Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memberikan penjelasan mengenai pesan viral gempa Lombok yang dikaitkan dengan potensi aktifnya megathrust di Pulau Jawa, utamanya Jakarta. Menurut BMKG, gempa Lombok memiliki sumber gempa yang berbeda dengan megathrust.
"Gempa Lombok dibangkitkan oleh Sesar Naik Flores, sedangkan sumber gempa megathrust dibangkitkan oleh aktivitas tumbukan lempeng di zona subduksi," ujar Deputi Bidang Geofisika BMKG Muhamad Sadly, Selasa 7 Januari 2020.
Dalam pesan yang beredar disebutkan bahwa Lombok dalam sehari sudah digoyang gempa sebanyak tiga kali dengan kekuatan masing-masing magnitudo 6,5; 6,0; dan 7,0. "Jika gempa berkelanjutan hingga besok maka perkiraan BMKG mengenai MEGATHRUST Pulau Jawa sangat mungkin terjadi khususnya Jakarta yang diperkirakan besarnya mencapai 8,9 SR," demikian tertulis dalam pesan tersebut.
Sadly menegaskan, potensi gempa kuat di zona megathrust Jawa merupakan hasil kajian model yang siapapun tidak tahu kapan terjadinya. Untuk itu, dia menyatakan, "BMKG meminta masyarakat saat ini tidak perlu mengkait-kaitkan kemungkinan akan terjadinya gempa kuat yang berdampak di Jakarta."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia mengimbau masyarakat tetap tenang dan tidak mudah terpancing berita bohong (hoax) serta isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. "Pastikan informasi gempa bumi berasal dari lembaga resmi pemerintah dalam hal ini BMKG yang dapat diperoleh melalui website bmkg.go.id, mobile apps Info BMKG dan media sosial resmi BMKG," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, Kepala BMKG Mataram Agus Riyanto mengatakan dari hasil simulasi dan pemodelan tsunami justru wilayah Lombok Selatan menyimpan potensi gempa megathrust berkekuatan magnitudo 8,5 dan gelombang tsunami dengan ketinggian mencapai 20 meter sejauh hingga lima kilometer. Namun dia juga menegaskan soal ketidakmampuan prediksinya.
"Kapan waktunya tidak ada yang tahu bahkan teknologi secanggih apapun tidak bisa memprediksi dan mengetahui kapan akan terjadi gempa itu," ujarnya di sela-sela seminar manajemen kebencanaan yang dilaksanakan di Universitas Nahdatul Ulama NTB di Mataram, Kamis, 4 Juli 2019.
Agus merujuk pada sejarah dan hasil penelitian, gempa besar pernah terjadi di perairan selatan, khususnya Lombok pada 500-1000 tahun yang lalu. Hal ini dibuktikan dari jejak pasir sisa tsunami yang tertinggal. Sedangkan, gempa terakhir yang besar terjadi pada tahun 1977 di wilayah Sumba Kabupaten Nusa Tenggara Timur (NTT) hingga berimbas pada wilayah selatan NTB dan hingga sekarang tidak pernah terjadi lagi, namun tetap saja hal tersebut menurutnya harus tetap diwaspadai.