Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEKALIPUN Perang Teluk hanya berlangsung 2,5 bulan, akibatnya masih menghantui penduduk Kuwait dan sebagian penduduk Irak sampai sekarang. Kobaran api dari ratusan sumur minyak yang dibakar tentara pendudukan Irak, misalnya, hingga kini masih menyala. Pelbagai usaha perbaikan memang sudah dilakukan pemerintah, seperti mendatangkan tim pemadam kebakaran internasional untuk mematikan semburan api. Selain itu, genangan minyak yang tumpah di laut pun sudah pula dibersihkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi masih ada satu lagi dampak perang yang membahayakan kesehatan penduduk dan lingkungan yang belum ditanggulangi. Selain sulitnya penanggulangan, dampak yang satu ini memang tidak sebombastis kobaran api atau genangan minyak. Dampak itu adalah tertinggalnya sisa-sisa uranium di sebagian wilayah Kuwait dan Irak. Diperkirakan, ada 40 ton uranium yang bisa menyebabkan 500.000 kematian, tersebar di kedua wilayah yang dilanda perang tersebut.
Pemerintah Inggris, salah satu peserta Perang Teluk yang dituduh sebagai penyebar uranium, hingga kini belum mengambil tindakan pengamanan bagi penduduk Kuwait dan Irak. Padahal, keberadaan uranium itu sudah diketahui Badan Energi Atom Inggris, April lalu, setelah mendapat laporan dari tim peneliti yang mereka bentuk. Tujuan utama pembentukan tim tersebut adalah untuk mencari masukan bagi penyingkiran sisa-sisa uranium tadi.
Laporan ini terbongkar setelah dimuat koran Inggris The Independent on Sunday, tiga minggu lalu. Dalam laporan itu diingatkan adanya bahaya yang mengintip para pekerja yang tidak tahu bahaya kontaminasi uranium. Karena itu, seperti tertulis dalam laporan, diperlukan peralatan canggih dan tenaga berpengalaman untuk menentukan lokasi bahan radioaktif itu sesegera mungkin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Entah mengapa peringatan ini dianggap angin oleh pemerintah Inggris. Padahal, dengan didiamkannya laporan rahasia itu, tak hanya penduduk Kuwait dan Irak yang terancam keselamatannya, tapi juga 250 warga Inggris yang bertugas membersihkan ranjau dan bom yang berkeliaran setiap hari di Kuwait. Belum lagi pekerja dari tentara Amerika, jumlahnya 10.000 orang, yang melakukan tugas serupa disamping merehabilitasi negeri yang rusak dilanda perang itu.
Sama seperti pemerintah Kuwait, mereka tidak pernah mendapat laporan dari Badan Energi Atom Inggris. Padahal, menurut Direktur Kesehatan dan Keselamatan Lembaga Bahan Bakar Nuklir Inggris, Roger Berry, uranium itu berbahaya karena merupakan bahan kimia beracun. Bila dalam bentuk debu, uranium ini dengan mudah akan masuk dalam tubuh lewat pernapasan. Batas maksimum yang diperbolehkan mengendap dalam tubuh manusia, ujar Berry lagi, tergantung bentuk kimia uranium tersebut. Ambang yang tidak membahayakan rata-rata 600 becquerel--seperenam belas milyar gram radium.
Beberapa komponen uranium memang bisa hilang dari tubuh dalam tempo beberapa hari saja, tapi ada komponen lain yang membutuhkan waktu tahunan untuk membuangnya. Cara tubuh membersihkan logam berat seperti uranium adalah dengan membawanya ke ginjal, lalu mengeluarkannya lewat air seni. Tapi uranium yang terlalu banyak masuk tubuh dalam waktu singkat, lebih-lebih bila tercampur dalam makanan atau minuman, dapat mengakibatkan kerusakan ginjal dan berpotensi menyebabkan kematian.
Berapa persisnya sisa-sisa uranium yang tersebar di Kuwait dan Irak tidak ada yang bisa memastikan. Badan Energi Atom Inggris memperkirakan rentetan uranium yang dilepaskan tank dan pesawat terbang pasukan Sekutu jumlahnya puluhan ton. Dari jumlah tank--satu tank diperkirakan mengandung uranium lebih dari 5.000 pon--serta pesawat terbang yang terlibat dalam Perang Teluk, diperkirakan jumlah uranium yang tersebar di Kuwait dan Irak mencapai 40 ton.
Uranium yang dipakai dalam pasukan Sekutu dalam Perang Teluk, menurut koresponden The Independent on Sunday untuk urusan pertahanan, Christopher Bellamy, adalah U-238. Bahan ini karena keras dan padat ditempatkan di kepala senjata dan digunakan untuk menembus persenjataan musuh. Senjata pamungkas ini mempunyai sayap untuk menyeimbangkan geraknya dan terbungkus dalam sebuah sumbatan yang disebut sabot, karena itu diberi nama Armour Piercing, Fin Stabilized, Discarding Sabot (APFSDS). Ada pula senjata yang tidak mempunyai sayap dan disebut Armour Piercing Discarding Sabot (APDS).
Pada permulaan Perang Teluk lalu, pesawat terbang Amerika A10 banyak melontarkan senjata APDS ini dari meriam 30 mm. Selain itu, senjata beruranium ini juga dilepaskan dari meriam 105 mm yang ada di tank M-60, dan dari meriam 120 mm yang dilontarkan dari tank M1A1. Pesawat atau kapal yang tertembus panah beruranium ini akan terkontaminasi debu-debu uranium. Runtuhan kapal yang terkontaminasi ini berbahaya karena debunya bisa terhirup manusia.
Masalah sisa-sisa uranium ini, setelah dipetieskan sekitar enam bulan, baru mendapat perhatian lagi November kemarin. Menurut seorang pejabat Badan Energi Atom Inggris, saat ini sedang diadakan pembicaraan dengan pelbagai partai untuk menanggulanginya. Rupanya, Badan Energi Atom Inggris baru menyadari uranium itu tak segera bisa hilang seperti yang mereka harapkan. Mereka khawatir, kondisi ini bisa dipakai sebagai senjata politik oleh pejuang-pejuang lingkungan. Ternyata, politik lebih ampuh untuk menggerakkan orang daripada keselamatan ribuan nyawa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo