Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kanvas Pelukis Dunia di Mata Jais

Ketidakjelasan harga membuat seorang pialang Indonesia mampu menghancurkan masa depan seorang perupa. Art dealer Jais Dargawidjaya bertutur tentang sepak terjangnya.

11 Agustus 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah BMW berkilat meluncur tanpa suara dari garasi pelukis muda itu. Mobil papan atas itu bukan milik seorang CEO (chief executive officer) atau pengusaha sukses. Mobil itu milik seorang pelukis yang karyanya baru saja diborong oleh seorang pialang saham. Bayangkan, hanya karena sebuah nama, sang pialang juga bersedia membeli sehelai kanvas putih (dengan harapan sang pelukis suatu hari akan memuncratkan cat imajinasinya yang memiliki daya jual yang melangit). Mujur? Yang ia tak tahu, itu sebenarnya bagian dari sebuah taktik ekonomi seorang spekulan. Sang pialang kemudian memasukkan karya-karya sang seniman ke lelang lukisan (bisa di Jakarta atau Singapura). Ia—tentu saja lewat konco-konconya—membeli sendiri lukisan yang dimilikinya dengan harga yang jauh lebih tinggi. Istilahnya menggoreng. Yang terjadi kemudian adalah sebuah opini harga yang meluncur ke publik. Setelah itu, sang pialang pun mengadakan pameran karya sang pelukis secara besar-besaran. Dilengkapi dengan katalog luks yang diberi kata pengantar seorang kritikus berwibawa, tak mengherankan jika lukisan-lukisan pelukis itu diburu kolektor. Peristiwa ini mendatangkan keuntungan berlipat ganda bagi sang pialang. Beberapa tahun kemudian, ketika tren berubah, ia gantian mendongkrak harga pelukis lain, mengarahkan pasar untuk menerima gaya lain. Harga lukisan pelukis terdahulu langsung melorot. Gaya lukisannya terasa ketinggalan zaman, apalagi pada dasarnya pelukis sebelumnya yang diusung-usung itu memang belum matang. Akibatnya, kini sang pelukis mulai sulit menjual lukisannya. Pelukis itu sampai jalan sendiri menenteng lukisannya door to door. Menurut Jais Hadiana Dargawidjaya, 45 tahun, ini bisa terjadi pada pelukis-pelukis kita. Pengalaman seorang art dealer profesional yang malang-melintang di bursa Paris-Amsterdam-New York seperti Jais Dargawidjaya menjadi penting sebagai pembanding. Pada tahun 1997, Jais mengentakkan publik seni rupa Indonesia karena berhasil menghadirkan lukisan puluhan raksasa maestro dunia seperti Renoir, Georges Roault, Raoul Duffy, Picasso, Braque, Fernand Leger, Marc Chagall, Bernard Buffet di galerinya, Darga Gallery, di kompleks pertokoan Sanur, jalan bypass Ngurah Rai, Bali. Bagi putri Dargawidjaja, bangsawan Sunda di Bandung ini, karya-karya itu tak asing. Ia memang memiliki karya Rene Margrite sampai Andy Warhol (yang kemudian akan dijual kembali). Satu-satunya karya besar yang belum pernah dipegangnya hanyalah karya Van Gogh. Kini ia lebih banyak tinggal di Paris daripada di Bali. Pada 1998, bekerja sama dengan galeri setempat, ia mendirikan Darga and Lansberg Gallery di Jalan Rue de Seine 36, yang terletak di kawasan Menara Eiffel. "Sering saya terjaga tengah malam langsung bidding (melakukan penawaran) via telepon ke New York," tuturnya melukiskan kerjanya yang terus-menerus selama 24 jam. Menurut Jais, di Indonesia, seorang spekulan yang memiliki uang mampu bermain seenaknya. "Kasihan senimannya," katanya. Ia menganggap transaksi pembelian dan penjualan benda seni rupa di Indonesia tak bertanggung jawab terhadap kelangsungan masa depan sang seniman (dan karyanya). Katrol-mengatrol, goreng-menggoreng, karbit-mengarbit mungkin adalah fenomena pasar seni rupa di mana pun. "Tapi bedanya, para kolektor di sana bertanggung jawab menjaga market trust (kepercayaan pasar) sang pelukis, agar masa depannya tak hancur," tutur Jais. Di Indonesia, kepercayaan pasar itu belum terbangun. Hingga kini, hal yang paling dasar pun, misalnya soal kejelasan harga, masih amburadul. Syarat sebuah pasar sehat, bagi barang apa pun, termasuk lukisan, adalah: kemudahan mendapatkan informasi tentang harga secara jelas. Apalagi di masa kini lukisan adalah barang global yang tak memiliki kewarganegaraan. Lukisan bak pemain sepak bola yang dibeli dari satu klub ke klub lain, bisa pindah dari kolektor satu ke kolektor lain, galeri satu ke galeri lain, lintas negara. Sembari mengisap rokok dan menyedu kopi kental, di Sanur suatu sore, kepada TEMPO Jais menyodorkan sebuah buku tebal (dalam bahasa Prancis) Art Market Guide terbitan 1999. Buku ini berisi data-data perkembangan harga lukisan maestro mana pun dari tahun ke tahun. Misalnya, taruhlah lukisan Renoir: Jeunne Fille Sur Le Sentier (Young Girl on a Path). Dalam panduan itu, kita bisa melihat naik-turunnya harga dari tahun baheula sampai kini. Begitu detailnya keterangan di situ, hingga mereka mampu menguraikan secara lengkap tempat persinggahan karya itu. Bila sebuah karya banyak dipamerkan di museum bergengsi, tentu saja itu akan menambah kredibilitasnya. "Ini buku suci saya," demikian Jais berseloroh. Dari situ ia bisa memantau pergerakan naik-turun harga lukisan. Kita tak punya buku seperti ini. "Harus ada kritikus tentang market di sini," tuturnya tegas. Menurut ibu seorang anak itu (Magali, 12 tahun) selama ini kritikus kita umumnya membahas karya dari sudut estetika dan sejarah kreatif sang seniman. Maka dari itu, dibutuhkan seorang kritikus yang sudi mencatat perkembangan harga dari waktu ke waktu. Ia pun wajib mengetahui perkembangan harga dunia lukisan di kawasannya, Asia misalnya, agar ia bisa mengukur kira-kira seberapa layakkah sebuah lukisan dihargai dengan wajar. Di Barat, kritikus semacam ini memiliki pengetahuan yang luas tentang periode-periode kepelukisan se-orang pelukis. Picasso, misalnya, memiliki beberapa periode lukisan seperti periode realis sampai kubisme. Tentu saja lukisan produk tiap periode itu harganya berbeda-beda, karena itu bersangkutan dengan puncak artistik Picasso. Di sini harga lukisan seorang pelukis bisa dipukul sama rata. Misalnya lukisan karya Arie Smith. Padahal mutu Arie Smith periode Singaraja-Sanur (masa mudanya) dengan karya Arie Smith periode di Ubud masa kini tentu sangat berbeda. Suatu kali, Jais mengunjungi tempat pelelangan benda seni rupa Sotheby dan Christie Singapura. Menurut Jais, para pengunjung—yang tentu saja kolektor yang berpengalaman—bingung melihat tingkah laku para pembeli dari Indonesia yang membeli sebuah lukisan Hendragunawan dengan harga sangat tinggi. Padahal, yang mereka beli adalah lukisan Hendra periode sesudah penjara, yang kualitasnya tentu berbeda dengan karya dia sebelum di penjara. Bahkan pembeli Indonesia bisa saja membeli sebuah litograf karya Hofker, seniman Belanda zaman kolonial, yang tidak mencantumkan tanda tangan dari Hofker. Padahal, sejarah karya itu tak jelas, apakah karya itu dicetak semasa artisnya hidup atau sudah meninggal. Hal seperti ini tak akan mungkin terjadi di negara-negara Barat. Di negara-negara Eropa, sebuah lukisan karya maestro harus memiliki rujukan katalog yang jelas, konfirmasi asal museum yang memilikinya, provenance atau silsilahnya, riwayat pamerannya, tes laboratorium, dan seterusnya. Untuk litograf, mereka akan menuntut sejarah alat cetaknya di mana. Ingat kasus pameran The Old Painting Pre-World War II di Hotel Regent, 2000 lalu, yang gagal? Mereka hampir saja melelang karya Van Gogh, Picasso, Modigliani, yang tak memiliki sertifikat, karena panitia mengklaim karya-karya itu ditemukan di pelbagai kios penjual barang antik Indonesia dari Depok sampai Jatinegara. Ini semakin mempermalukan pasar seni rupa kita. Untung saja lelang itu tak terjadi. Sebab, menurut Jais, itu menjadi bahan pembicaraan di Singapura. Karena belum ada standar yang tetap itulah lukisan-lukisan Indonesia jarang beredar luas di pasaran Eropa. Adalah kenyataan, maestro seperti Affandi, Fadjar Sidik, dan Sudjojono tidak dikenal art dealer Eropa. Syahdan, ada yang mengatakan pelukis Salim, yang berdiam di Paris tahun 1950-an, adalah pelukis Indonesia yang mampu menerobos blantika seni Eropa. Tapi, menurut Jais, itu tidak benar, komunitas art dealer Paris tak mengenal nama Salim. Itu lantaran ternyata kebanyakan pelukis kita lazimnya memamerkan karyanya di kedutaan besar kita. Berbeda dengan pelukis Jepang, Cina, Taiwan, Korea, yang dapat menembus pasar Eropa lantaran mereka mengetahui anatomi pasar. Itulah salah satu motivasinya mengapa ia membuka Galeri Darga di Prancis, agar dapat memamerkan karya perupa Indonesia langsung ke pengemar seni Eropa. Yang juga menggelisahkan Jais, betapapun di sini investasi orang terhadap karya seni meningkat, art dealer bukan sebuah pekerjaan profesional. "Di Indonesia art dealer seperti dealer mobil," selorohnya. Artinya, pekerjaan ini masih dianggap usaha sampingan atau iseng-iseng. Di negara Eropa, tentu saja sulit untuk memasuki dunia art dealer yang berkelas. Meski Jais semenjak tahun 1980-an berburu lukisan di Eropa, baru tahun 1995 ia merasa diterima di kalangan art dealer Eropa. Ceritanya suatu hari di sebuah hotel di Paris ada lelang lukisan. Salah satu lukisan yang dilelang adalah lukisan Tsuguharu Foujita , La Petite Cuisiniere (1957), yang harga awalnya 300 ribu hingga 500 ribu frank. Jais menang dan berhasil mendapat lukisan itu dengan nilai 800 ribu frank. "Madame, you are paying too much," kata para art dealer Prancis yang langsung mengerumuninya. "Kalau begitu Anda memiliki Foujita yang lebih murah?" Jais bertanya balik. Setelah itu, undangan lelang kemudian menumpuk di mejanya. Dunia art dealer di Prancis pun membuka pintu untuk wanita cantik ini. Yang mengagetkan sepanjang pengalamannya mengarungi rimba art dealer Eropa adalah begitu terbukanya informasi di sana. Komunitas art dealer Prancis saling membagi informasi hingga mudah mengetahui lokasi dan harga sebuah lukisan. Bahkan pernah mereka bareng-bareng berpatungan modal agar bisa menang dalam sebuah lelang. Jais tak merasakan kebersamaan itu di Indonesia. Ia melihat masih terdapat kesan kompetisi antar-"gang". Bagaimana bisa mendeteksi sebuah lukisan bakal mencapai tingkat yang tinggi? "Itu tergantung pergaulan kita dengan sesama art dealer," katanya. "Tahun 1995 saya pernah ditawari tiga lukisan Basquiat, masing-masing seharga US$ 50 ribu. Waktu itu dolar masih belum begitu mahal. Saat itu lebih mahal harga lukisan Lee Man Fong di Christie Singapura. Tapi gobloknya (lukisan) itu tak saya ambil," katanya mengenang. Sekarang berapa harganya? "Gila, harganya US$ 3 juta," katanya menyesal. Jais mengakui juga memang ada faktor non-seni rupa yang dapat memompa perkembangan harga, misalnya trend pemikiran postmodernism, yang dapat membuat sebuah karya tertentu dapat bermakna lebih. Tapi, sejauh pengalamannya, gejolak demikian lebih banyak terjadi di AS. Perkembangan harga karya seni di Eropa relatif lebih stabil. Misalnya, suatu kali ia melihat pameran pematung Jeff Koons, di Paris. Karya suami bintang film porno Italia Illona "Cicciolina" Staller ini menampilkan begitu banyak adegan seks Koln dengan Staller. Bahkan ia juga menampilkan patung-patung babi dengan sperma. Karya ini sama sekali tidak laku di Prancis. Tapi para penggemar seni rupa di AS menggemarinya, memborongnya, dan harganya kemudian melejit tinggi. Pameran Chu Teh Chun yang diselenggarakan di Galeri Darga Sanur beberapa waktu silam adalah cermin keberhasilan Jais membina hubungan dengan kolektor. Chu Teh Chun adalah seorang pelukis Cina kelahiran Hanzhou yang semenjak tahun 1955 tinggal di Paris (kini 82 tahun). Karyanya adalah lukisan abstrak. Namanya mendapat tempat yang sangat tinggi dalam dunia seni rupa Paris. Teh Chun dikenal tidak mau menjual karyanya kepada galeri. Ia hanya mau meminjamkan untuk kepentingan museum nonprofit. Pamerannya di museum Shanghai tahun 2000 dikelola oleh sebuah event organizer yang mengumpulkan karyanya dari berbagai kolektor plus karya terbarunya. Selama dua tahun Jais mendekati dan meyakinkan Chu Teh Chun. Berulang kali ia ke studionya, sang maestro selalu memberikan jawaban yang sama: "Saya sudah cukup tua, saya tidak butuh uang," katanya seperti yang diutarakan Jais. Tapi akhirnya ia luluh, ia merekomendasikan lukisan-lukisannya yang dikoleksi oleh Galeri Enrico Navarra di Prancis untuk dipamerkan. Akhirnya, bekerja sama dengan Enrico Navarra, Jais dapat memboyong puluhan lukisan Teh Chun ke Bali. Lewat Navarra, Jais juga berniat menggelar karya-karya Jean Michel Basquiat tahun depan di galerinya di Bali. Basquiat adalah pelukis kulit hitam yang hidupnya pendek, dari 1960-1988, yang karyanya mewakili "the angry young black man" di AS. Navarra memiliki koleksi puluhan Basquiat. Seluruh urusan asuransi sudah beres. Jais tinggal menempuh proses administrasi lainnya. Mendapatkan kepercayaan untuk memamerkan karya pelukis sekaliber The Chun atau Basquiat menunjukkan cara kerja yang sehat dalam pasar seni rupa. Ini adalah cara kerja yang diliputi kecintaan terhadap seni dan bukan hanya petualangan ekonomi. Seno Joko Suyono (Bali)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus