Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Tani Kilat ala Cartagena

Indonesia segera memasuki zaman pertanian cangkok genetis. Tapi jangan khawatir, bibit tanaman hasil modifikasi genetis akan disaring ketat.

12 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELAMAT datang zaman pertanian kilat. Jika semuanya lancar, Indonesia akan memasuki era pertanian ekspres dan hemat biaya, akhir tahun nanti. Ketika itu, benih jagung superhebat akan dipasarkan. Dan kemudian benih kapas, kentang, kedelai, padi, bahkan mungkin juga bibit ayam dan sapi, semuanya berasal dari kualitas superhebat, akan segera menyusul.

Superhebat? Ya, karena mereka menjanjikan banyak keunggulan, yaitu usia panen pendek, hasil berkali lipat, dan tahan serangan penyakit. Kehebatan itu bisa diperoleh melalui teknologi rekayasa genetis: membuang gen (plasma pembawa sifat makhluk hidup) buruk dan menginjeksikan gen unggul untuk menciptakan makhluk hidup baru berkualitas super.

Jagung tadi, misalnya, menjadi hebat setelah disuntik gen baksil Bacillus thuringiensis (karena itu sering disebut jagung BT). Dengan pencangkokan gen ini (biasa disebut transgenik), jagung BT kebal terhadap serangan ulat. Akibatnya, bukan cuma petaninya tak perlu lagi menyemprotkan pestisida (menghemat waktu dan biaya), tapi bulir jagungnya juga lebih mulus (sehingga tak menyisakan banyak limbah).

Persoalannya, teknologi transgenik bukan tanpa risiko—terutama bagi keseimbangan ekosistem. Serbuk sari jagung super tadi, misalnya, di alam bebas bisa saja mengawini herba liar sehingga melahirkan gulma unggul yang sulit dibasmi. Kendati belum ditemukan bukti-bukti, pencangkokan gen juga dikhawatirkan akan memengaruhi kesehatan manusia.

Itu sebabnya Indonesia mengambil sikap hati-hati. Jagung yang dibiakkan di Amerika Serikat (AS)—negeri embahnya teknologi transgenik—sejak sepuluh tahun lalu itu baru akan dimasalkan tahun depan. Itu pun melalui berlapis saringan. Balitbio, sebuah lembaga penelitian bioteknologi, telah menguji risiko pembudidayaan jagung super itu sejak dua tahun lalu. Hasilnya, "Tahun depan, insya Allah, bisa lulus," kata peneliti di Balitbio.

Langkah hati-hati itu diambil untuk menghadapi gelombang perdagangan produk transgenik yang segera menyerbu. Sebagian besar negara-negara di dunia juga memilih jurus yang sama. Akhir Januari lalu, dalam pertemuan di Montreal, Kanada, 140 menteri lingkungan hidup setuju untuk mengadopsi Protokol Cartagena. Protokol ini memberi hak kepada negara importir untuk menguji semua benih tanaman transgenik sebelum dibudidayakan. Untuk produk jadi (jagung, tepung terigu), protokol juga mewajibkan produsen memasang label "mengandung transgenik" dan memberi hak negara importir untuk meminta dokumen pengujian, bahkan menolaknya masuk.

Protokol Cartagena merupakan kompromi dari sebuah pertarungan berlarut-larut antara produsen dan konsumen. Negara produsen transgenik seperti Amerika, Australia, Kanada, dan sekutunya ingin agar lalu lintas produk hi-tech itu dibebaskan—sesuai dengan asas perdagangan bebas. Tapi, para konsumen, Uni Eropa, dan sebagian negara berkembang, dengan alasan ancaman lingkungan dan kesehatan (konon produk transgenik itu karsinogen alias bisa menimbulkan kanker), menolak. Dari kacamata produsen, penolakan ini bisa juga dipandang sebagai kilah untuk melindungi pertanian negara konsumen yang tak efisien.

Perdebatan delapan tahun itu akhirnya menemui jalan tengah: produsen punya hak menjual ke mana pun, tapi konsumen juga punya kesempatan untuk menguji dan menolak. Meskipun keprihatinan lingkungan dan kesehatan pada akhirnya mesti menyingkir demi kepentingan dagang, protokol ini setidaknya memberikan perlindungan bagi konsumen produk transgenik untuk mengambil jarak.

Cuma, masalahnya, pada zaman perdagangan bebas seperti sekarang, keharusan menguji ulang benih transgenik justru membuat kita bakal pontang-panting. Coba bayangkan, agar dapat dibudidayakan, benih jagung BT perlu waktu dua tahun. Selama waktu itu, bulir jagung BT impor yang murah dan bermutu (kendati berlabel "transgenik" dan boleh jadi karsinogenik) sudah beredar luas di pasar internasional. Bukan tak mungkin, jagung super ini akan melibas jagung lokal yang mahal, sampai petani lokal punya kesempatan menanam jagung unggul yang sama.

Kelak, cerita jagung BT itu bukan mustahil juga akan dialami oleh tanaman yang lebih strategis seperti padi. Jika itu terjadi, beras transgenik akan menyapu perdagangan beras lokal. Akibatnya, petani lokal akan melongo dan kerusuhan sosial bisa setiap kali meledak.

Dwi Setyo, Agung Rulianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus