Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
UNDP menggelar survei krisis iklim yang melibatkan 73 ribu responden dari 77 negara, termasuk Indonesia.
Mayoritas responden Indonesia, juga global, makin khawatir terhadap dampak krisis iklim.Â
Tuntutan terhadap peran pemerintah dalam mitigasi krisis iklim menguat. Namun kebijakan Indonesia dinilai inkonsisten.
SURVEI The Peoples' Climate Vote 2024 yang dipublikasikan Badan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) pada akhir Juni lalu menunjukkan mayoritas responden Indonesia mengaku makin khawatir terhadap dampak perubahan iklim. Indonesia menjadi satu dari 77 negara yang menjadi sasaran survei persepsi publik terhadap krisis iklim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jawaban responden asal Indonesia itu tak jauh berbeda dengan hasil survei global, yang totalnya meliputi 73 ribu orang dari 77 negara. Digelar pada Februari-April 2024, survei UNDP yang bekerja sama dengan Universitas Oxford dan Geopoll menunjukkan 80 persen responden dunia mendesak pemerintah mengambil tindakan lebih kuat untuk mengatasi krisis iklim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Pemungutan suara rakyat mengenai perubahan iklim sangat nyaring dan jelas. Warga dunia ingin para pemimpin mereka mengatasi perbedaan-perbedaan mereka, bertindak sekarang, dan bertindak berani untuk melawan krisis iklim," kata administrator UNDP, Achim Steiner, dalam keterangan pers ihwal hasil survei ini, akhir Juni lalu.
Di Indonesia, survei ini melibatkan 897 responden berusia lebih dari 15 tahun. Mereka mendapat sejumlah pertanyaan yang dirancang peneliti untuk memahami masyarakat merasakan dampak perubahan iklim dan bagaimana mereka ingin para pemimpin dunia meresponsnya.
Hasilnya, lebih dari 60 persen responden Indonesia menyatakan lebih khawatir terhadap dampak perubahan iklim dibanding tahun sebelumnya. Sebanyak 86 persen responden menginginkan pemerintah Indonesia memperkuat komitmen mengatasi krisis iklim. Hasil survei di Indonesia ini lebih tinggi dibanding rata-rata global, yang hanya 53 persen dari total responden mengaku lebih waswas terhadap krisis iklim.
Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, mengatakan hasil survei itu menunjukkan tingginya kesadaran publik dalam isu iklim. Tentu saja, kata dia, kesadaran publik itu tidak muncul dari ruang hampa. Masyarakat telah melihat dampak krisis iklim yang nyata. "Bumi makin panas. Adanya bencana ekologis berupa banjir, tanah longsor, dan sebagainya. Bukti-bukti itu mendorong orang sekarang mulai sadar krisis iklim," kata Uli kepada Tempo, Senin, 15 Juli 2024.
Di Indonesia, krisis iklim telah berkontribusi besar terhadap meningkatnya bencana hidrometeorologi, seperti banjir, cuaca ekstrem, dan tanah longsor. Dalam lima tahun ini saja, setidaknya terjadi 23 ribu peristiwa bencana yang menewaskan 2.982 orang serta merusak 478.896 rumah dan bangunan.
Selain memakan korban nyawa dan harta, bencana itu bisa merugikan secara ekonomi. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan potensi kerugian ekonomi akibat perubahan iklim yang terjadi pada periode 2020-2024 mencapai Rp 544 triliun.
Kendati masyarakat makin menaruh perhatian terhadap perubahan iklim, peran pemerintah dalam mitigasi belum optimal. Dalam survei UNDP itu, hanya 8 persen responden Indonesia yang menyatakan pemerintah sudah baik menangani krisis iklim. Sebanyak 46 persen menjawab cukup baik. Sedangkan sekitar 42 persen responden menjawab sebaliknya.
Walhi sependapat dengan responden Indonesia yang menilai rapor pemerintah masih merah. Menurut Uli, hingga saat ini pemerintah RI belum menunjukkan komitmen serius mengatasi krisis iklim. Dia tak melihat adanya upaya pemerintah untuk melakukan transisi secara cepat dari ekonomi ekstraktif ke pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan. "Solusi yang dipilih pemerintah tidak menjawab akar dari masalah krisis iklim, yaitu keluar dari energi fosil," kata Uli.
Uli mencontohkan gembar-gembor program pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara yang inkonsisten. Pemerintah memang berupaya mendapatkan dana Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan atau Just Energy Transition Partnership (JETP) dari negara-negara maju untuk membiayai program ini. Namun pada kenyataannya, proyek-proyek PLTU tetap dijadwalkan dalam beberapa tahun ke depan, termasuk PLTU captive untuk menyokong pembangunan kawasan industri. Pemerintah pun malah berupaya menunda pengakhiran operasi PLTU tua dengan dalih penggunaan bahan bakar campuran yang diklaim ramah lingkungan (cofiring).
Alih-alih keluar dari energi fosil, kata Uli, Indonesia justru asyik membangun skema perdagangan karbon. Menurut dia, kebijakan perdagangan karbon jelas tidak menjawab tantangan krisis iklim. Skema carbon offset malah membuat penghasil emisi tetap beroperasi melepaskan gas rumah kaca ke atmosfer dengan membeli karbon di tempat lain. "Artinya, pemerintah sama sekali tak berupaya menekan laju emisi," kata Uli.
Sementara itu, Uli menilai pemerintah juga tak konsisten menangani masalah emisi di sektor penggunaan hutan dan lahan lainnya (FOLU). Pemerintah malah menempatkan pembangunan hutan tanaman industri sebagai bagian dari mitigasi iklim di sektor FOLU. Artinya, konversi hutan alam menjadi lahan budi daya monokultur akan tetap berlanjut.
Kebijakan tersebut mengkhawatirkan lantaran pemerintah juga tak mempercepat pengakuan atas wilayah masyarakat hukum adat. Padahal masyarakat adat dan kearifan lokalnya selama ini justru terbukti efektif dalam menjaga hutan. "Namun pemerintah malah lebih banyak memberikan hutan alam yang tersisa kepada korporasi," kata Uli.
Public Engagement & Actions Manager Greenpeace Indonesia Khalisah Khalid juga menilai survei UNDP ini menunjukkan bahwa krisis iklim sudah menjadi kesadaran dan konsensus global. "Ada semangat mengembalikan tanggung jawab para pemimpin negara di dunia untuk bisa melakukan tindakan yang lebih ambisius," kata perempuan yang akrab disapa Alien ini, Senin lalu.
Namun, sependapat dengan Uli, Khalisah juga mempertanyakan komitmen pemerintah dalam mengatasi krisis iklim. Dia menilai ada kontradiksi antara kebijakan pemerintah dan komitmen mitigasi iklim yang disampaikan kepada masyarakat global. "Yang paling kelihatan pasti adalah adanya Undang-Undang Cipta Kerja," kata dia.
Menurut Khalisah, UU Cipta Kerja sarat akan ambisi menarik investasi sebesar-besarnya ke Indonesia, termasuk di industri ekstraktif, seperti pertambangan, yang dampaknya justru merusak lingkungan hidup. Dia mendesak pemerintahan ke depan segera mencabut omnibus law itu. "Undang-undang ini jelas telah memperparah dan mempercepat krisis iklim," ujarnya.
Tempo meminta tanggapan dari Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Laksmi Dhewanthi ihwal hasil survei UNDP. Namun, hingga laporan ini diturunkan, dia belum merespons.
Saat memperingati Hari Lingkungan pada 5 Juli lalu, Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengatakan krisis lingkungan merupakan masalah global yang perlu ditangani melalui kerja sama negara, organisasi internasional, perguruan tinggi, pelaku usaha, dan masyarakat. "Melalui langkah-langkah konkret, Indonesia terus berupaya membangun ketahanan lingkungan untuk mewarisi bumi yang lebih sehat dan berkelanjutan," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Global Perubahan Iklim UNDP Cassie Flynn mengingatkan dua tahun ke depan merupakan salah satu peluang terbaik bagi komunitas internasional untuk memastikan pemanasan bumi tetap di bawah 1,5 derajat Celsius sesuai dengan target Perjanjian Paris. Kenaikan suhu di atas itu akan membuat cuaca makin ekstrem dan bumi makin sulit dihuni.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo