Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Virus untuk Ulat Grayak

Dengan teknologi sederhana, seorang guru kimia mengenalkan pemberantasan hama bawang merah secara alami. Ramah lingkungan dan bisa menambah penghasilan.

11 Agustus 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK bertahun lalu, Sofiah punya ritme hidup yang sama tiap pagi. Setelah membereskan rumah, wanita berusia 33 tahun yang tinggal di Desa Warungjinggo, Kecamatan Leces, Kabupaten Probolinggo, itu pergi ke sawah untuk mengurus tanaman bawang merahnya. Si umbi merah ini adalah gantungan hidup keluarganya, juga seluruh warga Leces. Dan agar gantungan hidup itu tak terserang hama ulat grayak, setiap hari selama masa tanamnya—9 bulan untuk 3 kali masa tanam—tanaman dari keluarga Liliceae itu harus disemprot dengan pestisida kimia. Bisa Astabron, Asodrin, atau Larvin. Itu ajaran yang didapat dari orang tuanya. Sebagai wanita yang hanya tamat sekolah dasar, Sofiah tak tahu bahwa cairan kimia itu adalah serigala berbulu domba. Ia juga tak tahu, sejak empat warsa lalu buku Rachel Carson, Silent Spring, telah menyadarkan dunia tentang dampak-dampak menetap yang bakal diderita penghuni bumi ini akibat pemakaian pestisida yang berlebihan. Hama bakal makin sakti dan tidak terkendali, terjadi penumpukan residu yang membahayakan makhluk hidup, terbunuhnya musuh alami, dan polusi lingkungan. Tapi, Indriati tahu. Lulusan Jurusan Kimia Murni FMIPA Institut Teknologi 10 November Surabaya yang tinggal di Leces itu tak bisa tinggal diam. Dengan biaya sendiri, Indriati, 34 tahun, pun mempraktekkan ajaran yang selama ini selalu digembar-gemborkan pemerintah: pengendalian hama terpadu, dengan memanfaatkan musuh alami hama. Sebotol kecil biakan murni virus SeNPV (Spodoptera exigua nuclear polyhedrosis virus) dibelinya dari Laboratorium Pertanian Pandaan, Pasuruan, di pengujung tahun 1997. Virus SeNPV yang dikembangkan oleh pakar ulat dari Belanda adalah predator alami bagi ulat grayak, hama momok yang biasa menyerang daun bawang merah. Tiga petak tanah pun dijadikan lahan percobaan. Teknologi pembuatan pestisida organik itu sangat sederhana: larutan SeNPV dicampur dengan daun bawang merah segar, kemudian diumpankan kepada ulat grayak. Si ulat rakus yang memakan umpan ini dijamin akan mati dalam waktu lima hari. Nah, bangkai ulat inilah yang kemudian menjadi pestisida. ”Ulat yang mati dan busuk itu akan mengeluarkan cairan kental. Dicampur air, jadilah pestisida,” tutur guru kimia Madrasah Aliyah Aisyiyah Kecamatan Leces ini. Selanjutnya, pemakaiannya sama saja dengan pestisida kimia, disemprotkan pada tanaman bawang merah. Sukses. Ulat grayak emoh menyantap daun bawang yang sudah disemprot dengan SeNPV. Namun, perlu waktu bagi peraih penghargaan Pemuda Pelopor Lingkungan Hidup se-Jawa Timur itu untuk meyakinkan temuannya kepada para petani. Baru setahun kemudian warga Warungjinggo meliriknya. Sawah saereng (luasnya 0,3 hektare), yang biasanya menghasilkan 2 ton bawang merah, dengan pestisida organik itu bisa membuahkan 2,4 ton. Keuntungan petani pun berlipat ganda karena biaya pestisida bisa ditekan. ”Dengan pestisida biasa, saya butuh Rp 3 juta untuk satu kali tanam. Tapi, dengan pestisida SeNPV, cukup 20 ribu saja untuk membeli larutan murninya. Setelah itu bisa membuat sendiri bersama-sama kelompok,” kata Sofiah. Selain untuk konsumsi sendiri, pestisida buatan ibu-ibu itu kini banyak dipesan petani dari daerah sekitarnya. Cuma, seperti juga pestisida alami lainnya, pestisida ulat grayak ini tak secespleng pestisida kimia. ”Daya tangkalnya baru 75 persen saja,” kata Indriati. Apa boleh buat, penggunaan SeNPV harus dikombinasikan dengan penggunaan pestisida anorganik, terutama jika serangan ulat terlampau ganas. Kekurangan lain, proses pembuatannya menimbulkan bau menyengat—satu hal yang tak dipermasalahkan para petani. Temuan dan kerja keras Indriati ini layak diacungi jempol. Masih lekat dalam ingatan kita, beberapa waktu silam 52 produk hortikultura asal Indonesia, seperti bawang merah, manggis, cabai, dan benih tanaman rambutan serta bawang daun, ditolak masuk Taiwan dengan alasan tercemar hama dan pestisida. Jika lebih banyak Indriati-Indriati lainnya, tentu kasus ini tidak perlu terulang. Rian Suryalibrata, Mahbub Djunaidy (Probolinggo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus