Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Ifar-ifar dan sisa perang dunia ifar-ifar & sisa perang dunia

Nelayan di jayapura telah memanfaatkan mesiu dari bom sisa perang untuk menangkap ikan di laut. penangkapan ikan dengan bahan peledak, mengancam kesuburan laut, mengganggu keamanan & menelan korban. (ils)

4 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TELUK Yos Sudarso di Irian Jaya sungguh indah. Air laut yang biru, beberapa onggok pulau yang hijau, dan pantai putih oleh pasir dan buih ombak. Cukup mempesona. Alam asli belum banyak dijamah, kecuali di teluk bagian yang ada kantor gubernur, gedung DPRD atau beberapa gedung sebagai gudang yang selalu tampak kaku dan tidak ramah. Di jalan yang menuju lapangan udara Sentani, jalan yang selalu searah dengan laut, tampak beberapa rumah penduduk didukung oleh tonggak-tonggak yang tertancap dalam di perut laut. Kekurangan daratan? Bukan. Nelayan memang menyatukan hidupnya dengan asinnya air laut, amis dan segarnya udara laut. Mereka, --para nelayan tersebut -- kebanyakan datang dari Serui dan Buton. Bom Napalm Kira-kira 15 tahun yang lalu, para nelayan tersebut masih menangkap ikan dengan jala. Anak-anak mereka dengan segala ketelatenan, mencoba pancingnya di emperan rumah yang berlandaskan laut. Waktu itu, laut masih tenang. Ikan-ikan, sekan-akan menyediakan diri untuk dijala sementara manusia belum begitu rakus untuk menguras semua isi laut. Sampai pada suatu saat, ketika modernisasi masuk ke dalam dunia perikanan. Perahu bermotor telah menggangu ketenteraman laut. Kapal-kapal besar dari Jepang dan Taiwan, seakan telah merampok semua isi laut. Ikan tuna, tidak bisa dicapai lagi oleh nelayan yang bermodalkan jala. Dengan cepat dan rapi, kapal-kapal asing menyedot tuna-tuna dalam bulan-bulan tertentu. Pukat harimau, telah merupakan mulut ikan hiu dalam ceritera Pinokio, yang menelan apa saja di laut. Para nelayan pun kemudian harus mencari akal, bagaimana agar mereka juga mendapat jatah yang banyak dari laut. Akal ada, uang tak ada. Di daratan, banyak terdapat mesiu. Entah itu bekas mesiu dari zaman Jepang atau masa ketika Irian Jaya masih diaku pihak Belanda. Di Entrop, tumpukan bom napalm yang urung meledak dari sisa perang dunia kedua, masih ada. Malahan letaknya dekat perumahan Pemda I, Padangbulan. Apakah salah, kalau barang nganggur ini dimanfaatkan? Toh penghasilan nelayan dengan jala tidak bisa lagi dipertahankan. Oknum Usaha dan akalpun bekerja. Serbuk bom diambil. Ditaruh dalam botol. Diberi sumbu. Jadilah. Sebuah perahu, dua orang nelayan, botol berisi mesiu, lalu melautlah mereka. Di laut lepas, mereka mengintai kumpulan ikan yang sedang pesta makan. Buumm! Meledaklah botol yang telah diisi mesiu ke tengah kumpulan ikan-ikan yang tanpa dosa tersebut. Laut bergejolak sebentar, air keruh dan selang beberapa menit, bermunculanlah ikan-ikan segala jenis tanpa nyawa. Dengan mudahnya, sang nelayan menyauk semua ikan yang mengambang tersebut. Begitu gampangnya mencari ikan dengan bom buatan, semakin menarik begitu banyak peminat mencari ikan dengan jalan demikian. Para nelayan mendapat saingan baru. Beberapa oknum berseragam hijau, turut meramaikan laut untuk mencari ikan dengan cara pemboman pula. Dinas Perikanan setempat jadi pusing tujuh keliling. Ifar-ifar - begitu mereka sebut untuk menangkap ikan lewat bom--merusak anak ikan, meracuni rumput laut, membunuh udang dan kesuburan laut jadi terancam. Begitu uraian Dinas Perikanan. Larangan, penangkapan dan hukuman kemudian diadakan. Para nelayan yang tidak bisa mencari rezeki lewat bom atau takut kena hukum, kemudian melebarkan pelayarannya ke bagian timur. Inipun merepotkan juga. Sebab dua jam saja kita berlayar dengan perahu motor, kita sudah sampai di negara tetangga yang namanya Papua Niugini. Kalau telepon dikantor Bupati Jayapura berdering, sering itu berasal dari Papua Niugini yang mengabarkan bahwa "rakyat"nya telah mengambil ikan dari pihak tetangga. Biarpun para nelayan sering dikumpulkan di gedung Sarinah Jayapura untuk diberi pengertian, situasi repot demikian tetap saja berlangsung. Mudah-Mudahan Dia Mati Pemboman tetap saja berlangsung, terutama dari mereka yang berbaju seragam. Apakah Dinas Perikanan akan menangkap mereka? Wah, repot juga. Kemudian dilaporkan langsung ke atas. Pihak atas, waktu itu Letnan II Koesnan Aryo, 27 tahun, cuma berkata: "Memang benar, pembom ikan ada yang anggota AD, AL, dan Polri, tapi itu oknumnya. ABRI, dalam hal ini Carnisun Jayapura dan Dinas Perikanan terus mengadakan operasi." Tambah Koesman Aryo yang lulusan Akabri: "Tindakan membom laut itu bukan saja -mengganggu kesuburan laut, tapi juga mengganggu keamanan dan ketertiban." Saking kesalnya, pernah dia berucap: "Saya tahu insinyur" yang bikin bom di Abepura. Pelakunya memang bandel biarpun sudah disekap berkali-kali. Mudah-mudahan saja dia mati kena bomnya sendiri." Belum pernah terdengar "insinyur" tersebut meninggal kena bom. Ikan kena bom mati, sering. Kini pembuatan bom malah jadi lebih sempurna. Pakai detonator segala. Pencari bom tua di daratan, malah ada yang meninggal. Seperti kejadian lima tahun yang lalu, di mana dua orang meninggal, 5 orang luka parah, gara-gara dia salah menggesek bom dengan gergaji. Bom-bom yang tidak meledak memang banyak setengah terbenam di beberapa tempat di Jayapura. Dia akan membisu kalau tidak ada orang yang dengan segala kejahilan membangunkannya dari tidur. Pengadilan sendiri sering menjatuhkan hukuman pada para nelayan dengan denda tertinggi Rp 60.000 atau kurungan 3 bulan. Dari para nelayan sendiri, tidak semuanya mengerjakan profesinya dengan bom. Yang cinta alam, dia lebih cenderung mencari ikan lewat jala atau alat lain yang tradisionil. Dengan meletakkan harap para Yang Maha Kuasa, akan rezeki seadanya. Pro dan kontra di antara para nelayan tentang pemboman ini, cukup seru. Mereka berperang bukan secara fisik, tapi lewat ilmu hitam. Sehingga sering kalau misalnya seorang La Bente meninggal kena bom, pihak lain berucap: "Oh, dia meninggal kena ilmu hitam." Jera atau tidak jera sulit diatasi. Sementara itu, korban di kalangan tukang bom kian meningkat. La husi rompas jarinya ketika membom ikan. La Domi, buntung bukan karena perang, tapi bom untuk membunuh ikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus