Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Studi Land Subsidence di Dunia, Jakarta dan Pantura tak Sendirian

Tapi memang kota-kota yang ada di Asia Selatan dan Asia Tenggara adalah termasuk yang paling cepat ambles alias laju land subsidence tinggi.

1 Oktober 2022 | 11.16 WIB

Foto udara permukiman penduduk yang terkepung air laut akibat abrasi di Desa Timbulsloko, Sayung, Demak, Jawa Tengah, Kamis 14 Maret 2019. Abrasi yang mengikis garis pantai Kabupaten Demak sekitar tahun 1995 berdampak pada peralihan fungsi lahan setempat yang awalnya merupakan areal pertanian produktif berangsur menjadi tambak ikan dan sebagian kini telah menjadi perairan akibat kenaikan permukaan air laut disertai penurunan permukaan tanah mencapai sekitar 10 sentimeter per tahun. ANTARA FOTO/Aji Styawan
Perbesar
Foto udara permukiman penduduk yang terkepung air laut akibat abrasi di Desa Timbulsloko, Sayung, Demak, Jawa Tengah, Kamis 14 Maret 2019. Abrasi yang mengikis garis pantai Kabupaten Demak sekitar tahun 1995 berdampak pada peralihan fungsi lahan setempat yang awalnya merupakan areal pertanian produktif berangsur menjadi tambak ikan dan sebagian kini telah menjadi perairan akibat kenaikan permukaan air laut disertai penurunan permukaan tanah mencapai sekitar 10 sentimeter per tahun. ANTARA FOTO/Aji Styawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Tim Pusat Riset Antariksa di BRIN pernah mengungkap tanah ambles atau land subsidence di wilayah pesisir pantai utara atau pantura Jawa bisa sampai 11 sentimeter per tahun. Terparah disebutkan di Pekalongan, Jawa Tengah. Menyusu setelahnya kota-kota seperti Jakarta dan Semarang. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Kajian menggunakan data satelit itu memperkuat hasil riset sebelumnya dari Laboratorium Geodesi ITB. Studi yang ini bahkan menyebut laju atau kecepatan penurunan tanah di Semarang, Pekalongan dan Demak saat sudah ada yang mencapai 20 sentimeter per tahun, atau laju tercepat yang tercatat di dunia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Apa yang terjadi di pantura ternyata terjadi pula di banyak bagian lain dari daerah pesisir di dunia. Sebuah studi yang dilakukan Cheryl Tay dari Nanyang Technological University, Singapura, dan koleganya, membandingkan kenaikan muka air laut global rata-rata yang 3,7 milimeter per tahun dengan penurunan muka daratan di 48 kota pesisir di dunia sepanjang 2014-2020. 

Ke-48 kota itu dipilih yang memiliki jumlah penduduk terbesar. Adapun daratan ambles diperhitungkan karena eksploitasi air tanah, ekstraksi minyak dan gas, dan sedimen yang memadat karena tekanan bangunan gedung-gedung tinggi--sebuah proses yang disebut land subsidence

Hasilnya, di 44 kota di antaranya, land subsidence terjadi lebih cepat daripada rata-rata laju kenaikan muka air laut global. Kota-kota yang ada di Asia Selatan dan Asia Tenggara adalah termasuk yang paling cepat ambles. Ini termasuk Tianjin di Cina, Ho Chi Minh City (Vietnam), Chittagong (Banglades), Yangon (Myanmar), Jakarta (Indonesia) dan Ahmedabad di India. Mereka disebutkan Cheryl Tay dkk ambles lebih dari 2 sentimeter per tahun. Tianjin dan Ho Chi Minh City bahkan lebih dari 4 sentimeter setiap tahun.

Angka median dari tingkat land subsidence untuk setiap kota yang diukur bervariasi mulai dari 1,62 sentimeter per tahun di Ho Chi Minh City, Vietnam, sampai 1,1 milimeter per tahun di Nanjing, Cina. Sebagai catatan, tim peneliti mengatakan kalau hasil perhitungan berdasarkan kajian radar satelit tersebut belum disesuaikan lagi dengan faktor-faktor lain yang mungkin membuat angka itu lebih besar atau rendah. 

Misalnya, faktor fenomena di mana daratan yang tertekan oleh lapisan es menjadi naik lagi selama ribuan tahun setelah es itu mencair. Tim juga menyatakan mengukur seluruh area kota hingga batas wilayah terjauhnya dari pantai, yang bisa sampai beberapa kilometer.

Dalam studi kasus di Ho Chi Minh City, Cheryl Tay dan timnya menemukan kalau luas daratan yang akan tenggelam bakal bertambah 20 kilometer persegi, dan bahkan lebih lagi, jika laju land subsidence-nya berlanjut sampai 2030. Rio de Janeiro, Brasil, juga bisa menyaksikan tambahan 2 kilometer persegi yang akan tenggelam, mewakili tambahan 16 persen terhadap luasan wilayah yang tenggelam tanpa perlu ambles. 

Ho Chi Minh City. shutterstock.com

Meski begitu, Manoochehr Shirzaei dari Virginia Tech mengkritisi peta elevasi yang digunakan dalam studi yang, menurutnya, tidak semua dapat diandalkan untuk memperkirakan perluasan banjir. Dia juga menilai berfokus kepada area daratan di pedalaman kota pesisir bisa 'melebih-lebihkan dampak' dari perhitungan land subsidence

Sebuah laporan baru-baru ini dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang mengamati perubahan muka daratan di sepanjang garis pantai global selama seabad ini menemukan kisaran yang lebih sempit. Amblesan terparah dalam studi ini disebutkan 5,2 milimeter per tahun, atau sekitar setengah sentimeter. 

Dalam laporan itu telah dimuat peringatan bahwa jika laju amblesan tak berubah maka akan menjadi faktor pemicu besar dari bencana terkait gelombang laut. "Selama ini land subsidence selalu disepelekan. Hasil studi ini menjadikannya dalam perhatian," kata Shirzaei.

NEW SCIENTIST, NATURE


Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus