Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Seribu Satu Gaya 'Klangenan' Pelukis

11 Agustus 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Inilah pasar seni rupa. Ada permintaan dan ada pasokan. Sebuah hukum ekonomi yang lazim sebetulnya. Hanya, berbagai unsur yang bersenyawa menghasilkan pola pasar yang berantakan. Ada perupa yang karyanya, biarpun kedodoran, tetap diburu kolektor. Tak jarang kanvas yang masih kosong, yang belum ketahuan wujud dan mutu lukisan itu nantinya, sudah habis disambar spekulan dengan cara ijon. Ada seniman yang terpesona mengalami kejutan ini, ada pula yang memandangnya hal biasa. Pasar seperti ini memang bisa memanjakan, bisa pula menjatuhkan. Ada kalanya jarak antara dua ekstrem itu begitu pendek. Pelukis Erica Hesti Wahyuni, misalnya, termasuk sosok yang sempat melambung, lalu jatuh di pasar yang dikendalikan kolektor ini. Kisah Erica memang belum berakhir. Begitu juga kisah banyak pelukis yang kini sedang menikmati derasnya aliran uang di pasar seni rupa. Lalu, apa yang mereka perbuat dengan gunungan kekayaan itu? Berikut ini penuturan tujuh perupa yang dihimpun tim TEMPO. Djokopekik Ikan Koi dalam Kulkas Djokopekik punya kecintaan yang fantastis terhadap binatang. Kerajaannya di Desa Sembungan di Bangunjiwo, Bantul, Yogyakarta, seperti disediakan khusus untuk hewan segala rupa. Puluhan ikan berenang sentosa di air kolam. Ayam kate, burung elang, kucing, anjing, juga angsa bebas berkeliaran di seantero pekarangan. "Saya memang ingin melibatkan mereka dalam kehidupan saya," begitu kata Pekik. Perupa yang karyanya, Berburu Celeng (1998), terjual seharga Rp 1 miliar ini tak tanggung-tanggung memperlakukan hewan piaraan. Suatu kali, misalnya, 35 ekor ikan koi mati terserang penyakit. Pekik sedih bukan kepalang. Bermalam-malam dia mengaku tom-tomen, terbayang-bayang jasad para ikan. Akhirnya, sebagian almarhum ikan koi disimpan dalam freezer kulkas. "Karena saya masih ingin melihat ikan itu," tuturnya. Kambing yang tidak bau apak adalah klangenan atau kegemaran Pekik yang lain. Si embek dimandikan dua hari sekali. Agar tak masuk angin lantaran kedinginan, bulu-bulu yang masih basah dikeringkan dengan hair dryer. Supaya kegiatan lancar dan bulu kering sempurna, Pekik membaringkan si embek di atas dipan kayu yang bersih. Soal ayam lain lagi. Pekik tak bakal menyembelih ratusan ayam piaraannya. Dia membiarkan mereka terus tumbuh menua. Tapi para ayam tak perlu khawatir. Pekik sudah menyiapkan kandang berfasilitas khusus bagi jago dan babon yang sudah uzur. Pekik sendiri yang terjun merawat panti jompo ayam ini. Keunikan Pekik masih berlanjut. Lelaki 64 tahun ini merancang rumahnya yang total seluas 2,5 hektare dengan cukup unik dan pasti mahal. Sebuah pohon besar dibiarkan tumbuh menyembul di antara genteng. Ruang bawah tanah dan sebagian halaman digunakan sebagai studio dan tempat pamer lukisan. Lalu, garasi mobil justru terletak di lantai dua, yang kadang dipenuhi beragam mobil mewah seperti Mercedes dan Roll Royce. Tiga perangkat gamelan, alat musik Jawa, yang tiap set bernilai Rp 65 juta dipajang khusus di dua aula besar. Tapi, biarpun nyentrik, Pekik bukan orang yang mengunci diri dari dunia luar. "Gamelan itu alat gaul saya," katanya. Setiap malam Jumat Kliwon, Pekik menggelar open house. Siapa pun boleh datang menyaksikan aksi waranggono, penabuh gamelan, plus sinden atau pelantun tembang yang diundang ke rumah Pekik. Acara yang jadi ajang kumpul-kumpul seniman Yogya ini juga disiarkan langsung melalui RRI Nusantara II. Nah, dengan segenap keunikan tersebut, Pekik memang melukis dengan sepenuh jiwa. Goresan dan sapuannya pas dengan prinsip pelukis Sudjojono: lukisan adalah jiwa yang tampak, yang menyentuh batin kita. Bila rezeki Pekik mengalir deras, itu urusan lain. Nasirun Tukang Gambar Kesayangan Kolektor Celana jins belel, sandal jepit, dan kaus oblong adalah teman Nasirun sehari-hari. Ke mana pun pergi, kostum pelukis ini selalu sama. Rambut keritingnya dibiarkan panjang sampai bahu, kumis dan jenggotnya meliar tak beraturan. Tapi, jangan salah kira, Nasirun bukannya tak punya duit untuk ke salon pangkas rambut. Lelaki kelahiran 37 tahun silam ini adalah satu di antara lusinan perupa muda yang kini sedang bersinar. Karyanya mantap di kisaran Rp 18 juta_60 juta. Terakhir, Gugurnya Sang Kumbokarno (2002), dibeli kolektor Oei Hong Djien dengan nilai di atas Rp 100 juta. Apa pun hasilnya, menurut kritikus Hendro Wiyanto, lukisan Nasirun ludes diborong kolektor. Tak peduli apakah karya itu bermutu, semisal Pamer Aurat (1999), ataupun kedodoran seperti Raksasa Bertopeng (1999). Yang penting, gaya Nasirun—yakni semburat merah-kuning, senja redup, jilatan api, gelap, dan nuansa kekejaman—tampil dalam kanvas. Dengan pamor mengkilap, tak aneh bila Nasirun jadi darling para kolektor. Oei Hong Djien, misalnya, kerap mengajak bapak dua anak ini pelesir ke Amerika, Belanda, Prancis. Kolektor yang lain mentraktir perupa ini melawat ke Hong Kong dan Cina. "Wuih, cewek di sana cantik-cantik," katanya, bersemangat. Sebagai bintang, tentu Nasirun berlimpah kekayaan. Rumah dan tanah miliknya bertebaran di berbagai penjuru. Tempat tinggalnya kini, dua rumah besar yang digabung di kawasan Bayeman, Yogya, tampil mencolok dibanding milik tetangga kanan-kiri. Setengah tahun Nasirun tak berani menempati gedung nan megah ini. "Sungkan," katanya, "mosok tukang gambar seperti saya menempati rumah bagus." Kini, tukang gambar mujur ini sudah nyaman menghuni rumahnya. Berderet mobil menghuni garasi dan kerap dikendarai keponakan serta famili lain. Nasirun sendiri tidak bisa dan tidak berniat belajar menyetir mobil. Dia lebih suka bepergian melanglang Kota Yogya dengan sepeda motor butut. Nasirun juga tak mau repot mengurus segala kekayaan. Seluruh harta benda dibeli atas nama anak-istrinya. Bahkan Nasirun mesti minta uang saku harian kepada Ilah, sang istri. Seratus ribu perak sehari, jatah uang saku Nasirun. Made Sukadana Akibat Resep Baru dan Sepuluh Perkutut Inilah sosok pelukis yang kerap dijadikan amsal dalam arus pasar seni rupa yang tidak sehat. Made Sukadana, lahir di Karang Asem, Bali, 36 tahun silam, sering disebut pelukis massal, pabrikan, dan kurang hirau akan kualitas. Lepas dari benar-tidaknya kritik tersebut, Made layak tampil sebagai perupa yang sukses membuat lompatan besar. Awalnya, dia adalah pelukis beraliran abstrak ekspresionis. Pasar seni rupa tidak menyerap karya lukisan Made yang bercorak umum seperti yang dianut banyak perupa Bali ini. Lalu, tahun 1999, seorang pengamat menganjurkan Made agar menyelipkan bentuk-bentuk wayang dalam lukisan abstraknya. Itu bukan soal berat bagi Made, yang punya akar tradisi Bali yang dekat dengan perwayangan. Januari 2000, Made menerapkan resep baru. Tiga lukisan ia buat, semuanya bertema wayang dan cerita rerajahan yang termuat dalam kitab daun lontar. Langsung ketiganya habis disambar kolektor. Sepuluh lagi lukisan serupa dibuat, habis lagi. Februari 2000, saat pameran di Galeri Mon DÈcor, Jakarta, Made menyiapkan 42 lukisan dan semuanya disapu kolektor. Kini, Made memproduksi sekitar 10 lukisan dalam sebulan. Harganya terentang dari Rp 9 juta sampai Rp 25 juta. Jika sudah berpindah tangan, tutur kolektor Agung Tobing, harga lukisan Made bisa sampai Rp 50 juta. "Berapa pun lukisan yang saya buat langsung bablas," ujarnya, "Sekarang saya teler." Biarpun teler, Made tetap produktif. Begitu banyak karyanya sehingga dia sanggup mengemasnya dalam buku berbahasa Inggris berjudul Made Sukadana, Coping With Shock and Turmoil. Buku bersampul tebal dengan isi 320 halaman ini dijual mahal, Rp 500 ribu per eksemplar. Lalu, apa yang diperbuat Made dengan kekayaannya? Rumah yang dihuni Made di kawasan Sidoarum, Godean, Yogyakarta, memang megah meskipun tidak istimewa. Bau dupa di ruang sembahyang memenuhi udara rumah besar dengan arsitektur biasa-biasa saja ini. Jika kita melongok lebih dalam, barulah terlihat tumpukan kanvas dan jejeran lukisan yang belum selesai. Made sering kali melukis di halaman rumah dengan ditemani suara gamelan dari tape dan kicauan sepuluh perkutut. Dua di antara perkutut itu bernilai masing-masing Rp 25 juta. "Ini keturunan juara, makanya mahal," kata Made. Dede Eri Supria Ke Glodok, Berburu Ilham Studionya relatif kecil. Hanya rumah biasa bertipe 54 di kawasan Pinang Perak, Pondok Indah, Jakarta. Perabotan mewah tak tampak. Hanya radio jinjing, kipas angin pengusir gerah, kulkas, dan perangkat lukis komplet. Di studio bersahaja itulah Dede Eri Supria bertapa. Bersarung dan berkaus tipis yang termakan usia, pelukis ini terbenam menggoreskan kuas ke kanvas. Selama berhari-hari bahkan dia tak melongok menikmati udara luar. Makan pun sekadar mengandalkan penganan beku dalam kulkas. Sesekali, biasanya akhir pekan, Dede melepas kangen dengan anak istri, yang tinggal di Kelapa Gading. "Kalau tak begini, saya tidak bisa berkonsentrasi melukis," ujar Dede. Kerja keras perupa kontemporer ini berbuah mantap. Pada awal karirnya, 1977, karya Dede yang berjudul Urban Class dihargai enam ratus ribu perak. Waktu berlalu dan harga lukisan Dede terus beranjak meroket. Terakhir, karya Dede yang terbaru, Too Late, sukses dilego Balai Lelang Larasati dengan harga Rp 180 juta. Namun, lelaki 46 tahun ini tak begitu hirau soal harga dan rezeki yang melimpah. Dede tetap bersahaja dengan mobil Kijang versi lama. Dia menolak melayani derasnya pesanan dan hanya mau berkarya berdasar kemauan jiwa. Padahal, kalau mau, kolektor mancanegara—setidaknya di kawasan ASEAN—siap memburu karya Dede. Bapak empat anak ini juga kerap menyambangi sudut kota, semisal Tanah Abang, Mangga Dua, serta Glodok. Tempat-tempat semacam inilah yang membuat inspirasi Dede mendidih. Orang-orang kecil di rimba metropolitan yang berjibaku di antara labirin pencakar langit menjadi ilham sentral lukisan seorang Dede Eri Supria. Heri Dono Sepeda Kumbang Sang Maestro Sebutlah nama Heri Dono, maka publik khalayak seni kontemporer Indonesia akan berdecak kagum. Perupa yang satu ini sungguh fenomenal. Lukisannya terpajang di berbagai museum kontemporer kelas wahid di dunia. Nyaris tak ada kritikus yang meragukan mutu karya seniman berumur 41 tahun ini. Penghargaan Prince Claus Award 1998 dia raih untuk kualitas personal dan komitmen terhadap kebudayaan. Heri tak tergolong pelukis yang terjebak arus pasar. Dia dengan gagah menjadi penentu atas lukisan dan segala jenis karya seni instalasinya. Setiap tahun Heri mencipta 20-30 karya lukis, rata-rata Rp 60 juta per buah, yang lazim dipenuhi gaya karikatural, imajinatif, dan beraspek humor. Biasanya, setiap pembeli yang berminat datang dan berunding langsung dengan Heri. Tak ada peran galeri dalam jagat karya pelukis yang sepanjang tahun berkelana menggelar pameran internasional ini. Semua gemerlap tidak menjadikan Heri hidup mencolok. Kaus putih, sarung, celana kombor, dan sandal jepit menemani penampilannya. Sepeda kumbang tua dia pakai sebagai alat berkeliling mencari inspirasi ke pojok-pojok Kota Yogyakarta. Ia bergaul dengan penggali kuburan, tukang becak, juga paranormal. Rumah yang dia huni, di gang kecil Jalan Dr. Soetomo, Yogya, juga tidak mentereng. "Kesederhanaan adalah kemewahan bagi saya," kata Heri, "Saya jadi merdeka." Namun, ada juga suara sumbang. Pelukis ini sering dikabarkan agak kikir dan tidak mengapresiasi kerja kolektif. Kasak-kusuk seniman Yogya menyebutkan, Heri tak memberi honor untuk para seniman yang membantunya dalam karya seni instalasi. Tapi Heri membantah kabar ini. "Saya selalu rikuh untuk menilai bantuan mereka dengan uang," kata Heri. Sebab, ia melanjutkan, "Saya menganggap mereka tidak sebagai pekerja, lebih sebagai teman." Erica Hesti Wahyuni Tentang Rusia dan Korban Pasar Erica Hesti Wahyuni sempat bersinar terang. Lukisan perempuan asal Yogyakarta ini laris manis diburu kolektor. Sebulan, sedikitnya ia menjual 15 lukisan bergaya kontemporer dengan harga paling murah Rp 25 juta sebuah. Tak jarang ia dijumpai sedang melukis di studionya, di Pondok Indah, Jakarta, sembari ditunggui antrean kolektor. "Saya bahkan pernah dijuluki Peruri, pabrik uang," katanya kepada TEMPO, dua tahun silam. Banjir duit melambungkan gaya hidup Erica, yang kini memasuki usia 31 tahun itu. Dibelinya seekor gajah di Taman Safari, Cisarua, Jawa Barat. Lantas didirikannya sebuah studio bermain untuk anak-anak, komplet dengan komidi putar. Dia juga mengoleksi mobil BMW beraneka warna. Kostum yang dikenakan senantiasa dibuat selaras dengan warna mobil yang dikendarainya. Tapi, setahun belakangan, nama Erica nyaris tak terdengar. Ke mana gerangan? Kabar resmi menyebutkan Erica sedang bersekolah, mengasah naluri dan keahlian melukis jauh di negeri orang, Rusia. Hanya, masih ada kabar lain. Seorang seniman yang juga teman Erica menyebutkan bahwa Erica sedang dirundung persoalan gawat. "Bangkrut gara-gara permainan pasar," kata sumber yang tak mau disebut jatidirinya ini. Kebangkrutan ini, kata sang sumber, bermula dari setahun yang lalu. Kala itu hampir semua kolektor dan galeri tak lagi berminat membeli karya Erica. Alasannya, pasar sudah jenuh dibanjiri karya Erica. Padahal hidup Erica sudah telanjur melambung tinggi. Simpanan tandas untuk borong sana-sini. Akibatnya, Erica pun kelimpungan menjual aset. Semua mobil, studio, juga sebuah restoran yang dia bangun untuk sang suami ludes terjual. Di tengah kesedihannya inilah Erica terbang ke Rusia, lari dari kesulitan sekaligus berusaha membangun citra baru di sana. Sukses? Tampaknya belum. Bintang sang pelukis masih redup. Sayang, kisah ini belum komplet lantaran Erica tak mau ditemui wartawan. Hanya sepotong keterangan yang didapat dari Sinta, putri Erica yang berumur sepuluh tahun. "Ibu masih di Rusia," kata Sinta, "Sebulan yang lalu ibu pulang ke Yogya." I Made Wiradana Dengan Coca-Cola dan Madonna Sebuah lompatan tanggung dibuat I Made Wiradana. Perupa muda ini tampak bakal melejit setelah meluncurkan Deklarasi Wiradana, di Bali, akhir 2001. Lelaki muda 34 tahun ini mengikrarkan diri sebagai pelukis beraliran pos-modernisme. Pesohor Ibu Kota seperti Sophia Latjuba, Kiki Fatmala, dan Feby Febiola turut hadir menyaksikan deklarasi sang pelukis. Sesungguhnya tak jelas betul apa maksud paham ini bagi Wiradana. Dia hanya menyebutkan dirinya tak ingin berkarya dengan belenggu batasan tradisional dan modern. Untuk itu, dia melukis penyanyi Madonna yang tengah bergoyang di layar MTV disaksikan manusia primitif yang sedang menenggak isi botol Coca-Cola. Sebuah tafsir yang harfiah, memang. Hasilnya cukup jitu. Dua tahun lalu, karya Wiradana laris di kisaran Rp 2 juta-3 juta per buah. Namun, setelah deklarasi, lukisan ala Madonna itu dihargai Rp 40 juta. Dengan tambahan rezeki ini, Wiradana berniat menggemukkan koleksi mobil VW. Saat ini dia baru punya dua mobil VW, satu antik dan satu lagi model terbaru. Mardiyah Chamim, Gita W.L., R. Fadjri, L.N. Idayanie, Heru C. Nugroho, Rofiqi Hasan, Alit Kertaraharja

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus