Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Di Sanalah Penyelundupan Tetap ...

Singapura adalah satu-satunya negara ASEAN yang tidak mau mengadakan perjanjian ekstradisi dengan Indonesia pm Singapura mengatakan hal ini disebabkan karena perbedaan sistem perundang-undangan.

6 September 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EMPATBELAS orang dari 90 penyelundup, yang terjerat "Operasi 902" terpaksa diadili secara in-absentia -- tanpa hadirnya terdakwa -- karena para tertuduh tersebut buron ke luar negeri. Terutama berlindung di Singapura atau Hongkong. Minta bantuan pemerintah Singapura untuk menangkap mereka? Inilah sulitnya: negara sahabat terdekat tersebut tak terbujuk untuk menandatangani persetujuan saling menyerahkan penjahat. Jelasnya, antara Indonesia dan Singapura belum ada perjanjian ekstradisi. Hingga saat ini pun belum ada tanda-tanda ke arah sana. Bahkan PM Singapura Lee Kuan Yew masih menyatakan: Perbedaan sistem perundang-undangan menjadi hambatan bagi terselenggaranya perjanjian ekstradisi, seperti dikatakannya kepada LKBN Antara bulan lalu. Terutama perbedaan dalam menyebut sesuatu kejahatan penyelundupan. Singapura mendakwa seseorang melakukan tindak pidana penyelundupan, katanya, bila ia menggelapkan atau menghindari bea cukai. Sedangkan Indonesia, disamping anti penyelundupan secara fisik seperti Singapura, juga mengenal penyelundupan administrasi: penyalahgunaan atau manipulasi dokumen impor. Lebih mendasar, kata PM Singapura itu lagi, hukum pidada dan acara pidana antara Indonesia yang menganut sistem Kontinental memang berbeda dengan Singapura yang Anglo Saxon. Bagi Indonesia hanya pelaku kejahatan politik saja yang tak dapat diekstradisikan. Sedangkan Singapura mengecualikan pelaku kejahatan fiskal. Bahwa Singapura dengan berbagai alasan, enggan membuat perjanjian ekstradisi memang sudah lama menjadi ganjalan. Negara tetangga tersebut memang tinggal satu-satunya anggota Asean yang belum saling mengundangkan perjanjian penyerahan penjahat sejak sekitar 4 tahun lalu. Yang pertama terselenggara antara Indonesia-Malaysia pada 1974. Yaitu yang berkenaan dengan berbagai pelaku kejahatan pembunuhan, seks, penculikan, penganiayaan berat, perbudakan, perampokan, pencurian, penggelapan & penipuan, pemalsuan dokumen, pemalsuan uang/barang, pembajakan di laut dan di udara, penyalahgunaan senjata api serta narkotika. Juga tak ketinggalan, tentu saja, pelaku kejahatan penyelundupan. Dibuat-buat Bagi Indonesia, yang mendesak antara lain adalah agar Singapura bersedia mengekstradisikan para penyelundup. Bagaimana pun, seperti pernah dikatakan Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja, "Singapura tentu tak mau dikatakan sebagai pelindung penyelundup." (TEMPO, 26 Juni 1976). Tapi justru pasal penyelundupan itulah yang oleh PM Lee dianggap sebagai batu pengganjal. "Saya yakin kalau bagian yang paling sulit dan ruwet itu tak dimasukkan dalam perjanjian, kita akan menemukan dasar yang sama bagi perjanjian ekstradisi," katanya lagi. Perundang-undangan Singapura, katanya, mendasarkan pada usaha dan perdagangan bebas. "Peranan ekonomi Singapura didasarkan atas kepercayaan pada hukum, kepastian hukum, rasional dan dapat diperhitungkan," ucapnya. Namun Jaksa Agung Singapura konon sedang mempertimbangkan usul Indonesia. Sementara di pihak Indonesia sendiri, seperti dikatakan seorang pejabat tinggi di Jakarta, sudah telanjur dingin menanggapi sikap Singapura yang mundur-maju seperti selama ini. "Sudah dua kali pemerintah Singapura berbasa-basi hendak menanggapi usul perjanjian ekstradisi dari Indonesia," kata pejabat tinggi tadi. Benarkah perbedaan hukum kedua negara menjadi hambatan? "Itu alasan yang dibuat-buat saja," kata pejabat yang tak mau disebutkan namanya tersebut. Yang sebenarnya, katanya lagi, pemerintah Singapura memang enggan menyerahkan para penyelundupnya. Alasan perbedaan hukum, seperti kata Prof. R.Soebekti, bekas Ketua Mahkamah Agung RI, tak seharusnya dipermasalahkan. Buktinya dengan negara-negara Asean lain -- yang juga berbeda sistem perundang-undangannya dengan Indonesia --perjanjian ekstradisi bisa terselenggara. Dalam suatu kasus, yang dianggap bertentangan dengan hukum mereka, Singapura dapat saja menolak permintaan ekstradisi negara sahabatnya. Tapi, kata Soebekti, hal itu tak boleh menjadi halangan untuk mempererat persahabatan masing-masing negara melalui perjanjian ekstradisi. Tapi PM Lee tampaknya masih sulit beranjak dari pendiriannya. Membuat perjanjian tanpa mengakui perbedaan hukum kedua negara, katanya, "akan menjadi sumber pergesekan dan kesalahpahaman."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus