Mochtar Buchori*)
*) Pakar pendidikan
BAGAIMANA caranya mempersiapkan generasi muda agar di antara mereka lahir pemimpin-pemimpin politik yang mampu mengangkat bangsa dari keterpurukannya sekarang ini?
Melalui regenerasi politik! Karena krisis bangsa sekarang ini dilahirkan oleh penguasa negara dan pemimpin politik yang tidak mengindahkan norma kesantunan, kemanusiaan, dan kebenaran, yang harus diupayakan ialah agar pelaku politik di masa datang menjunjung tinggi norma tersebut. Budaya politik semacam ini hanya dapat lahir kalau sejak usia muda calon pelaku politik ini diasuh dalam lingkungan pendidikan yang pekat dengan budaya akademik (academic culture), yaitu budaya yang secara terus-menerus mencari kebenaran, pengetahuan baru, dan menjaga kesucian khazanah pengetahuan dari usaha pemalsuan. Kalau semangat yang terdapat dalam budaya akademik ini tertanam dengan kokoh dalam nurani generasi muda, tidak akan mudah bagi siapa pun yang kebetulan menjadi penguasa negara dan penguasa politik untuk menyembunyikan dan memalsukan kebenaran, termasuk kebenaran sejarah dan kebenaran hukum.
Sebaliknya, lingkungan pendidikan yang lemah dalam budaya akademik pada waktunya akan melahirkan budaya politik yang tidak mengindahkan norma kebenaran, kesantunan, dan kemanusiaan itu. Dan, pada gilirannya, budaya politik semacam ini melahirkan berbagai gejolak dan krisis dalam kehidupan bangsa.
Bung Hatta, yang oleh Bapak Daoed Joesoef dalam kolomnya di TEMPO Edisi 10-16 September lalu diceritakan sebagai mahasiswa yang semasa mudanya dengan sengaja memperpanjang masa studinya di Negeri Belanda, adalah seorang yang dibesarkan dalam lingkungan yang pekat dengan budaya akademik ini. Begitu pula teman-teman seangkatan Bung Hatta. Dengan bekal semangat budaya akademik ini, dalam pergulatan politik di kemudian hari, secara gigih mereka selalu mencari kebenaran dan menolak kebohongan. Dengan berbekalkan berbagai jenis kebenaran ini—dari kebenaran historis, lalu ke kebenaran yuridis dan kebenaran politis—mereka memperlihatkan keuletan yang luar biasa dalam perjuangan memperbaiki dan memuliakan kehidupan bangsa. Dan, kalau kita mau bersikap jujur, kegigihan dalam mempertahankan kebenaran dan menolak kebohongan ini tidak kita lihat pada generasi politik yang telah melahirkan krisis bangsa sekarang ini.
Dalam pandangan saya, negarawan adalah politisi yang baik, politisi yang berbudi luhur. Ada dua jenis politisi dalam penglihatan saya, yaitu politisi yang vulgaire, yang kasar, dan politisi yang santun, yang mengenal etika politik. Bagi politisi yang vulgaire, "politik" adalah perebutan kewenangan untuk mengatur negara. Sedangkan bagi politisi yang santun, "politik" adalah perjuangan mengembangkan cara mengelola lingkungan manusiawi dan nonmanusiawi berdasarkan prinsip yang akan meningkatkan kemaslahatan sebagian terbesar dari masyarakat.
Perbedaan pokok antara kedua jenis politisi ini terletak pada kesantunan dan ketaatan terhadap nilai-nilai etika. Tetapi pengetahuan dan keterampilan teknis yang dibutuhkan dari tiap jenis politisi tetap sama, yaitu mengetahui cara mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, mampu mengembangkan visi tentang masa depan yang menjadi tujuan bersama, dan kemampuan meyakinkan masyarakat untuk bersama-sama bergerak menuju masa depan yang digambarkan itu.
Yang akan mampu menyelamatkan bangsa ini ialah politisi yang memiliki kesadaran etika yang tinggi dalam melaksanakan per-tarungan politik. Jadi, usaha mempersiapkan regenerasi politik ini harus kita mulai dari pendidikan. Hanya pendidikan yang berhasil menanamkan kesadaran nilai dan melahirkan generasi politik yang mengharamkan korupsi, kolusi, dan nepotisme, generasi politik yang juga mengharamkan money politics dan political blackmailing, dan generasi politik yang mampu menjaga keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum.
Bagaimana ujud pendidikan seperti ini? Ialah pendidikan yang menekankan keseimbangan antara kemampuan intelektual dan kepekaan estetis, kepekaan sosial yang melahirkan empati dan kepekaan etis. Lahan pendidikan yang subur untuk lahirnya manusia seperti ini ialah lahan pendidikan yang menjunjung tinggi nilai yang ter-pendam dalam budaya akademik tersebut.
Konsep budaya akademik ini agaknya kurang dikenal di perguruan tinggi kita. Yang kita kenal ialah konsep kebebasan akademik (academic freedom). Menurut saya, kedua hal ini tidak dapat dipisahkan karena keduanya merupakan dua sisi yang berlainan dari hal yang sama. Tetapi yang pertama-tama harus ada ialah budaya akademik. Kebebasan akademik tanpa budaya akademik akan merupakan kebebasan yang kurang bermakna, yang hampa makna.
Apa perbedaan antara jenis pendidikan ini dan jenis pendidikan yang melatarbelakangi konsep Bapak Daoed Joesoef tentang NKK? Saya kira tidak ada.
Lalu, mengapa konsep NKK gagal melahirkan generasi politik yang menghormati kesantunan, kemanusiaan, dan kebenaran? Gagal benar juga tidak! Bahwa perguruan tinggi kita akhirnya melahirkan generasi pendobrak Orde Baru, itu merupakan suatu tanda dari keberhasilan visi pendidikan yang mendasari konsep NKK. Tetapi dampak positifnya tidak cukup terasa karena masa pelaksanaannya terlampau pendek. Masa lima tahun sungguh terlampau pendek untuk melembagakan suatu kebijakan pendidikan yang diharapkan menghasilkan transformasi suatu generasi.
Dan mengapa NKK tidak mendapatkan apresiasi yang memadai dari kalangan perguruan tinggi? Selain karena kurang dipahami, saya kira sebab utamanya ialah karena konsep yang baik ini diluncurkan oleh suatu rezim yang dalam pandangan masyarakat tidak cukup mengindahkan norma kemanusiaan, kesantunan, dan kebenaran. Praktek-praktek politik yang terjadi dalam Pemilu 1972 membuat sebagian dari masyarakat—terutama dari perguruan tinggi—bersikap skeptis dan sinis. Sebab yang lain lagi ialah pada waktu itu—dan sebenarnya sampai sekarang juga—nilai-nilai budaya akademik seperti yang saya katakan itu belum cukup berakar di lembaga-lembaga pendidikan kita.
Jadi, salah satu langkah kunci untuk melahirkan regenerasi politik ialah membenahi sistem pendidikan kita. Marilah kita buat lembaga-lembaga pendidikan kita menjadi kubu pertahanan kesantunan, kebenaran, dan kemanusiaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini