Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jadi, apakah yang kami lakukan di televisi sudah cukup bagi negara, atau masih banyak lagi yang harus kita ubah?" tanya Celery Aganon dengan nada frustrasi. Celery adalah produser dari kelompok The Probe Team (yang didirikan antara lain oleh Maria Ressa, reporter CNN) yang sudah bertahan 16 tahun memproduksi program investigatif untuk jaringan televisi di Filipina. Pertanyaan itu diajukannya ketika Seminar Televisi Investigatif baru saja berlangsung setengah hari di Filipina, minggu lalu.
Presentasi-presentasi awal di seminar tersebut memang sangat kritis terhadap perkembangan industri televisi di Asia Tenggara yang secara umum dianggap lebih ditentukan oleh rating (angka yang menunjukkan jumlah penonton suatu program) ketimbang kontribusinya dalam penyelesaian masalah masyarakat. Semua yang hadir?pekerja media, akademisi, dan aktivis LSM?memang sangat berkepentingan dengan keadaan televisi di negaranya masing-masing. Tetapi, itulah, begitu kelompok ini bertemu, selalu terjadi perdebatan hangat. Pasalnya, pekerja media harus memandang dari tataran praktis, sedangkan kelompok yang lain cenderung menggunakan cara pandang yang semata idealis.
Polarisasi serupa terjadi antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan profesional yang bekerja di industri televisi. Sebagai hasil dari proses politik penyusunan undang-undang, KPI lebih didominasi oleh akademisi dan pegiat LSM (atau campuran keduanya). Akibatnya, pandangan KPI sering dianggap tidak realistis oleh para profesional, yang harus selalu memperhatikan aspek komersial dari program yang diproduksinya.
Sementara itu, menurut Undang-Undang Penyiaran, KPI-lah yang akan menjadi juri yang sah atas siaran televisi. Menurut undang-undang tersebut (Pasal 8), KPI menetapkan pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran (P3/SPS) yang memberikan batas mengenai apa yang boleh dan tidak boleh ditayangkan dalam program siaran. KPI tentunya juga berwenang mengawasi pelaksanaan P3/SPS, serta memberikan sanksi terhadap pelanggaran P3/SPS. Pedoman dan standar ini sudah dikeluarkan KPI pada 30 Agustus 2004, setelah melalui proses diskusi panjang dengan berbagai pihak yang berkepentingan terhadap isi penyiaran (termasuk industri penyiaran dan masyarakat).
Bagi profesional televisi, sebenarnya tidak sulit memahami standar program yang ditetapkan oleh KPI, karena memang isinya berasal dari konsensus yang umum digunakan oleh para profesional di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Ambil contoh mengenai apa yang biasa disebut portrayal of violence. Dalam P3/SPS disebutkan bahwa "gambar luka-luka yang diderita korban kekerasan, kecelakaan, dan bencana tidak boleh disorot secara close up" (Pasal 33). Nyatanya, masih saja siaran televisi menayangkan gambar close up dari luka-luka korban tersebut.
Padahal, sebenarnya bukan hanya masyarakat yang resah dengan tayangan kekerasan seperti ini, pelaku industri pun sering keberatan dengan hasil kerjanya sendiri atau tayangan stasiun lain. Menarik untuk diamati bahwa mulai dari pengambil gambar (camera people) sampai eksekutif tertinggi di industri televisi mengakui bahwa mereka berkeberatan dengan tayangannya sendiri. Tidak jarang terdengar cerita bahwa mereka tidak menonton tayangan televisi atau melarang anak-anaknya untuk menonton televisi Indonesia. Tetapi, sebagai pelaku industri, mereka merasa tak kuasa menghadapi tekanan rating. Jadi, rumus lama "makin berdarah makin laku" terus saja diterapkan.
Hal yang sama terjadi juga pada tayangan lain yang sudah dianggap mengganggu kenyamanan masyarakat, seperti yang menonjolkan seks dan misteri. Lagi-lagi tidak banyak bagian dari standar program yang membingungkan. Kalau saja para profesional ini mau menerapkan P3/SPS dengan mengacu pada nilai-nilai yang berlaku di rumah tangganya sendiri, tidak akan muncul tayangan yang mengganggu. Masalahnya, pekerja industri selalu saja merasa bahwa mereka sedang memproduksi untuk "kalangan lain" yang memang seleranya adalah tayangan kekerasan, seks, dan misteri.
Karena yang dijadikan ukuran adalah rating, perlu dicatat bahwa ukuran ini didapat dari sampel perkotaan yang 75 persen berasal dari golongan status sosial ekonomi C1, C2, D, dan E (keluarga dengan pengeluaran rumah tangga dari yang di bawah Rp 400.000 sampai yang Rp 1.250.000 per bulan). Dengan kata lain, yang sebenarnya diungkapkan adalah preferensi penonton dengan status sosial ekonomi rendah di perkotaan Indonesia.
Dan, selera penonton sebenarnya bisa dibentuk dan dilatih. Kalau kita semua memiliki komitmen pada pendidikan masyarakat, bisa saja kita bekerja keras untuk membiasakan masyarakat menonton program-program yang lebih berkualitas. Namun, pada tingkat persaingan yang sangat ketat, industri terbukti tidak mampu melakukan pengaturannya sendiri (self-regulation). Selalu saja muncul ketakutan bahwa kalau stasiun yang satu menggunakan standar program yang ketat sedangkan yang lain tidak, yang ketat itu yang akan "dirugikan".
Itu sebabnya mengapa masyarakat yang harus membantu industri dan menegaskan program apa yang diinginkannya muncul di layar kaca serta bagaimana program tersebut harus tampil. KPI sebagai representasi yang sah dari publik harus berusaha melakukan pengaturan ini dengan menggunakan kewenangannya memberikan izin penyiaran dan memberikan sanksi, tanpa menjadi bagian dari kekuasaan politik yang merepresi media atau menjadi paternalistik dalam pelaksanaan tugasnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo