KALENG Coca Cola raksasa setinggi 10 kaki tegak di depan gedung
Kedutaan AS di London, pertengahan bulan lalu Di sampingnya,
beberapa pemuda anggota himpunan pencinta lingkungan Inggeris,
Friends of the Earth (Sahabat Bumi) berdemonstrasi. Mereka
menentang penggunaan wadah (container) yang
sekali-pakai-terus-dibuang. Khususnya kaleng bir dan minuman
ringan sebangsa Coca Cola - yang sudah jadi salah satu bahan
sampah utama di negeri maju.
Aksi Friends of the Earth itu tak berhenti sampai di situ.
Seluruh anggotanya yang terhimpun dalam 200 caban organisasi
itu di Inggeris, dianjurkan mengirim kaleng bekas ke alamt
Presiden Jimmy Carter di Gedung Putih, Washington D.C. Juga
kelompok pencinta di lingkungan negara Persemakmuran lainnya ---
seperti Kanada, Australia dan Selandia Baru - maupun di Amerika
Serikat sendiri, dianjurkan melancarkan aksi serupa. Tujuannya,
menurut Tony Webb, jurubicara organisasi itu, "agar Jimmy Carter
mau mendukung usaha penggunaan kembali kaleng-kaleng bekas itu,
melalui suatu bank wadah (container)".
Mapala UI
Hampir senafas dengan aksi pencemaran lingkungan itu adalah
kampanye Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) UI tahun lalu.
Bekerjasama dengan para pelajar SLA, mereka mengadakan aksi
mengumpulkan kaleng dan plastik yang tercecer di berbagai
penjuru kota. Mengapa memilih kaleng dan plastik? "Sebab sampah
modern inilah yang paling mencemari lingkungan lantaran tak
dapat terurai lagi," ujar seorang anggota Mapala-UI kepada
TEMPO.
Kaleng bekas mungkin belum terlalu jadi problim seperti di
negeri maju. Kecuali di daerah yang penduduknya sangat gemar
minum minuman dalam wadah kaleng. Misalnya di kamp-kamp
penebangan hutan. Di situ kebudayaan minum bir dalam kaleng
sudah merasuk sampai ke pekerja pribuminya. Seorang direktur
perusahaan bir Belanda ketika terbang di atas Teluk
Cenderawasih, Irian Jaya dengan puas bisa menyaksikan kaleng
bekas wadah birnya berserakan di pantai.
Betapapun, konsumsi bir dalam kaleng di sini belum ada artinya
dibandingkan dengan tetarlgga di selatan, Australia. Khususnya
Darwin, ibukota Australia Utara. Menurut Guinnes Book of
Records, konsumsi bir per kapita di Darwin paling tinggi di
seluruh dunia: ratanata penduduk Darwin yang berjumlah 43 ribu
orang itu, minum 52 gallons (lebih dari 200 liter) bir setahun
(1975). Jadi bayangkan saja berapa ribu kaleng bir bekas
tercecer di kota pantai itu, tiap tahun.
Mungkin karena iseng, mungkin untuk mengurangi pencemaran karena
kaleng bir kosong itu, beberapa pemuda Australia punya ide
menarik: membuat rakit dari kaleng bir yang sungguh-sungguh
dapat berlayar di laut bebas. Menggunakan 15 ribu kaleng bir
kosong, rakit yang dinamai Can-Tiki (mirip rakit Kon-Tiki buatan
petualang Norwegia Thor Heyerdahl) itu berhasil berlayar dari
Darwin sampai ke Singapura. Pelayaran sejauh 1960 mil laut (3100
km lebih itu) ditempuh dalam 12 hari, September tahun lalu.
Di Jepang, kaleng-kaleng bekas itu juga cukup bikin pusing para
petugas kebersihan. Di salah satu stasiun kereta api
Kita-Kyushu, Jepang Selatan, setiap hari ada 200 kaleng bekas
tercecer di sana. Di musim panas, jumlah kaleng bekas itu
menurut catatan Asahi Shimhun bisa meningkat sampai 800 kaleng
sehari. Cara penanggulangannya? Mula-mula semua kaleng ditumbuk
sampai gepeng, lalu diangkut ke pabrik untuk diolah kembali.
Jadi tak perlu 'bank kaleng bekas' seperti yang diusulkan
Sahabat-Sahabat Bumi di Inggeris itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini