Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Tanah Hitam Seluas 6,3 Juta Hektare Tersebar di 14 Provinsi, Mengapa Jadi Perdebatan Ahli?

Warna hitam biasanya identik dengan tanah yang subur karena kaya bahan organik.

16 Desember 2024 | 05.58 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Tanah hitam yang identik dengan kesuburan, sejauh ini diketahui tersebar di 14 provinsi. Berdasarkan hasil pemetaan tahap pertama oleh peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kementerian Pertanian, dan perguruan tinggi, luas total tanah hitam mencapai 6,3 juta hektare.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Tanahnya ada yang dijadikan sebagai lahan sawah, pertanian lahan kering, sebagai kebun, dan kebun campuran," kata Destika Cahyana, peneliti Pusat Riset Tanaman Pangan BRIN lewat keterangan tertulis, Sabtu 14 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Secara turun temurun, berbagai budaya lokal di belahan dunia membedakan tanah berdasarkan keragaman warnanya. Warna tanah menjadi beragam karena mengandung senyawa besi, bahan organik, mangan, dan kadar air.

Tanah yang lebih lembab biasanya berwarna gelap, sementara tanah yang kering berwarna lebih terang. Warna hitam sendiri biasanya identik dengan tanah yang subur karena kaya bahan organik. “Warna tanah memang sejak dulu menjadi indikator awal untuk menilai kesuburan tanah karena mencerminkan kandungan bahan organik, senyawa besi, serta drainase tanah,” ujar Destika.

Karena tanah yang berwarna hitam di berbagai belahan dunia terbentuk dari proses yang beragam, penentuan definisinya di forum internasional menjadi perdebatan hangat. Mengikuti diskusinya sejak 2017, menurut Destika, sampai sekarang definisi atau batasan soal tanah hitam oleh para ahli tanah dunia berproses dinamis.

Awalnya definisi tanah hitam mengacu pada temuan di Rusia yang disebut chernozem hingga diklaim sebagai The King of Soils karena dinilai paling subur. Namun pada pertemuan lanjutan, tanah hitam lebih condong merujuk pada tanah mollisols.

Di luar itu ada kategori kedua tanah hitam. Di Indonesia, tanah yang masuk pada tiga persyaratan tanah hitam adalah sebagian vertisols dan sebagian andisols. Adapun tanah gambut atau histosols, menurut Destika, tidak termasuk tanah hitam karena bukan tanah mineral melainkan tanah organik.

Sementara tanah mineral bergambut termasuk tanah hitam, tetapi pada konteks Indonesia diabaikan. “Karena umumnya tanah mineral bergambut telah hilang akibat terbakar, erosi, dan pengolahan tanah intensif. Secara spasial, tanah gambut yang telah berubah menjadi tanah mineral (bergambut) masih sulit dipisahkan sebarannya serta jumlahnya dianggap tidak signifikan.

Tanah hitam mollisols terbentuk dalam lingkungan bahan induk yang kaya Calsium (Ca) dan Magnesium (Mg), biasanya dari dasar laut yang terangkat pada daerah dengan curah hujan rendah. Andisols terbentuk dari bahan induk vulkanik yang membentuk mineral alofan dan biasanya tersebar di daerah-daerah pegunungan hingga sekitarnya.

Vertisols umumnya memiliki bahan induk seperti mollisols, tetapi terbentuk pada daerah cekungan yang tertutup. “Saat ini ketiga tanah subur tersebut menghadapi permasalahan karena hilang tanpa adanya data yang valid,” kata Destika.

Hilangnya tanah subur tersebut karena konversi lahan, pengolahan tanah intensif, serta erosi. Menurutnya, kondisi itu merugikan Indonesia karena tanah subur merupakan aset paling berharga untuk menopang ketahanan pangan dan energi serta sebagai stok karbon.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus