Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Walhi Laporkan 47 Korporasi Perusak Lingkungan dan Terindikasi Korupsi SDA ke Kejaksaan Agung

Walhi memperkirakan potensi kerugian negara dari indikasi korupsi SDA oleh 47 korporasi ini sebesar Rp 437 triliun.

7 Maret 2025 | 15.11 WIB

Walhi melaporkan 47 perusahaan ke Kejaksaan Agung terkait potensi kejahatan lingkungan, Jumat, 7 Maret 2025. Dok. Walhi
Perbesar
Walhi melaporkan 47 perusahaan ke Kejaksaan Agung terkait potensi kejahatan lingkungan, Jumat, 7 Maret 2025. Dok. Walhi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) melaporkan 47 korporasi perusak lingkungan dan terindikasi melakukan korupsi sumber daya alam (SDA) ke Kejaksaan Agung. Korporasi-korporasi ini bergerak di sektor perkebunan sawit skala besar, pertambangan (batu bara, emas, timah, dan nikel), kehutanan, pembangkit listrik, perusahaan penyedia air bersih, dan pariwisata.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Walhi memperkirakan potensi kerugian negara dari indikasi korupsi SDA oleh 47 korporasi ini sebesar Rp 437 triliun. Beberapa modus operandi dugaan korupsi dan gratifikasi, antara lain mengubah status kawasan hutan melalui revisi tata ruang ataupun Pasal 110 A dan 110 B Undang-Undang Cipta Kerja, gratifikasi dengan pembiaran aktivitas tanpa izin, pemberian izin meski tidak sesuai dengan tata ruang, dan lainnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Bukan hanya itu, Walhi juga menjelaskan kepada Kejaksaan Agung modus yang lebih besar lagi dengan mengubah atau membentuk beberapa produk hukum yang di dalamnya diatur pasal-pasal yang mengakomodasi kepentingan eksploitasi SDA dan pengampunan pelanggaran, atau yang biasa disebut dengan state capture corruption.  

“Kami tidak bisa hanya melaporkan kasus per kasus, tapi juga harus mencari modus operandi dari kartel-kartel yang mengkonsolidasikan praktik korupsi tersebut. Dari tahun 2009 kami melihat proses menjual tanah air itu akan terus berlangsung terhadap 26 juta hektare hutan Indonesia,” kata Direktur Eksekutif Nasional Walhi Zenzi Suhadi melalui pesan tertulis, Jumat, 7 Maret 2025. 

Menurut Zenzi, korupsi di sektor SDA ini telah merugikan negara dan perekonomian negara dengan hilangnya mata pencaharian rakyat, hilangnya sumber-sumber penghidupan, konflik, dan kerusakan lingkungan, serta biaya eksternalitas yang harus ditanggung negara dari aktivitas korporasi tersebut.

“Sangat besar kerugian negara dan perekonomian negara dari korupsi SDA ini dan telah banyak kasus yang selama ini dilaporkan oleh Walhi kepada pihak yang berwenang, namun hanya sedikit kasus saja yang diproses dan diadili," ujarnya.

"Kami melihat Kejaksaan Agung memiliki peran kunci dalam memastikan bahwa penegakan hukum atas kejahatan lingkungan dan korupsi sumber daya alam berjalan efektif dan tidak ada impunitas bagi para pelaku. Karena itu Walhi mendatangi, melakukan audiensi dan pelaporan pada Kejaksaan Agung hari ini,” kata Zenzi menambahkan.

Direktur Walhi Kalimantan Selatan Raden Rafiq mengatakan bahwa pihaknya melaporkan empat korporasi yang bergerak di sektor sawit dan tambang yang diduga terindikasi melakukan korupsi SDA. "Empat perusahaan ini hanya sebagian kecil saja dari sekian banyak perusahaan yang telah melakukan pelanggaran serius terhadap lingkungan hidup dan hak masyarakat adat serta petani lokal," kata dia.

Sementara Direktur Walhi Maluku Utara Faisal Ratuela mengatakan, sebagai wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil masifnya pertambangan nikel saat ini telah menghancurkan wilayah tangkap nelayan, pencemaran lingkungan, hilangnya keanekaragaman hayati, seperti mangrove, sigres dan koral.  

“Penegakan hukum terkait tindak pidana korupsi harus segera dilakukan oleh Kejaksaan Agung, sebab bukti permulaan yang kami laporkan telah cukup kuat ditambah lagi kasus korupsi perizinan pertambangan sebelumnya juga telah diungkap oleh KPK dan Maluku Utara menempati posisi nomor satu provinsi terkorup di Indonesia," kata dia.

Selain melaporkan korporasi dan pihak pemerintah yang terindikasi terlibat dalam praktik korupsi dan gratifikasi, Walhi juga menyampaikan catatan kritisnya terhadap Satgas Penertiban Kawasan Hutan yang dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025, di mana Jampidsus Kejaksaan Agung menjadi Ketua Pelaksana Satgas tersebut.  

Satgas harus menindak korporasi skala besar yang selama ini telah menikmati keuntungan besar, menimbulkan kerugian lingkungan dan perekonomian negara dari aktivitas ilegal dan koruptif yang mereka lakukan di kawasan hutan. Satgas tidak boleh melakukan penertiban kepada rakyat kecil yang selama ini telah menjadi korban dari klaim sepihak negara atas kawasan hutan dan korban dari buruknya tata kelola perizinan di sektor kehutanan. 

“Sejak awal kami mengkritik dominasi militer dalam satgas penertiban kawan hutan ini berikut dengan substansi peran dan kerjanya yang diaturkan di dalam perpres. Kekhawatiran terbesar kami, akan banyak rakyat yang menjadi korban penggusuran dan dirampas tanahnya atas nama penertiban kawasan hutan. Oleh karena itu, Walhi se-Indonesia sangat serius mengawasi kerja-kerja Satgas saat ini dan ke depan,” kata Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional.

Walhi berharap Kejaksaan Agung memproses laporan yang telah disampaikan dan Walhi juga terbuka untuk bekerja bersama Kejaksaan Agung baik di nasional maupun di daerah-daerah untuk menindaklanjuti kasus-kasus korupsi SDA tersebut.

 

 

 

Irsyan Hasyim

Irsyan Hasyim

Menulis isu olahraga, lingkungan, perkotaan, dan hukum. Kini pengurus di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, organisasi jurnalis Indonesia yang fokus memperjuangkan kebebasan pers.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus