-basi
hendak menanggapi usul perjanjian ekstradisi dari Indonesia,"
kata pejabat tinggi tadi.
Benarkah perbedaan hukum kedua negara menjadi hambatan? "Itu
alasan yang dibuat-buat saja," kata pejabat yang tak mau
disebutkan namanya tersebut. Yang sebenarnya, katanya lagi,
pemerintah Singapura memang enggan menyerahkan para
penyelundupnya.
Alasan perbedaan hukum, seperti kata Prof. R.Soebekti, bekas
Ketua Mahkamah Agung RI, tak seharusnya dipermasalahkan.
Buktinya dengan negara-negara Asean lain -- yang juga berbeda
sistem perundang-undangannya dengan Indonesia --perjanjian
ekstradisi bisa terselenggara. Dalam suatu kasus, yang dianggap
bertentangan dengan hukum mereka, Singapura dapat saja menolak
permintaan ekstradisi negara sahabatnya. Tapi, kata Soebekti,
hal itu tak boleh menjadi halangan untuk mempererat persahabatan
masing-masing negara melalui perjanjian ekstradisi.
Tapi PM Lee tampaknya masih sulit beranjak dari pendiriannya.
Membuat perjanjian tanpa mengakui perbedaan hukum kedua negara,
katanya, "akan menjadi sumber pergesekan dan kesalahpahaman."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini