Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tegen de vijand heb ik ook wat te zeggen Je zal zeker het loodje leggen De dood is je op de loer Op de hielen gezeten door de Ridder van de Dood Die de straten kleuren met Rood
Kepada musuh aku juga berpesan Kau pasti akan menyerah, mati Kematian mengintaimu (Kau) dikuntit oleh Kesatria Kematian Yang mewarnai merah jalan-jalan
Pesan itu adalah testamen Mohammed Bouyeri, 26 tahun, pembunuh Theo van Gogh di Amsterdam, 2 November lalu. Puisinya?In Bloed Gedoopt (Dipermandikan dalam Darah)?berpesan kepada sesama "pejuang" bahwa "Anugerah Allah bagimu adalah taman" (Hij geeft je de tuin) yang akan "menggantikan amburadul dunia" (In plaats van het aardsepuin).
Jasad Van Gogh terbaring di jalan, persis seperti diinginkan si pembunuh. Dia seorang publisis yang anti-doktrin agama, dan si pembunuh, M. Bouyeri, seorang muslim asal Maroko. Klimat pasca-11 September 2001 membuat kasus itu menjadi tragedi yang bakal membekas di Eropa. Cucu pelukis masyhur Vincent van Gogh yang suka bicara kasar, lantang, sebebas-bebasnya lewat kolom dan filmnya, itu menjadi martir dari asas kebebasan bersuara. Si pembunuh, dengan hati terluka, memilih menghakiminya secara keji.
Mirip Salman Rushdi (Ayat-Ayat Setan, 1989) yang difatwa mati oleh Imam Khomeini, Van Gogh terancam sudut pandang religius yang keras. Rushdi selamat, tapi Van Gogh harus membayar dengan nyawanya. Kejutan itu memacu solidaritas masyarakat untuk membela sebuah hak yang asasi. Ratusan ribu berkumpul di Lapangan Dam. Tapi "orkes besar" atas nama kebebasan itu segera disusul ketegangan, ketakutan, dan insiden?sejumlah masjid dan sekolah muslim di Belanda dilempari batu dan dibakar.
Pemerintah Belanda mengumumkan "perang melawan ekstremisme muslim". Sebuah koran Jerman membandingkan kasus Van Gogh dengan pembunuhan diplomat Jerman oleh seorang Yahudi di Paris yang menyulut "Kristall Nacht", pembakaran buku di Berlin, 1938, dan memacu pogrom Yahudi. Untung, kenyataannya tak segawat itu.
Pembantai Van Gogh melanggar dalil-dalil nation-state yang demokratis: hak asasi manusia dan tegak-hukum. Tapi apa sebenarnya yang berkecamuk di dalam dunia khayal, keyakinan, dan sanubari si korban dan si pembunuh? "Orkes" kebebasan bersuara tersebut tak melongok ke situ. Tak semua orang paham mengapa Van Gogh, "provokator brutal" itu, merasa perlu melukai hati kaum Kristen, Yahudi, korban Nazi-Jerman, dan sekarang kaum muslim. Yang terakhir ini disebutnya "geiteneukers" (pemerkosa kambing).
Lewat filmnya, Submission (2004), yang menayangkan ayat-ayat Qurán di tubuh seorang perempuan muslim, dia mengaku mengimbau perhatian atas nasib kaum hawa di bawah Islam. Sebaliknya, sedikit orang mampu menggambarkan perasaan tersinggung kaum Kristen, Yahudi, apalagi?di tengah semangat zaman "perang teror"-nya George W. Bush?memahami perasaan kaum muslim yang tersayat oleh tulisan, ucapan, dan film Van Gogh yang cuek fatsun.
Kasus Van Gogh memberi warna baru pada sebuah angin zaman: dia?simbolis, mungkin?terbunuh pada hari George W. Bush memenangi pemilu presiden di Amerika. Samuel Huntington barangkali akan tergoda untuk melihat kasus tersebut sebagai konfirmasi tesisnya, "benturan antar-peradaban". Tapi, dalam klimat Eropa sejak bom Madrid 11 Maret 2004, tesis "benturan" yang simplistis untuk jagat yang bermesin ragam ini selalu dapat dipacu menjadi "kebenaran"?self-fulfilling prophecy?oleh siapa saja.
Namun, ada alasan lain bahwa benturan semacam itu "harus" terjadi di Eropa, meski tak harus sevulger Van Gogh versus Bouyeri. Oliver Roy, peneliti Prancis, dalam bukunya Globalized Islam (2004), memandang radikalisasi muslim di Eropa sebagai titik temu dari kegagalan akulturasi muslim dan upaya pencarian "Islam sejati". Ekstremis muslim seperti M. Bouyeri suka roti McDonald asalkan halal, tapi tak doyan kue Mediterania. Islam, bagi keluarga Maroko-Berber seperti Bouyeri, adalah peradaban, tapi Bouyeri yunior yang lahir, dibesarkan, dan terintegrasi di Belanda mencemooh versi Islam yang dihayati ayah-ibunya?keluarga buruh-migran (gastarbeider) generasi pertama di Eropa.
Bouyeri dan sejenisnya terkejut campur kagum terhadap para pelaku "martir" 11 September 2001, mereka marah terhadap situasi Irak, Timur Tengah, risau tentang dunia Islam, dan merasa terpojok di Eropa. Tercerabut dari akar-budayanya di tengah konteks yang demikian, mereka menjadi manusia-manusia yang mengaku "lahir-kembali" untuk mencari apa yang mereka khayalkan sebagai "Islam sejati", dan menemukannya dalam "perjuangan"?semacam Usamah bin Ladin menemukannya di Afganistan. Seperti para aktor 11 September, Bouyeri juga migran berpendidikan Barat yang seolah tengah bermetamorfosis.
Yang terjadi di Amsterdam adalah sebuah hak hakiki yang dihajar kekerasan atas nama sebuah "pencarian dan perjuangan religius" ketika hak itu diyakini telah menghujat nilai-nilai agama tersebut. Akarnya bisa saja tragik budaya migran di Eropa sebagai bagian dari "Islam menjadi global". Tapi, masalahnya: integrasi, multikulturalisme, nation-state dengan demokrasi dan hak asasi manusia, tak mampu memberi jawab yang optimal.
Di Amerika, kaum fundamentalis, the fundi's, naik daun bersama Bush, ketika Eropa menyambut politik populistis yang Islamofobia. Keduanya menanggapi "perjuangan Islam global". Tak sama, memang, dengan klimat Jerman pra-Perang Dunia II, tapi ada kekhawatiran serupa bahwa nilai-nilai pluralitas dan perdamaian dapat terancam.
Salman Rushdi dalam novelnya pernah berkhayal tentang seorang imigran muslim yang berkelana di Eropa. Tak pernah ia bayangkan kisah semacam itu kini dapat membuka halaman baru bagi Eropa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo