YANG bikin keramik itu jarang. Yakni keramik yang dibuat sebagai
seni bentuk, bukan seni pakai. Entah itukah sebabnya Dewan
Kesenian Jakarta baru dua kali mengadakan pameratl keramik --
sejak berdirinya tahun 1968. Pertama keramik llilda Sidharta
tahun lalu. Kedua, karya dua senirnan nIuda Nuzurlis Koto dan
Toto Riboedijanto. 10-21 Januari 1979 ini.
Memang, dulunya keramik itu seni pakai: vas dan pot bunga, guci,
gelas dan cangkir, asbak dan tetek bengek lain. Di Jawa Tengah,
yang disebut grabah ialah perkakas dapur yang dibuat dari tanah
liat, kemudian dikeraskan dengan bakar. Itulah keramik -- yang
arti -- dasarnya memang tanah liat yang dibakar.
Pendekatan seorang seniman pada keramik pun bisa macam-macam.
Hilda tempo hari lebih menekankan kemungkinan yang bisa
diperoleh lewat proses. Dia bernnain dengan proses -- bukan
bentuk dulu lalu diproses. Itu Hilda. Sementara yang banyak
ialah mencipta bentuk lewat media keramik. Dan bentuk di situ
bisa bentuk sebagai bentuk bisa juga bertolak dari bentuk
tradisionil atau sebut saja bentuk pakai.
Baik Toto Riboedijanto maupun Nuzurlis, keduanya bertolak dari
bentuk pakai tadi ujud vas bunga atau celengan. Itulah kenapa
Nashar, anggota DKJ dalam pembukaan pameran ini mengatakan
keramik-keramik ini merupakan upaya pencarian dengan jalan
deformasi bentuk.
Hanya dilihat sebagai barang seni, keramik kedua insan ini belum
memberi bentuk khas. Deformasi di situ terasa sekedar mau lain,
supaya tidak memberi kesan keramik pakai.
Misalnya bentuk vas bunga yang kemudian dilobangi pada sisinya,
lalu diberi semacam tanduk. Atau bentuk jambangan bunga juga,
diberi tonjolan-tonjolan bulat pada dindingnya. Atau bentuk
semacam katak, dikombinasikan dengan lain-lainnya. Hasilnya
entah apa.
Coba anda lihat keramik kuno di Museum Pusat misalnya. Ambil
yang paling sederhana: sebuah guci tua. Meski dulu itu hanya
digunakan untuk tempat menyimpan air atau anggur, mungkin,
ternyata kwa bentuknya sendiri sudah enak dilihat. Dinding yang
menggelembung itu ada rasanya. Bukan sekedar bentuk, tapi seolah
ada gerak kembang kempis. Cobalah dicek.
Nah, bentuk yang menyarankan rasa itulah yang minus pada karya
Nuzurlis maupun Toto. Yang terasa adalah bentuk yang meski
bervolume, kesannya datar. Lagi terlalu banyak tonjolan yang
tidak perlu. Berlebihan, kurang selektif.
Teknis juga membuat kita ragu. Misalnya retakan pada beberapa
karya. Andai itu kesengajaan, nyatanya kita mendapat kesan
sebagai kecelakaan. Nah: kalau memang kecelakaan, kenapa
dipamerkan?
Mungkin DKJ melihat potensi mereka yang masih punya kemungkinan
untuk jadi berkembang. Tapi satu-satunya yang bisa diterima
ialah: kalau DKJ bertolak dari kenyataan, bahwa yang bikin
keramik sebagai barang seni memang jarang.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini