SIAPA yang tak iri hati terhadap pengusaha kecil? Golongan pengusaha ini, yang tadinya merasa sebagai anak yatim yang dianaktirikan, kini mulai kebanjiran simpati. Semua orang ber simpati dan ingin mengulurkan tangan. Dari bank, ada KUK dan KIK. Dari BNI Palu, Sulawesi Tenggara, ada pinjaman tanpa bunga hingga mereka nanti tak perlu menghubungi Bank Muamalat Indonesia. Dan dari Pemerintah, ada bimbingan dan bantuan teknis gratis. Dari konglomerat dan BUMN, ada tawaran untuk menjadi bapak angkat. Bagi yang beruntung, ada hadiah saham dari konglomerat. Semua orang -birokrat, konglomerat, lembaga-lembaga sosial, para ideolog --siap membantu pengusaha kecil. Kadang-kadang dukungan mereka ini dilakukan dengan begitu bersemangat hingga muncul gagasan-gagasan untuk kebijaksanaan yang kurang berpijak pada prinsip-prinsip ekonomi. Lewat keterkaitan dan keterikatan, bisnis besar mungkin dituntut untuk mengorbankan efisiensi demi sebuah rasa keadilan dan simpati. Sebuah simpati, yang implikasi jangka panjangnya bagi ekonomi makro, belum tentu memberi manfaat kepada semua pihak karena dalam kiprah bisnis ini, pertimbangan komersial dan bisnis yang normal harus minggir untuk memberi tempat pada sebuah pertimbangan politis. Nasib pengusaha kecil sudah banyak diperhatikan orang, tetapi bagaimana nasib konsumen kecil? Siapakah konsumen kecil? Mereka tentu saja golongan yang berada di sekitar garis kemiskinan, yang menurut sensus terakhir jumlahnya masih seperlima jumlah penduduk negeri ini. Mereka adalah golongan yang, dari statistik penghasilannya, kelihatan masih megap-megap untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-harinya. Pengusaha kecil masih punya tanah, gedung, peralatan produksi, dan mungkin sedikit modal. Pengusaha kecil masih punya aset. Tapi apa yang dimiliki konsumen kecil? Aset mereka mungkin tak lebih dari otot yang mereka jajakan sebagai buruh di sawah, di perkebunan, di kota, dan di tempat lain. Berbeda dengan pengusaha kecil, untuk konsumen kecil ini tak ada kredit bank, tak ada bapak angkat, tak ada saham konglomerat, dan tak ada "pembinaan dan bimbingan". Kesejahteraan mereka tergantung daya jangkau mereka untuk membeli barang kebutuhan sehari-hari. Harga bahan kebutuhan ini relatif belum bisa murah karena ongkos produksi bahan mentah yang diperlukan di industri hulu masih tinggi. Mengapa masih tinggi? Karena, di industri hulu, persaingan belum berjalan wajar. Masih banyak proteksi, subsidi, dan monopoli. Di sektor yang belum mengenal demokrasi ekonomi ini, yang masih dikuasai konglomerat dan BUMN, masih banyak yang belum tersentuh deregulasi. Di sini termasuk pemberian kontrak BUMN untuk bidang yang menyangkut hajat hidup banyak orang, kriteria pemenang kontraknya tidak jelas karena prosesnya tertutup dan tidak terbuka. Nilai kontrak sebuah proyek tidak berdasarkan tender yang kompetitif, sehingga tidak menjamin rendahnya biaya, padahal biaya yang tinggi ini akan diteruskan pada harga barang dan jasa yang harus ditanggung masyarakat, termasuk yang ditanggung konsumen kecil. Konsumen kecil tak banyak menuntut. Mereka tak butuh nasibnya diseminarkan. Mereka tak perlu saham konglomerat dan bapak angkat. Mereka hanya perlu kebijaksanaan ekonomi yang mengurangi beban dan pengorbanan yang mereka berikan untuk perusahaan besar. Mengapa? Karena setiap rupiah subsidi dan proteksi yang dinikmati perusahaan besar di industri hulu (termasuk BUMN) adalah setiap rupiah yang dipungut dari konsumen, termasuk konsumen kecil. Dengan kata lain, mereka memerlukan kebijaksanaan ekonomi yang punya komitmen terhadap berfungsinya mekanisme pasar dan persaingan yang lebih wajar di segala sektor perekonomian, yang menjamin rendahnya ongkos produksi, yang meningkatkan daya beli mereka. Keuntungan yang kini menumpuk pada perusahaan besar mungkin sekarang nongkrong sebagai deposito berjangka di bank-bank. Tapi bila keuntungan ini bisa disebarkan, lewat harga yang lebih rendah untuk konsumen, peningkatan daya beli ini akan meningkatkan belanja konsumen. Ingat, pengeluaran konsumen, di mana pun, merupakan penggerak utama pertumbuhan ekonomi. Peningkatan kesejahteraan konsumen kecil memerlukan kebijaksanaan ekonomi yang lebih mendasar, sedangkan untuk pengusaha kecil, tinggal dilakukan penyetelan di sana-sini. Suasana politis sudah memberi peluang yang lebih baik untuk pengusaha kecil. Sekurangnya, mereka punya peluang untuk menghindari nasib buruk yang menimpa Midun yang ditindas Djufri, si rentenir, seperti cerita sinetron TVRI, Sengsara Membawa Nikmat. Mungkin para konglomerat akan mendapat kenikmatan batin dalam membantu para pengusaha kecil yang sengsara. Pemerintah bisa selalu mengimbau siapa saja untuk bersimpati dan membantu pengusaha kecil yang lemah. Tapi itu bukan kebijaksanaan ekonomi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini