Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Membeli kayu kelak bakal mirip berbelanja sabun, minyak goreng, deterjen, atau pasta gigi di hi-permarket. Semua ini berkat secarik label produk atau bar code. Bedanya, dibanding label barang yang menunjukkan harga, tanggal kedaluwarsa, atau produsen, label ini menjelaskan identitas si kayu. Mirip sidik jari, di dalamnya tersimpan data asal-usul kayu, berasal dari petak tebangan mana, apakah dengan peralatan yang memenuhi standar keamanan, dan apakah menggunakan sistem pengangkutan yang memenuhi persyaratan. Dengan sistem canggih ini diharapkan konsumen mendapat garansi bahwa kayu yang dibeli bukan berasal dari praktek pembalakan liar atau illegal logging.
Garansi atau legalitas kayu asal Indonesia memang menjadi isu utama di beberapa negara. Maklumlah, penggerogotan hutan Indonesia karena pembalakan liar tergolong salah satu yang paling ganas. Aktivitas haram ini tiap tahun diperkirakan merugikan negara Rp 30,42 triliun. Ini angka yang setara dengan jumlah utang kita ke CGI. ?Tingginya permintaan pasar, sementara jatah produksi kayu terbatas, menjadi salah satu penyebabnya,? kata Widodo S. Ramono, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan.
Catatan Departemen Kehutanan menampilkan angka yang mengerikan. Tahun 1950 luas hutan Indonesia masih mencapai 162 juta hektare. Sampai tahun 2003, angka itu sudah merosot tajam hingga tinggal 110 juta hektare. Laju kerusakan hutan selama 12 tahun (1985-1997) di wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi mencapai rata-rata 1,6 juta hektare. Bahkan pada periode 1997-2000, kerusakan hutan di ketiga pulau tersebut mencapai angka gila-gilaan: 2,8 juta hektare per tahun. Ini berarti, setiap menit hutan Indonesia ludes seluas enam kali lapangan sepak bola.
Alasan itulah yang mendorong The Nature Conservancy (TNC), organisasi non-pemerintah internasional pemerhati lingkungan, mengembangkan sistem pelabelan dengan bar code. Label atau kadang disebut juga pening itu disematkan pada kayu yang dipanen secara legal. Tiap carikan pening berisi angka-angka unik. Ketika pemindai (scanner) membaca pening, komputer akan menghubungkannya ke database yang berisi informasi tentang ukuran kayu, jenis (spesies), dan asal kayu.
Dengan sistem bar code ini, jejak kayu bisa terlacak mulai dari lokasi tebangan hingga ke manufaktur. Sistem ini sekaligus membantu proses penyortiran ribuan kayu dengan cepat, untuk membandingkan seluruh isi kapal pengangkut kayu atau timbunan kayu dengan database mutakhir. ?Istilahnya, from stand to store, melacak dari tunggul hingga ke toko,? kata Paul Hartman, Forest Policy and Planning Coordinator TNC.
Bentuk bar code sama persis dengan bentuk yang tertempel di barang-barang eceran hipermarket. Sejumlah garis berjajar, tebal tipis, lalu di bawahnya tertulis angka yang menunjukkan nomor perusahaan dan individual log tempat kayu ditebang. ?Nomor di bar code ini unik, tidak ada nomor yang sama untuk tiap log,? kata Moray McLeish, Program Manager Alliance to Promote Forest Certification and Combat Illegal Logging TNC.
TNC sudah melakukan uji coba penggunaan bar code sejak Juli lalu. Uji coba yang menelan biaya US$ 400 ribu ini didanai British Department for International Development, US Agency for International Development (USAID), dan The Home Depot. Yang terakhir ini nama perusahaan pengecer kayu terbesar di dunia, berbasis di Amerika Serikat, dengan 1.500 toko tersebar di AS, Kanada, Puerto Riko, dan Meksiko.
Dalam uji coba, pelabelan dilakukan pada 3.000 meter kubik kayu di 1.000 hektare lahan milik PT Sumalindo Lestari Jaya II, di Long Bangun, Kutai, Kalimantan Timur. Sumalindo bahkan berencana menerapkan sistem ini untuk seluruh produksinya tahun 2004-2005 sebanyak 128 ribu meter kubik. ?Kami membutuhkan asas legalitas dan accessibility menjual kayu. Sistem ini membantu keterjaminan di pasar,? kata Amir Sunarko, Presiden Direktur PT Sumalindo Lestari Jaya.
Memang, secarik pening tak kan mampu mencegah pencurian kayu yang modusnya begitu beragam. Seperti dikatakan Anwar, Project Manager Global Development Alliance WWF Indonesia, sistem ini hanyalah satu dari sekian banyak komponen legalitas kayu. Banyak unsur lain yang tak terlacak melalui bar code. Misalnya, kata Anwar, tak kan terlacak apakah kayu ini masuk dalam kuota tebangan atau apakah pajak penebangan sudah terbayar. ?Tapi setidaknya, sistem ini bagian dari menegakkan legalitas yang lebih benar. Juga usaha mengeliminasi kayu yang tidak jelas asal-usulnya,? kata Anwar.
Hal senada diungkapkan Yudi Iskandarsyah, Deputy Manager Global Development Alliance TNC. Menurut dia, bar code hanyalah bagian dari proses sertifikasi legalitas kayu. ?Untuk lolos uji legalitas, setiap kayu harus memenuhi tujuh prinsip legalitas operasi kehutanan,? tutur Yudi. Tujuh prinsip legalitas yang sudah disetujui pemerintah Indonesia dan Inggris itu antara lain land tenure dan hak pemanfaatan; dampak fisik dan lingkungan sosial; hak-hak masyarakat dan pekerja; peraturan dan hukum pemanenan kayu; pajak hutan; identifikasi, transfer, dan pengiriman kayu; serta pemrosesan dan pengapalan kayu.
Selama ini Departemen Kehutanan menerapkan sistem legalitas kayu berdasarkan dokumen (paper base). Sebelum ditebang, pemilik hak pengusahaan hutan (HPH) harus membuat laporan hasil cruising dan rencana karya tahunan yang disetujui Departemen Kehutanan. Setelah ditebang pun harus ada laporan hasil penebangan untuk melihat apakah hasil tebangan sesuai dengan laporan hasil cruising. Satu-satunya data fisik hanyalah pemberian nomor identitas dengan cat. Cukup? Belum. Jika ingin dilepas ke pasaran, kayu harus memiliki laporan mutasi hasil kayu olahan dan surat keterangan sahnya hasil hutan, yang menunjukkan bahwa kayu tersebut hasil penebangan yang legal.
Toh sistem yang sudah berlapis-lapis ini tetap saja kecolongan. Beberapa modus yang dilakukan antara lain penerbitan dokumen yang tidak sesuai dengan jenis, jumlah, ukuran, atau kualitas kayu, dokumen yang digunakan berkali-kali, dan tujuan yang berbeda dengan dokumen.
Hingga saat ini memang belum ditemukan obat mujarab mengurangi pembalakan liar. Widodo berharap penggunaan sistem label ini selain bisa melacak keberadaan kayu juga membantu Departemen Kehutanan mengatasi illegal logging serta menyaring pemilik HPH. ?Kita bisa tahu mana yang melakukan usahanya dengan benar dan mana yang nakal,? katanya.
Raju Febrian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo