PARA nelayan dan mereka yang tinggal di daerah pesisir pantai klni bisa luga menghasilkan dolar. Ini karena sumber pendapatan mereka tak lagi hanya bergantung pada ikan dan hewan laut lainnya. Tapi sudah bertambah dengan sejenis tanaman laut yang laku diekspor: rumput laut. Tanaman ini, setelah dikeringkan, ternyata bisa diolah menjadi bubuk. Dari bubuk itu bisa diperoleh bahan tambahan pembuat pelbagai macam komoditi, antara lain kosmetik, tapal gigi, atau bahan dasar pembuatan cat. "Menurut pembeli kami dari Hong Kong, bubuk itu bisa dimanfaatkan untuk membuat 150 macam barang," kata B.M. Salman, Ketua Asosiasi Eksportir Hasil Laut lndonesia. Salman, eksportir di Bali, kini ikut sibuk mengekspor komoditi ini. Selain ke Hong Kong, pasar komoditi ini terbentang luas di Asia (Singapura, Korea Selatan, dan Jepang), Eropa (Denmark), dan AS. Hasil devisa ekspor ini lumayan. Dari Bali dan Surabaya saja, misalnya, pada 1985 diperoleh US$ 347.000, dan tahun lalu naik jadi US$ 368.000, dengan volume dari hampir 700 ton jadi 1.000 ton. Usaha membudidayakan rumput laut itu, ternyata, juga dilakukan Pemda DKI Jakarta. Sabtu pekan lalu, misalnya, bahkan Gubernur DKI R. Soeprapto dan staf terjun langsung meninjau panen pertama dan perluasan budidaya rumput laut perairan Kepulauan Seribu. Dan itu berarti makin banyak orang bisa mendapatkan hasil tambahan. "Rata-rata dalam sebulan kami bisa memperoleh sekitar Rp 250.000," kata Ketut Merutug, 46, buruh nelayan yang tinggal - dan kini membudidayakan rumput laut - di Nusa Penida, Bali. Usaha budidaya rumput laut itu, belakangan ini, mengimbas pula ke daerah pantai di Nusa Tenggara Barat (NTB). "Enakan tanam rumput laut daripada mancing, atau menjala ikan," ujar Amaq Dharma, 45, nelayan, yang kini memimpin kelompok petani rumput laut di Gerupuk, Kabupaten Lombok Tengah. Usaha itu dimulai Amaq sejak dua tahun lalu. Selain itu, budidayanya bisa dilakukan dengan ongkos murah. Mereka cukup membuat semacam rakit, yang terbuat dari 4 potong bambu berukuran 4 x 6 meter. Bambu ini dipancangkan ke laut dalam bentuk empat persegi panjang. Lalu di keempat bambu itu direntangkan tali nilon. Di rentangan tali nilon itulah kemudian diikatkan bibit rumput laut. Biaya untuk segenap keperluan ini, dengan bibit rumput laut sekitar 20 kg, tak lebih dari Rp 8.000. Padahal, jika hendak menjaring ikan di laut, untuk membeli seikat jala saja, Amaq sedikitnya menghabiskan sekitar Rp 150.000. Bertanam rumput laut, yang tanpa risiko dihantam badai, hanya perlu menunggu sekitar 6 minggu. Setelah itu, bibit tadi sudah jadi, dan boleh diangkat. Sesudah dijemur, langsung bisa dijual - harganya Rp 250 hingga Rp 300 per kg - pada sejumlah eksportir, yang belakangan ini mulai pula ramai mencari komoditi ini. "Kami mulanya hanya coba-coba, ternyata hasilnya memadai," kata Cahya Setiawan, staf PT Phoenix Mas, salah satu eksportir, yang sejak tahun lalu sudah mengekspor 700 hingga 800 ton rumput laut ke Hong Kong dari NTB. Di sana rumput laut itu laku dijual Rp 412.000 per ton. M.S., Laporan I. Nengah Wedja, Jopie Hidayat & Supriyanto Khafid (Biro Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini