Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (UGM), Agnesia Endang Tri Hastuti Wahyuni, mengatakan kembalinya penyakit anthrax di Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta, dipicu oleh spora dari lingkungan ternak. Spora itu bersumber dari bakteri Bacillus anthracis pada hewan ternak yang disembelih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Di tubuh hewan, saat hidup, spora ini belum terbentuk. Namun, saat disembelih, bakteri yang ada dalam darah itu keluar lalu berinteraksi dengan udara dan membentuk spora,” kata Wahyuni, dikutip dari laman resmi UGM pada Ahad, 10 Maret 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Profesor bidang mikrobiologi itu menyebut spora yang dihasilkan oleh bakteri antraks sulit hilang dan bisa bertahan di tanah hingga puluhan tahun. Spora terbentuk jika bakteri Bacillus anthracis terpapar oksigen. Hal itu membuat spora ini tidak pernah dijumpai dalam tubuh penderita manusia maupun bangkai hewan yang tidak dipotong atau dibuka.
Gejala anthrax belakangan kembali muncul di Kabupaten Gunungkidul, persisnya pada seorang warga di Kapanewon Gedangsari. Gunungkidul memiliki sejumlah riwayat penularan penyakit zoonosis. Pada 2019, sebagai contoh, terdapat 12 orang yang dinyatakan positif tertular anthrax di Kapanewon Karangmojo dan Kapanewon Ponjong. Saat itu satu orang meninggal akibat penyakit ini.
Pada 2021, anthrax juga menjangkit 7 orang di Desa Hargomulyo, Kecamatan Gedangsari. Ada juga 13 orang yang kembali tertular di Pojong pada 2022, lalu 87 orang di Desa Candirejo pada 2023. Pada kasus tahun lalu, wabah anthrax kembali menelan satu korban jiwa.
Aeth, sapaan akrab Wahyuni, menyarankan agar hewan yang terserang anthrax maupun lokasi sumber anthrax diisolasi. Artinya, tidak boleh ada lintas ternak yang keluar masuk lokasi.
“Tidak boleh juga sembarang orang keluar masuk di wilayah tersebut dan hanya petugas yang sudah ditetapkan,” tuturnya.
Selain menerapkan isolasi, para peternak juga harus meningkatkan biosekuriti dan mengobati hewan yang sakit, termasuk memberi tambahan suplemen. Hewan yang sehat juga harus divaksinasi selama dua kali selama setahun.
Menurut Aeth, hewan yang terjangkit masih bisa diobati. Pasalnya, bakteri anthrax mudah mati jika diberi antibiotik, antiseptik, atau desinfektan. Virus itu juga mati jika terkena suhu lebih dari 54 derajat Celcius selama 30 menit.
Dosen Fakultas Peternakan UGM, Nanung Danar Dono, menyarankan peternak agar tidak memotong hewan yang sakit, apalagi mengkonsumsi hewan yang sudah menjadi bangkai.
“Daging bangkai tidak boleh dikonsumsi karena matinya karena zoonosis bisa menular ke manusia,” katanya.
Dia menambahkan, hewan yang ditengarai mati akibat anthrax sebaiknya langsung dikubur atau dikremasi di lokasi. “Jika tidak ada alat kremasi, maka dikubur saja. Ditimbun lalu disemen, tidak boleh dibongkar selamanya karena spora sangat awet.”
Danar juga meminta hewan yang mati tidak dipindahkan karena darah yang tercecer turut menyebarkan spora anthrax. “Jika dipindah, besar kemungkinan spora tercercer ke mana-mana,” ucap dia.