MASIH ada yang bilang dunia ini milik lelaki, apalagi banyak yang mendominasi posisi strategis. Di arena politik, misalnya, dalam kebijaksanaan dan peraturan pemerintah mengalir rancangan dan keputusan dari politikus pria. Maka, tak aneh jika dalam penerapannya pria lebih banyak diuntungkan daripada wanita. Gambaran ini tercermin dalam makalah Smita Notosusanto, 32 tahun, dari Program Studi Kajian Wanita Universitas Indonesia, dalam seminar bertema ''Potret Wanita Indonesia-Australia: Persepsi Sosial, Budaya, dan Politik'' di Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta, Rabu pekan lalu (lihat Menghapuskan Potret Muram). Meski setengah penduduk dunia wanita dewasa, demikian laporan United Nations Development Program 1993, di parlemen kontribusinya hanya 10%, dan kurang dari 4% yang duduk di kabinet. ''Padahal, kontribusi wanita di dunia politik itu penting,'' kata Smita, yang kini mengadakan riset tentang wanita Indonesia dalam politik. Peran wanita dalam politik diharapkan akan menolong masalah-masalah wanita yang selama ini dianggap tidak penting oleh pria. Misalnya soal cuti haid atau upah buruh yang lebih minim ketimbang buruh lelaki. Master dari California State University, AS, itu menambahkan, ketika dulu buruh menuntut cuti haid, ada anggota DPR menyarankan agar tidak mempersoalkannya karena bisa disalahgunakan pemilik perusahaan yakni menggantinya dengan lelaki. Cuti haid dianggap mengganggu proses produksi. Padahal, cuti haid ada dalam Undang-Undang Tenaga Kerja dan GBHN, tapi tidak diterapkan. ''Penyalahgunaan memang ada di mana-mana, tapi tidak berarti hak perempuan dicabut,'' kata Smita. Sementara itu, di Indonesia jumlah politikus wanita masih kecil. Di lembaga DPR, hanya ada 59 wanita, sedangkan anggota pria 441. Namun, apakah jika jumlah wanita di parlemen bertambah nasib perempuan Indonesia akan lebih baik? Belum tentu. ''Dalam pekerjaannya, wanita di DPR mengalami benturan,'' kata putri mendiang Menteri P dan K Nugroho Notosusanto itu. Pendapat mereka cenderung tidak subjektif. Menurut Smita, yang akan melanjutkan S-3 di Sekolah Hubungan Internasional Fletcher School, di Boston, AS, perempuan Indonesia menghadapi berbagai hambatan untuk mengubah nasib (baca: maju). Adanya kultur patriarchy sistem yang menempatkan ayah sebagai induk silsilah misalnya, terbawa sampai di luar rumah. Perempuan cuma jadi orang nomor dua. Dalam rekrutmen pegawai memang tidak ada perbedaan syarat antara laki-laki dan perempuan. Tapi, secara operasional, untuk tugas teknis, pria lebih dipercaya. Padahal, wanita juga mampu. Yang juga sering terjadi, perempuan harus mengalah untuk mengikuti tugas suami. Di Departemen Luar Negeri, misalnya, diterapkan peraturan tak tertulis. Yakni, bila sepasang diplomat menikah, istri karena ikut suami harus mencopot karier diplomatnya. Dominasi lelaki hampir di semua bidang pekerjaan memang besar. Untuk menghapuskan dikotomi perempuan-lelaki itu diperlukan waktu panjang. Kalau pekerjaannya juru rawat, sekretaris, atau perias kecantikan, tidak jadi soal. ''Soalnya jadi berat bila pekerjaan itu diminati mayoritas lelaki, umpamanya jadi menteri luar negeri,'' kata Smita. Sri Pudyastuti R.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini