Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Tidak Cuma Akasia

Dalam acara peletakan batu pertama lab. biologi unas oleh gubernur dki tjokropranolo, pimpinan fak. biologi unas menyarankan agar penghijauan di dki menggunakan pohon asli setempat & tidak monokultur. (ling)

4 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGAPA Pejambon? Daerah yang kini dikenal sebagai tempat Departemen Luar Negeri Indonesia di Jakarta itu dulu adalah kampung yang terkenal lantaran pohon jambunya. Dan mungkin daerah Gambir juga terkenal lantaran pohon gambirnya Menteng karena pohon menteng Baccauren racemosal Begitu pula Cempaka Putih, Gandaria, Ketapang, Bungur, dan sebagainya. Bisa dibayangkan dari situ: Jakarta dulu adalah bumi yang rimbun bervariasi. Bayangan ini dilontarkan oleh pimpinan Fakultas Biologi Universitas Nasional (Unas) kepada Gubernur DKI Tjokropranolo, yang meletakkan batu pertama laboratorium biologi Unas di Ragunan, Pasar Minggu, dua pekan silam. C.J. Sugiarto M.Sc, Wakil Dekan fakultas itu mengharapkan agar para sejarawan mau membantu para ahli biologi menyelidiki asal-usul nama pepohonan yang banyak tersebar - dan diabadikan? -- dalam nama kawasan di Jakarta. Mungkin untuk kenangan juga. sebagai balasjasa atas bantuan DKI menyumbangkan tanah 6000 MÿFD serta uang Rp 25 juta buat membangun gedung laboratorium itu Unas menghadiahkan dua bibit pohon kepada Gubernur: pohon ketapang ~(Terminalia catappa Linn) untuk ditanam di daerah Ketapang, dan pohon salak ~(Salacca edulis Reinw) untuk ditanam di daerah Condet, yang dulu terkenal salaknya. Kedua batang pohon yang baru semeter tingginya itu diserahkan secara simbolis oleh Rektor Unas sendiri, Prof. Takdir Alisyahbana. Sayangnya: Mono Fakultas Biologi Unas tentunya tak sekedar ingin memugar berbagai kampung dan kawasan di Jakarta dari sudut sejarahnya semata-mata. Pertimbangannya seperti diutarakan Sugiarto kepada TEMPO lebih menyangkut Penghijauan dan kestabilan eko-sistem kota Jakarta sendiri. "Dari sudut penyegaran udara," katanya, "penghijauan yang dilakukan DKI memang sudah baik." Dinas Pertamanan DKI menanam banyak pohon besar yang menyaring zat asam arang (CO2) di udara, dan menghasilkan zat asam (O2) bagi pernatasan manusia. Sehingga udara terasa lebih segar, dan sejuk. Sayangnya, pepohonan yang ditanam menjurus pada satu jenis saja. Semacam monokultur. Terutama monokultur accacia (akasia) yang memang cepat tumbuh sehingga sudah populer di mana-mana. Di kampus Fakultas Kedokteran UKI di Cawang misalnya, pohon-pohon akasia dengan bunga kuningnya yang menjurai-jurai telah menciptakan suasana teduh, segar dan hijau. Agak terlambat, tapi tetap berarti, ialah usaha di kampus LPKJ yang hampir tanpa pohon itu: sebatang akasia dimulai di antara lantai. Selain cepat tumbuh, akar akasia kaya dengan butir zat lemas, sehingga mempersubur tanah untuk penghijauan selanjutnya. Tanpa perlu banyak menghambur-hamburkan urea--yang berasal dari minyak bumi yang semakin langka itu. Namun akasia yang sangat digemari DKI itu sebenarnya bukan pohon asli di kawasan pantai seperti Jakarta. Juga pohon itu--atau mahoni, flamboyan dan angsana yang juga banyak ditanam Dinas Pertamanan DKI - tak menghasilkan buah atau biji yang digemari burung yang dulu juga tergolong "penduduk Jakarta." Karena itu agaknya usaha Seksi PPA (Perlindungan & Pengawetan Alam) DKI melepaskan burung-burung di Jakarta, tak banyak hasilnya. Soalnya, bagi burung jalak-jalakan itu kurang sekali habitat (lingkungan hidup) yang sesuai di kawasan DKI ini. Atau mengutip ucapan Sugiarto: "Penghijauan yang monokultur itu, diduga telah merubah ekologi asli daerah ini." Dua Kupu-kupu di London Kalau begitu, mengapa tak mengubah penghijauan yang monokultur dengan penghijauan yang bervariasi? Itulah yang tersirat dalam penghadiahan bibit ketapang dan salak Condet kepada penguasa tunggal DKI itu. "Di Gang Asem misalnya," kata Sugiarto, "marilah kita tanam pohon asem kembali." Dan di jalan Ketapang pohon ketapang, di Pejambon pohon jambu. Kata Sugiarto kepada Gubernur: "Kan lebih enak kalau sore hari kita bisa menikmati udara segar, sambil mendengar kicau burung. Bukan burung di sangkar, tapi burung yang terbang bebas." Bagi Sugiarto, yang menyebut gagasan ini "monumen hidup di tengah monumen beton," masalahnya bukan sekedar kenikmatan sore hari. Ia mengambil contoh kota London. Digambarkannya betapa pentingnya keseimbangan ekologis antara kota, pepohonan, burung dan manusia itu. "Ada dua jenis kupu-kupu di London, yang mengadakan adaptasi terhadap debu industri di kota itu," katanya. Yang satu berubah warnanya jadi kelabu, yang lain tetap kuning. Burung pemakan kupu-kupu itu, hanya mampu melihat yang kuning. Sedang yang kelabu lolos. Padahal kedua jenis kupu itu suka merusak tanaman. Tapi setelah kupu yang kelabu lolos dari seleksi alamiah itu, dan populasinya tak terkontrol lagi oleh burung, tanaman di kota London juga lebih banyak dirusak. Dan London terancam tandus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus