Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Imperia Pengarang: Akmal Nasery Basral Penerbit: AKOER, Jakarta, Juni 2005 (Cet. 1) Tebal: iv + 434 hlm.
Tersebutlah kisah, reporter fresh graduate universitas ternama Indonesia menjalani hari pertamanya di sebuah majalah ternama, Dimensi. Satu hari yang penuh gejolak. Bukan lantaran reporter gres bernama Wikan Larasati itu cantik dan seksi, bukan pula karena kemampuan ESP-nya (extra sensory perception) yang merengkuh empat kekuatan. Namun, karena di hari-hari awalnya bekerja ia sudah dihadapkan pada persoalan jurnalistik luar biasa. Pengalaman yang akhirnya berhasil membuahkan satu investigative reporting menyangkut skandal di antara ”tokoh paling berpengaruh di negeri ini”, seorang diva, pengacara ternama, pencipta lagu, dan seterusnya. Luar biasa.
Tersebut juga kisah, wanita muda 27 tahun, Melanie Capricia alias MC, penyanyi tenar dengan tiras album berjuta-juta, cantik, molek, supercerdas, dengan satu-dua liaison d’amour, dan tokoh utama yang menggambarkan dirinya sebagai ”Imperia”. Pelacur Italia yang hidup sekitar abad pertengahan, yang dengan fantasme dan pesona surga di tubuhnya, menundukkan dua penguasa, Raja Sigismund dan Paus Martinus V.
Lalu, mengalirlah cerita di antara keduanya. Dua perempuan dengan keperkasaannya masing-masing. Saling menyapa, menelanjangi diri, bersaing, dan mengarungi sungai deras kehidupannya masing-masing. Sang reporter melihat penyanyi itu sebagai obyek jurnalistik karena sejumlah intrik dan skandal di seputar karier dan hidup asmaranya. Sang diva, dengan kematangannya, melihat Wikan sebagai obyek dari efek ketenaran dan kecerdasan yang ia tampilkan rendah hati.
Semua berlangsung dalam sepekan, pekan pertama Wikan menjadi reporter. Tapi, seperti mengunyah camilan yang gurih, roman perdana Akmal Nasery Basral, wartawan dan alumni Sosiologi FISIP UI ini, mengalir licin ke pencernaan literer kita. Seperti malam pengantin, kita ingin mengakhirinya dalam satu pukulan dan satu erangan akhir. Ekstase?
Inilah roman yang setia dengan keterangan-keterangan sampiran—termasuk catatan kakinya—tentang berbagai hal, dari kisah dewa gitar Steve Vai, dua halaman tentang ide anthropomorphic astronomynya Dr Fiorella Terenzi, dua halaman tentang airsoft gun, dua halaman tentang mnemonic dan astronomi, tiga halaman tentang Vermel dan Mark Pesce, tentang empat jenis alien dan ESP, tentang dadaisme, tentang Carolingians, tentang Stabat Mater lengkap dengan color barnya Rossini, tentang gitar, pariwisata, aria-aria legendaris, tentang….
Roman ini memang cukup pepat data. Sebuah kecenderungan dari para penulis, khususnya novelis baru, yang tersosialisasi dengan sebuah peradaban yang berkeyakinan informasi adalah dewa dan kekuatan. Information lack, sebagian menganggapnya web lack, menjadi ukuran kekuatan penulis muda belakangan. Kemampuan dan kecepatan mereka dalam mengakses serta mendokumentasi informasi yang miliaran digit membombardir tiap detiknya, sungguh tak terbayangkan, bahkan oleh satu generasi sebelumnya. Karenanya, tak aneh jika di kepala mereka jelujuran data berlapis dan berkelap-kelip seperti fitur-fitur webencyclopaedia.
Kecenderungan ensiklopedis ini memang menggiurkan dan membuat sebuah cerita tampak begitu kaya (baca karya-karya pengarang belakangan, seperti Dee, Nova Riyanti Yusuf, Dinar Rahayu, dan banyak lainnya). Di belahan dunia lain, roman-roman modern bergenre pop pun selalu dipadati oleh telusuran data yang akurat dan detail. Kadang dari hasil riset yang cukup mendalam. Di negeri ini, kecenderungan riset itu sudah ada. Mendalam? Tak terlalu. Yang ada adalah jejalan informasi yang terkadang tak nyangkut sama sekali dengan kisah yang berlangsung. Semacam eksibisionisme? Barangkali.
Yang jelas, dunia ensiklopedia di kepala para kreator kita masa kini memang masih mengalami kesulitan menciptakan semacam rajutan atau sekadar sarang laba-laba yang dapat merangkai semua data itu menjadi sebuah pengetahuan (dalam arti knowledge). Lebih jauh lagi, pengetahuan yang dialami. Sehingga ia tak tinggal sebagai abstraksi, sekadar data mentah yang kadang berbau kertas: ada tapi tak bicara, tak teralami. Seperti sekumpulan dokumen beku di perpustakaan atau arsip tua.
Akmal tampak berusaha tidak terjebak dalam keruwetan yang cenderung kaotik itu. Ia coba menghidupkan data dengan menautkan sebisanya dalam konteks, betapapun kerap ia jadi alien bagi integrasi cerita keseluruhan. Sebagai sampiran, ia hampir mengganggu, walau dengan gesit Akmal mampu berkelit dan mengalirkan kisahnya dengan licin dan manis. Perhatiannya pada banyak tema, ketekunannya pada data, keberaniannya menebalkan halaman—untuk cerita yang jauh tak setebal itu—renungan-renungan, juga metaforanya yang kaya, sungguh menjadi modal yang tangguh. Untuk novel berikutnya. Untuk ketekunan lebih liat lagi, dalam menyeleksi data, misalnya. Untuk menghasilkan kontemplasi literer, yang kini kian langka. Selamat!
Radhar Panca Dahana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo