Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Asean inc. atau nanyang inc.?

Negara-negara asean menjalin kerjasama bidang perdagangan. investasi as dan eropa tetap diperlukan. para pengusaha cina keturunan berkumpul di hong kong. di indonesia, banyak juga tokoh politik keturunan.

4 Desember 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRESIDEN Filipina Fidel Ramos menerima 14 tokoh pengusaha Indonesia di Wisma Negara, 21 September lalu. Antara lain Anthony Salim, Sukanto Tanoto, James Riady, Gondokusumo, Yanti Sukamdani, Mukhtar Widjaja, Sugeng Sarjadi, Hasyim Djojohadikusumo, Jusuf Kalla, dan Hasan Soedjono. Raja Garuda Mas Group (pemilik Vegoil Philipine Inc. yang menguasai 50% saham), dan Sinar Mas Group (melalui Sinar Meadow International Ltd. 47,5%) dengan Edan Corp. (5%), bahkan menandatangani dua perjanjian proyek bisnis minyak sawit dan kertas. Sinar Meadow adalah patungan antara Sinar Mas dan Goldman Fielder dari Filipina. Padahal di Filipina lagi ramai isu pelarian modal akibat razia pajak yang menyudutkan taipan Lucio Tan. Menurut seorang pakar, 1,2 juta Filipino keturunan Cina atau 2% dari 65 juta penduduk negeri itu menguasai separuh bisnis sektor perdagangan, sepertiga industri manufaktur, dan seperempat keuangan. Tan, raja rokok dan pemilik 67% saham Philippine Airlines, dituduh mengelak pajak 7,6 juta miliar pesos pada tahun 1992. Tunggakan pajaknya selama 7 tahun diperkirakan 30 miliar pesos. Dalam rangka kompromi pada 15 September Pemerintah Filipina menyetujui pembentukan konsorsium oleh Tan bersama 5 konglomerat Filipina dalam wadah Asia's Emerging Dragon Corp (AEDC) dengan modal dasar 2 miliar pesos (S$ 113 juta). ASEAN memang memerlukan investasi dari AS, Eropa, dan Jepang. Tapi sebenarnya dana milik Overseas Chinese di Asia Timur merupakan salah satu super power ekonomi. Masalah krusial bagi ASEAN adalah menyerasikan kekuatan ekonomi itu dengan kekuatan politik akibat perbedaan rasial dan etnis antara pribumi dan nonpri. Selama proses asimilasi dan integrasi tersendat-sendat, maka kekuatan Overseas Chinese masih diperlakukan sebagai Nan Yang Inc. (istilah untuk kawasan di sekitar Laut Cina Selatan), suatu kekuatan asing dan bukan kekuatan domestik ASEAN Inc. Ironis, di Manila timbul sentimen anti-''Cina'', tapi Ramos di Jakarta mengundang sejumlah konglomerat nonpri. The 2nd World Chinese Entrepreneurs Convention di Hong Kong (22-24 November 1993) merupakan forum yang dimanfaatkan oleh RRC secara proaktif, dengan mengundang 845 peserta meninjau proyek pembangunan kawasan delta Sungai Mutiara (Pearl River). Menteri Senior Lee Kuan Yew, Rektor Universitas Hong Kong Prof. Gungwu, dan Letnan Gubernur Provinsi British Columbia (Kanada) Dr. David Lam tampil sebagai pembicara utama. David Lam adalah tokoh unik yang lahir di Cina, alumni Lingnan University dan pasca-sarjana di AS. Lam, bersama istri dan tiga putrinya, berimigrasi dari Hong Kong ke Kanada tahun 1966. Lam punya resep ABC agar kaum imigran bisa berintegrasi ke dalam mayoritas bangsa Kanada. Acceptance (kesediaan untuk saling menerima antar-kelompok penduduk), Belonging (rasa ikut memiliki), dan Commitment (keterikatan) terhadap masyarakat setempat. Resep jitu Lam mengorbitkannya menjadi Letnan Gubernur di provinsi Kanada tadi. Di Hong Kong, banyak peserta keturunan Cina bangga menyatakan mereka adalah anggota parlemen, atau DPRD di Australia, AS, dan atau pimpinan dari Chinese Chamber of Commerce setempat, seperti di Kobe, Yokohama, dan Tokyo. Mereka tidak dicurigai oleh pemerintahnya, dan dibenarkan mencari akses kepada Nan Yang Incorporated, yang sekarang ini menguasai cadangan devisa terbesar dunia. Menarik pernyataan Hari Dharmawan dari Matahari Group yang secara polos membuktikan bahwa ia tidak memiliki rasa bersalah. Ikut sertanya Hari dalam Konvensi Hoakiau tersebut tidak akan menggoyahkan iman dan loyalitasnya kepada Republik Indonesia yang telah mengorbitkan dirinya menjadi raja department store lokal terbesar di ASEAN. Isu konsentrasi ekonomi di tangan nonpri secara tersirat mencuat lagi dalam Kongres ISEI di Surabaya pekan lalu: bahwa 10 besar konglomerat menguasai 30% PDB Indonesia. Ini memang isu klasik yang peka. Tapi di balik itu, sebenarnya terselip antipati terhadap kolusi antara penguasa politik pribumi dan kaum kapitalis ersatz, apalagi ersatz keturunan Cina. Sebenarnya tidak semua konglomerat menikmati fasilitas lisensi khusus monopoli. Banyak yang tumbuh dari kerja keras, seperti Gudang Garam, Kalbe Farma, Argo Manunggal, Dharmala, dan bahkan Barito Pacific yang menjadi raja kayu setelah belasan tahun berkarya. Tapi karena yang merajalela secara mencolok adalah figur kontroversial yang berkolusi dengan penguasa politik, maka isu ini menjadi semakin merebak. Benar, secara pukul rata semua pengusaha menikmati proteksi industri balita melalui tembok tarif dan regulasi, kredit investasi dengan suku bunga rendah, dan akses ke pasar modal yang relatif liberal. Namun, itu tak berarti semua pengusaha Indonesia adalah ersatz seperti dituduhkan Kunio Yoshihara. Mayoritas sebetulnya mempunyai kinerja yang dinamik dan positif, tapi kadang dihambat oleh birokrasi yang kerjanya mencari rente. Pemerintah di ASEAN harus bijaksana apakah akan terus menCinakan kekuatan Nan Yang Inc. sebagai suatu potensi yang tidak bertanah air, dan didorong untuk berkiblat ke RRC. Atau akan menerima mereka sebagai Indonesia Inc., Malaysia Inc., dan Philippine Inc. dengan resep ABC dari David Lam. Di zaman awal Republik, misalnya, empat menteri kita adalah keturunan Cina. Lalu ada tiga menteri keturunan Cina yang ikut duduk dalam kabinet 100 menterinya Bung Karno. Di zaman Orde Baru, Pemerintah tampaknya kurang menyukai peran politik golongan nonpri. Bagi mereka agaknya berlaku ketentuan tidak tertulis: silakan berkiprah menjadi konglomerat bisnis tapi tidak perlu ikut berpolitik. Namun, hukum alam tentang diversifikasi profesi dan ketidakbenaran identifikasi etnik Cina dengan profesi bisnis, terbukti dengan tetap munculnya figur seperti Yap Thiam Hien dan Arief Budiman. Juga Kwik Kian Gie, yang secara politis bukan mustahil akan bisa tampil menjadi David Lam Indonesia, kalau saja Kwik bisa diterima sebagai WNI 100%, dengan hak-hak politik sepenuhnya, sampai jabatan menteri. Meski belum tentu jika orang seperti Kwik menjadi menteri, konglomerat nonpri otomatis bisa dijinakkan menjadi aset Indonesia Inc., dan tidak mengambang menjadi Nan Yang Inc. yang setiap saat bisa dirayu oleh Deng Xiao-ping atau oleh tanah air baru seperti Kanada dan Australia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus