Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Yang Merambat Melalui Gambut

Kebakaran hutan di Indonesia menjadi penyakit kronis yang datang berulang. Penyebabnya: 90 persen ulah manusia, 10 persen alam.

25 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hutan rimbun itu telah beralih rupa. Ibarat surga yang berubah jadi neraka, sejauh mata memandang, yang terlihat hanya hamparan hitam pekat. Di sana-sini tampak onggokan kayu-kayu yang tidak punah dimakan api. Di ujung hamparan sisa bara gambut, masih ada kepulan asap tipis. ”Kami hanya membakar sisa-sisa tebangan kayu besar, tapi hujan tidak juga kunjung datang. Semua ikut terbakar," kata Benar Sitinjak, warga Desa Bangun Jaya, Senepis, Kecamatan Sungai Sembilan, Dumai, Riau.

Pria setengah baya asal Bunut, Kisaran, Sumatera Utara, ini hanyalah satu dari sekian banyak peladang yang membakar lahan dengan cara konvensional saat melakukan pembersihan lahan. Diperkirakan cara seperti itu merupakan yang paling murah dan efektif.

Di Riau, khususnya di dua daerah berbatasan, Dumai dan Kabupaten Rokan Hilir, seperti kawasan Senepis, Bangko dan Bukit Timah, agaknya membuka lahan dengan cara membakar lahan merupakan hal yang tampak lazim. Kepala Dinas Kehutanan Dumai, Ir Jafrul, mengatakan, hingga pertengahan 2005, pihaknya sudah menangkap tidak kurang 18 warga yang ketahuan membakar lahan. Namun, dengan sejumlah dalih, tidak satu pun kasusnya sampai disidangkan ke pengadilan. ”Semua mengaku pekerja kayu. Mereka tidak mengakui itu lahannya,” kata Jafrul.

Tak terurusnya lahan puluhan Hak Penggunaan Hutan (HPH) di kawasan tersebut membuat marak illegal logging dan pembukaan lahan di kawasan yang hampir 60 persen terdiri dari gambut itu. Kondisi inilah yang dituding menjadi biang keladi kebakaran. Bak penyakit menahun, kebakaran hutan di Riau menjadi pelanggan tetap.

Jaringan Kerja Penyelamatan Hutan Riau (Jikalahari), konsorsium kerja bersama 28 LSM yang memperhatikan masalah hutan, mencatat, hingga pertengahan tahun ini saja, sudah dua kali terjadi kebakaran cukup besar, yaitu pada Februari dan Juni. Berdasarkan pantauan satelit National Oceanic Atmospheric And Administration (NOAA), selama Februari, jumlah titik panas (hot spot) mencapai 869 titik. Sepanjang Juni, angka ini bertambah menjadi 1.433 titik, 987 di antaranya berada di kawasan lahan gambut.

Penyebaran terluas berada di lahan konsesi pemegang Hak Penggunaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI) sebanyak 246 titik, 197 titik di kawasan perkebunan, 24 titik di HTI. Keseluruhan titik api berada di 159 desa pada 19 kecamatan di 5 kabupaten dan 2 kota. ”Terlihat lahan HPH, perkebunan dan HTI merupakan lokasi cakupan penyebaran terbesar atas hot spot. Tujuh puluh persen di antara semua lahan yang terbakar itu adalah lahan gambut,” kata Zulfahmi, Koordinator Eksekutif Jikalahari Riau.

Karakteristik gambut yang mudah terbakar membuat persoalan di Riau, tak hanya menyangkut lahan hutan yang tergerus, tapi juga kebakaran yang sulit dipadamkan. Tak kurang dari 4,3 juta hektare atau 50,5 persen dari total luas hutan Riau yang 8,983 juta hektare terdiri dari lahan gambut dan rawa, dengan kedalaman 1 meter hingga lebih dari 4 meter. ”Laju pembabatan hutan dan lahan yang tinggi plus gambut membuat soal kebakaran lahan dan asap menjadi klop,” ujar Ahmad Zazali, Wakil Koordinator Bidang Data dan Sekretariat Jikalahari.

Kebakaran dan bencana asap seolah menjadi pelanggan tetap provinsi ini—tercatat sejak 1997, 1998, 2000, 2001, hingga yang terakhir Februari hingga Juni 2005. ”Dan penanganannya nol,” timpal Zulfahmi. Riau merupakan satu dari 10 provinsi yang mendapat perhatian khusus dari Departemen Kehutanan. Wilayah lainnya adalah Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan; empat provinsi di Kalimantan, yaitu Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan; serta Sulawesi Selatan.

Dari catatan sejumlah kasus kebakaran, yang dikumpulkan Jikalahari dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau, ada beberapa persamaan sistem pembakaran lahan yang dilakukan oleh penduduk dan perusahaan. Tahap awal, lahan yang akan ditanami diimas—kayu kecil ditebang dan semak belukar dibabat. Potongan kayu dan semak belukar ini ditumpuk dan dibiarkan hingga dianggap benar-benar kering. Sekitar dua bulan kemudian, di antara tumpukan biasanya disebar solar dan sejumlah karet, biasanya ban bekas atau getah karet kering. ”Kemudian proses pembakarannya dimulai. Biasanya itu antara pukul 13.00 hingga 17.00 WIB saat angin tenang,” kata Zulfahmi.

Bahayanya, jika pembakaran dilakukan di lahan gambut, di atas permukaan lahan terlihat bersih dan tak ada lagi api. Padahal, api sesungguhnya merembet di bawah permukaan tanah. Dr Lailan Syaufina, Manajemen Hutan, Departemen Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, menjelaskan, kebakaran di lahan gambut termasuk jenis kebakaran bawah (ground fire). Dua jenis lainnya adalah kebakaran permukaan (surface fire) dan kebakaran taju (crown fire). Jika gambut yang terbuat dari bahan organik terbakar, ibarat batang atau daun basah terbakar, maka akan menimbulkan banyak asap dibanding api. ”Jenis ground fire ini paling sulit diketahui karena sisa apinya secara perlahan-lahan mampu menyimpan bara selama berbulan-bulan tanpa diketahui,” katanya.

Dosen manajemen hutan itu mengatakan, ada beberapa cara mencegah kebakaran. Pertama dengan membangun jalur hijau atau membuat sekat (batas) berupa tanaman yang tidak mudah terbakar, sehingga bisa memperlambat menjalarnya api. ”Di Sumatera ada tanaman Bermelina arbolea dan Vitek ubescan atau orang Sunda bilang sesereuhan. Pohon ini ternyata dapat memperlambat laju penjalaran api kebakaran,” katanya.

Departemen Kehutanan tahun ini juga telah memasang 21 alat pemantau sistem cuaca ofensif (Automatic Weather Station). Empat di antaranya di Desa Kelampangan, Kecamatan Pahandut (Kota Palangkaraya), Kota Kapuas, (Kabupaten Kapuas), Kota Muara Teweh (Kabupaten Muara Teweh) dan Kota Pangkalan Bun (Kabupaten Kotawaringin Barat), Kalimantan Timur. Alat ini berfungsi memantau kelembaban tanah yang berada di sekitar alat tersebut. ”Dari laporan alat tadi, kita bisa mengantisipasi dengan segera menurunkan tim untuk memantau,” kata Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Tengah, Yohanes Sudarto.

Untuk pemadaman, ada beberapa alternatif meski tak menjamin bisa memadamkan kebakaran 100 persen. Hariyanto Wahyu Sukoco, Program dan Evaluasi Direktorat Penanganan Kebakaran Hutan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan, menerangkan, yang pertama adalah dengan cara konvensional, yakni penyemprotan langsung. Teknik ini biasanya dibantu dengan teknik bom air (water bomb), dengan menjatuhkan cairan kimia atau air yang dibawa pesawat langsung ke lokasi kebakaran (lihat Menaklukkan Si Merah).

Tiba di atas lokasi, air harus dijatuhkan tepat di kawasan yang terbakar. Kendalanya, wilayah Indonesia yang berbukit-bukit membuat pesawat sulit melepaskan bom dalam jarak dekat. Jika, misalnya, bom dijatuhkan pada ketinggian 1.500 meter, maka air akan berubah menjadi gerimis dan itu malah memperbesar kobaran api.

Ruli Suganda, Direktur Eksekutif Walhi Riau, mengatakan, dengan luas kawasan gambut yang mencapai 4,3 juta hektare atau setengah dari luas Riau, pemadaman lewat udara dinilai tidak efektif karena yang terbakar berada di kedalaman 1–5 meter di bawah permukaan tanah. ”Sistem siram hanya efektif untuk memadamkan lidah api. Di Riau, bukan lidah api, tapi bara di bawah tanah,” kata Ruli.

Cara lain dengan sistem injeksi. Tabung besi sepanjang 1-2 meter berdiameter 2 inci ditanam di dalam tanah. Batang besi dengan beberapa lubang di bagian bawahnya ini menyemprotkan air yang kemudian menyebarkan air. Menurut Ruli, sistem ini juga kurang efektif. Di samping kedalaman yang relatif dalam juga eskalasi cakupan lahan terbakar yang luas. Sistem injeksi hanya dimungkinkan untuk memadamkan api pada skala kecil dan gambut yang hanya berkedalaman 1 meter. ”Injeksi juga tidak efektif,” kata Ruli.

Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Riau, Khairul Zainal, mengatakan, tak ada teknologi yang benar-benar ampuh memadamkan kebakaran, terutama di lahan gambut. Yang paling mungkin dilakukan adalah melarang dan mengawasi dengan ketat jangan sampai terjadi pembakaran atas nama pembukaan lahan. ”Upaya lain, ya berdoa agar hujan turun. Tidak ada teknologi lain,” katanya. Kebakaran besar memang belum terjadi, tapi tentunya tak perlu menunggu bencana ini terulang lagi.

Raju Febrian, Arif Ardiansyah (Palembang), Deffan Purnama (Bogor), Jupernalis Samosir (Riau), Karana W.W. (Palangkaraya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus