BANTENG dan rusa bukanlah binatang yang mutlak harus dilindungi seperti ditentukan selama ini. Pengecualian itu berlaku di Pulau Moyo, yang 12 ribu dari 30 ribu hektare kawasannya merupakan taman buru nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 308/Kpts-II/1986. Taman buru itu Sabtu pekan lalu diresmikan (lagi) oleh Menteri Kehutanan, Djamaloedin Soerjohadikoesoemo, sebagai taman wisata alam dan taman wisata buru. Terletak di Tanjung Pasir, taman buru itu merupakan satu dari tiga kawasan yang dikelola oleh PT Moyo Safari Abadi (MSA), milik Marsekal Madya (Purn.) Abdul Kadir dan pengusaha Belanda, Adrian Reza. Dua kawasan lainnya merupakan daerah wisata. Ponco Sutowo dan Dali Sofari adalah dua pengusaha dikenal gemar berburu yang ikut andil di proyek senilai Rp 10 miliar itu. Pada tahun 1972, lebih dari setengah area Pulau Moyo terletak di lepas pantai utara Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat telah ditetapkan oleh Menteri Pertanian sebagai kawasan margasatwa. Sejumlah satwa, antara lain burung gosong, tawon, burung lasimon, rusa, dan sapi murni (banteng), hidup di sana. Selain itu, ada juga beo, kakaktua putih, dan koakiau. Apakah dengan surat keputusannya, Menteri Djamaloedin bisa dikatakan telah ''menjual'' Pulau Moyo kepada para pemburu? Rasanya tidak. Soalnya, seperti taman perburuan di Afrika, satwa yang boleh diburu di sana sudah ditentukan. Jumlah dan jenis satwa maupun jadwal perburuannya pun ditentukan. Di samping itu, seorang pemburu profesional dari Australia siap mendampingi para pemburu. Dan, ''Satwa yang diburu adalah yang lanjut usia,'' kata Abdul Kadir. Syahdan, ide mendirikan taman itu muncul ketika Abdul Kadir berburu di pedalaman Afrika. Ide itu menyeruak lagi ketika ia melihat alam Pulau Moyo yang sejauh-jauh mata memandang dilatari sabana. Dan padang rumput itu menyimpan aneka jenis satwa. Pokoknya, ideal bagi pemburu. Untuk sekadar pemanasan, misalnya, di sana ada rusa serta babi hutan. Dan untuk bertualang serta mencari sensasi, ada banteng. Ketika dilakukan analisa mengenai dampak lingkungan (amdal), tiga tahun silam, diketahui bahwa populasi rusa di sana sudah mencapai 3.000 ekor. Sementara itu, banteng jumlahnya mencapai seribu ekor. ''Bahkan, babi hutan sudah menjadi hama,'' kata Abdullah M.T., Ketua Pusat Studi Lingkungan Universitas Mataram. Menteri Kehutanan menegaskan hal yang sama. ''Populasi hewan di sana sudah berlebih. Populasi itu harus dikendalikan agar sesuai dengan daya dukung ekologi,'' ujar Djamaloedin. Mungkin benar bahwa perburuan bisa mengendalikan laju populasi satwa yang jumlahnya melewati daya dukung suatu kawasan. Itulah juga yang dikatakan Yapto Suryosumarno, pengacara yang berhasrat mewujudkan hutan wisata buru di kawasan cagar alam Pangumbahan, Ujunggenteng, Sukabumi. ''Berburu merupakan bagian dari ekosistem dalam hutan,'' begitu alasannya. ''Rusa lebih cepat berkembang biak, tapi populasinya bisa ditekan bila ada harimau yang memangsanya. Kalau harimau overpopulasi, tentu akan mengganggu keseimbangan. Nah, di sini kita akan melakukan perburuan,'' tutur Yapto bersemangat. Hutan wisata buru yang ideal, menurut Abdullah, ialah yang tiap dua hektare lahannya dihuni seekor banteng dan tiga ekor rusa. Artinya, untuk 12 ribu hektare konsesi MSA dibutuhkan 6.000 banteng dan 18 ribu rusa. Satwa yang jumlahnya di atas angka ideal itulah yang boleh diburu. Kalau mengacu pada perhitungan di atas, jelas saat ini taman buru Pulau Moyo belum bisa dimanfaatkan. Dan belum jelas pula kapan jumlah satwa yang ideal bisa dicapai. Tapi, dalam izin perburuan, agaknya MSA berhati-hati. Dalam lima tahun pertama, setiap tahun MSA hanya memberikan izin kepada 20 pemburu. Baru pada lima tahun kedua, izin perburuan bisa diberikan kepada 100 orang. ''Itu pun, jika menurut sensus ternyata jumlah satwa di bawah jumlah ideal, izin perburuan akan dikurangi atau disetop sama sekali,'' kata Abdul Kadir. Untuk menjaga populasi satwa, MSA juga menyiapkan penangkaran indisidu (alami), eksidu (inseminasi), atau restocking (mendatangkan dari luar). Untuk restocking, MSA akan mendatangkan impala, kijang, dan antelop dari Afrika. ''Pokoknya, mau binatang apa saja ada,'' kata Dali. Memang tidak sembarang pemburu bisa malang melintang di Moyo. Mereka harus mengantongi zin berburu dan izin memiliki senjata. ''Bukan pemburu daging, tapi pemburu trofi,'' kata Dali. Tak hanya itu. Untuk lima hari wisata buru, seorang pemburu dikenai biaya US$ 20 ribu (sekitar Rp 40 juta). Bila cukup terkendali, mungkin perburuan bisa menunjang upaya pelestarian alam. Tapi, apa pun alasannya, ternyata jumlah satwa di Pulau Moyo kini semakin mengkhawatirkan. Sebuah sumber di PPA mengatakan, pembantaian besar-besaran oleh penduduk telah menyebabkan populasi burung gosong, diperkirakan, tinggal 3.000 ekor tiga tahun lalu masih 6.000 ekor. ''Hal itu bisa mengancam kehidupan satwa lainnya,'' kata Agus Miftach dari Bina Lingkungan Hidup Indonesia. Ia mungkin benar. Bila pemburu tak mendapat banteng atau rusa, jangan-jangan burung gosong yang jadi sasaran. Ini bisa terjadi, apalagi mereka telah dikenai biaya cukup tinggi. Bambang Aji, Bambang H. Sujatmoko, dan Supriyanto Khafid (Mataram)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini