TELUK Yos Sudarso di Irian Jaya sungguh indah. Air laut yang
biru, beberapa onggok pulau yang hijau, dan pantai putih oleh
pasir dan buih ombak. Cukup mempesona. Alam asli belum banyak
dijamah, kecuali di teluk bagian yang ada kantor gubernur,
gedung DPRD atau beberapa gedung sebagai gudang yang selalu
tampak kaku dan tidak ramah.
Di jalan yang menuju lapangan udara Sentani, jalan yang selalu
searah dengan laut, tampak beberapa rumah penduduk didukung oleh
tonggak-tonggak yang tertancap dalam di perut laut. Kekurangan
daratan? Bukan. Nelayan memang menyatukan hidupnya dengan
asinnya air laut, amis dan segarnya udara laut. Mereka, --para
nelayan tersebut -- kebanyakan datang dari Serui dan Buton.
Bom Napalm
Kira-kira 15 tahun yang lalu, para nelayan tersebut masih
menangkap ikan dengan jala. Anak-anak mereka dengan segala
ketelatenan, mencoba pancingnya di emperan rumah yang
berlandaskan laut. Waktu itu, laut masih tenang. Ikan-ikan,
sekan-akan menyediakan diri untuk dijala sementara manusia
belum begitu rakus untuk menguras semua isi laut.
Sampai pada suatu saat, ketika modernisasi masuk ke dalam dunia
perikanan. Perahu bermotor telah menggangu ketenteraman laut.
Kapal-kapal besar dari Jepang dan Taiwan, seakan telah merampok
semua isi laut. Ikan tuna, tidak bisa dicapai lagi oleh nelayan
yang bermodalkan jala. Dengan cepat dan rapi, kapal-kapal asing
menyedot tuna-tuna dalam bulan-bulan tertentu. Pukat harimau,
telah merupakan mulut ikan hiu dalam ceritera Pinokio, yang
menelan apa saja di laut.
Para nelayan pun kemudian harus mencari akal, bagaimana agar
mereka juga mendapat jatah yang banyak dari laut. Akal ada, uang
tak ada. Di daratan, banyak terdapat mesiu. Entah itu bekas
mesiu dari zaman Jepang atau masa ketika Irian Jaya masih diaku
pihak Belanda. Di Entrop, tumpukan bom napalm yang urung meledak
dari sisa perang dunia kedua, masih ada. Malahan letaknya dekat
perumahan Pemda I, Padangbulan. Apakah salah, kalau barang
nganggur ini dimanfaatkan? Toh penghasilan nelayan dengan jala
tidak bisa lagi dipertahankan.
Oknum
Usaha dan akalpun bekerja. Serbuk bom diambil. Ditaruh dalam
botol. Diberi sumbu. Jadilah. Sebuah perahu, dua orang nelayan,
botol berisi mesiu, lalu melautlah mereka. Di laut lepas, mereka
mengintai kumpulan ikan yang sedang pesta makan. Buumm!
Meledaklah botol yang telah diisi mesiu ke tengah kumpulan
ikan-ikan yang tanpa dosa tersebut. Laut bergejolak sebentar,
air keruh dan selang beberapa menit, bermunculanlah ikan-ikan
segala jenis tanpa nyawa. Dengan mudahnya, sang nelayan menyauk
semua ikan yang mengambang tersebut.
Begitu gampangnya mencari ikan dengan bom buatan, semakin
menarik begitu banyak peminat mencari ikan dengan jalan
demikian. Para nelayan mendapat saingan baru. Beberapa oknum
berseragam hijau, turut meramaikan laut untuk mencari ikan
dengan cara pemboman pula. Dinas Perikanan setempat jadi pusing
tujuh keliling. Ifar-ifar - begitu mereka sebut untuk menangkap
ikan lewat bom--merusak anak ikan, meracuni rumput laut,
membunuh udang dan kesuburan laut jadi terancam. Begitu uraian
Dinas Perikanan. Larangan, penangkapan dan hukuman kemudian
diadakan.
Para nelayan yang tidak bisa mencari rezeki lewat bom atau takut
kena hukum, kemudian melebarkan pelayarannya ke bagian timur.
Inipun merepotkan juga. Sebab dua jam saja kita berlayar dengan
perahu motor, kita sudah sampai di negara tetangga yang namanya
Papua Niugini. Kalau telepon dikantor Bupati Jayapura berdering,
sering itu berasal dari Papua Niugini yang mengabarkan bahwa
"rakyat"nya telah mengambil ikan dari pihak tetangga. Biarpun
para nelayan sering dikumpulkan di gedung Sarinah Jayapura untuk
diberi pengertian, situasi repot demikian tetap saja
berlangsung.
Mudah-Mudahan Dia Mati
Pemboman tetap saja berlangsung, terutama dari mereka yang
berbaju seragam. Apakah Dinas Perikanan akan menangkap mereka?
Wah, repot juga. Kemudian dilaporkan langsung ke atas. Pihak
atas, waktu itu Letnan II Koesnan Aryo, 27 tahun, cuma berkata:
"Memang benar, pembom ikan ada yang anggota AD, AL, dan Polri,
tapi itu oknumnya. ABRI, dalam hal ini Carnisun Jayapura dan
Dinas Perikanan terus mengadakan operasi." Tambah Koesman Aryo
yang lulusan Akabri: "Tindakan membom laut itu bukan saja
-mengganggu kesuburan laut, tapi juga mengganggu keamanan dan
ketertiban." Saking kesalnya, pernah dia berucap: "Saya tahu
insinyur" yang bikin bom di Abepura. Pelakunya memang bandel
biarpun sudah disekap berkali-kali. Mudah-mudahan saja dia mati
kena bomnya sendiri."
Belum pernah terdengar "insinyur" tersebut meninggal kena bom.
Ikan kena bom mati, sering. Kini pembuatan bom malah jadi lebih
sempurna. Pakai detonator segala. Pencari bom tua di daratan,
malah ada yang meninggal. Seperti kejadian lima tahun yang lalu,
di mana dua orang meninggal, 5 orang luka parah, gara-gara dia
salah menggesek bom dengan gergaji. Bom-bom yang tidak meledak
memang banyak setengah terbenam di beberapa tempat di Jayapura.
Dia akan membisu kalau tidak ada orang yang dengan segala
kejahilan membangunkannya dari tidur.
Pengadilan sendiri sering menjatuhkan hukuman pada para nelayan
dengan denda tertinggi Rp 60.000 atau kurungan 3 bulan. Dari
para nelayan sendiri, tidak semuanya mengerjakan profesinya
dengan bom. Yang cinta alam, dia lebih cenderung mencari ikan
lewat jala atau alat lain yang tradisionil. Dengan meletakkan
harap para Yang Maha Kuasa, akan rezeki seadanya.
Pro dan kontra di antara para nelayan tentang pemboman ini,
cukup seru. Mereka berperang bukan secara fisik, tapi lewat ilmu
hitam. Sehingga sering kalau misalnya seorang La Bente meninggal
kena bom, pihak lain berucap: "Oh, dia meninggal kena ilmu
hitam." Jera atau tidak jera sulit diatasi. Sementara itu,
korban di kalangan tukang bom kian meningkat. La husi rompas
jarinya ketika membom ikan. La Domi, buntung bukan karena
perang, tapi bom untuk membunuh ikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini