Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Empat Belas Refleksi Sekitar I La Galígo

25 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adriaan van der Staay
  • Ketua Board of Prince Klaus Fund.

    1 Indonesia besar bukan karena ia mencakup wilayah yang luas. Ia besar karena mampu menyimpan rahasia di setiap pulau di setiap pantai, karena kedalaman rahasia yang dikandungnya. Seperti rakyat di mana-mana di dunia, rakyat Indonesia banyak yang tidak sadar akan rahasia yang terkandung di pulau-pulau yang tersebar di seluruh Nusantara. Tapi itulah pulau-pulau, bagaikan peti besi yang menyimpan rahasia itu. Harta karun yang tidak diketahui oleh rakyat Indonesia dan bangsa-bangsa lainnya. Ini yang membuat Indonesia penuh kedalaman rahasia.

    2 Peti besi itu, seperti pulau-pulau, sarat dengan reruntuh kapal dan muatannya. Terdampar ke pantai seperti buah kelapa, botol separuh terisi, dan apa saja yang pantas dimuntahkan laut ke pantai. Di setiap pulau pasti ada semacam eternal wrecker, pemulung pantai, tanpa alas kaki, yang menyandang karung berisikan apa saja yang di-pungutnya dari pantai untuk dibawa pulang. Apa yang dila-ku-kannya dengan benda-benda yang dibawanya pulang itu tetap menjadi rahasia. Tapi, tidak banyak yang terdampar ke pantai itu dibiarkan sia-sia. Indonesia adalah sebuah me-mori dari benda-benda yang terempas ke pantai dari negeri-negeri yang jauh.

    3 Siapa pun yang mengenal Bali ketika ia masih sebuah pu-lau pasti memahami apa yang saya maksudkan. De-ngan ka-pal terdampar mana tari Barong yang tersohor i-tu tiba? Apa-kah ia datang turun menari-nari dari sebuah jung Ci-na? Pemulung Bali pasti menemukannya terdampar di pan-tai. Pada satu waktu, tampaknya tidak mungkin Bali lu-pa akan apa yang tiba dari seberang lautan itu. Ia tidak lu-pa Jawa yang Hindu. Ia tidak lupa simbolisme Eropa. Bali mengubah seluruh dunia menjadi gurunya. Guru dari se-berang lautan yang membawa dunia dan kata, mantra dan mudra, kosala kosali Sri Lanka, ke pantai pasir yang hi-tam atau putih.

    4 Orang-orang Bugis adalah penghuni pulau seka-ligus pe-laut. Lebih dari penghuni-penghuni pulau lainnya, ia men-jadi bagian dari laut. Sebagai penghuni pulau, ia tidak lu-pa akan apa pun yang terdampar ke pantai. Orang-orang Bu-gis telah menciptakan suatu kasta penjaga warisan ini. Me-reka mengenakan kain putih dan kacamata yang me-re-ka pungut di pantai. Pilihan hidup mereka juga tidak la-zim. Mereka tinggal di rumah saat para pelaut bertolak me-ninggalkan pantai. Para pelaut Bugis itu pergi mencari har-ta karun di negeri asal reruntuh yang terdampar di pulau mereka. Mereka pergi untuk menuntut ilmu dari para gu-ru di negeri yang jauh. Mereka kembali de-ngan kata-ka-ta dan dengan kisah-kisah.

    5 Para pelaut Bugis itu sudah menjadi bagian dari laut-an, bukan bagian dari daratan. Mungkin sudah suratan tak--dir mereka. Seperti orang-orang Jawa yang menjadi ba-gian dari daratan, bukan bagian dari lautan. Daratan dan lautan bertemu di Tanjung Priok. Tiang-tiang pinisi yang tinggi dan tak-teruraikan menandai lautan. Perahu-pe-rahu Bugis ini tidak selalu menyentuh daratan. Mereka te-tap berada jauh dari pantai. Pelaut-pelaut Bugis itu mondar-mandir ke pantai dengan sampan. Jika menyentuh der-maga, mereka berjalan dengan keseimbangan diri di atas batang pohon. Mereka bukan pemulung pantai, tapi pe-rompak sejati, pemulung reruntuh di laut lepas. Mereka me-muaskan diri dengan tak putus-putusnya menceritakan kem--bali ilmu yang mereka dapat dari negeri-negeri yang jauh. Negeri-negeri jauh mana? Para pelaut Bugis kenal ba-nyak negeri-negeri itu, tapi terutama sekali laut sebagai sumber kisah-kisah yang tak habis-habisnya itu.

    6 Kisah semacam itu, yang terdiri dari banyak cerita dan ka-ta, bercerita mengenai sejarah manusia Bugis pertama, I La Galígo, sama seperti setiap masyarakat di darat atau laut mana pun yang mempunyai kisah tentang manusia pertamanya. Atau Manusia Pertama Kemudian seper-ti Uilenspiegel dari Flanders. Kadang-kadang Manusia Per-ta-ma atau Manusia Kemudian itu ternyata seekor hewan. Seperti dalam Kisah Monyet, Sun Wu Kung, yang mengembara dengan seorang rahib mencari pencerahan di Barat. Kisah Monyet ini menceritakan kepada orang-orang Cina, sesuatu tentang diri mereka sendiri. Tentang dorongan dan percaya diri yang berlebihan serta keyakinan diri sebagai pusat segala-galanya, dan kesulitan yang mereka ciptakan sendiri. Seperti Tijl Uilenspiegel. Mereka ada-lah Pelaut Daratan dari Cina dan Flanders. Maka itu I La Galígo merupakan manusia Bugis pertama dan ter-ak-hir yang sejati. Dari awal, ia sudah merupakan pribadi yang terbelah dua—antara daratan dan lautan, rumah dan negeri yang jauh.

    7 I La Galígo adalah putra Sawérigading, pahlawan tragis sejati dari kisah ini. Ia cuma pendongengnya. Sebelum runtuhnya imperium Cina, sang putra diberi waktu untuk menceritakan kembali sejarah keluarganya. Putra di ujung kisah ini bercerita mengenai awal kisah. Asal-usul keluarga yang diceritakannya bermula dari dunia dewa-dewa kuno, dari dunia-bawah dan dunia-atas, dunia cinta yang terlarang, kesalahpahaman dan kekacauan, singkatnya dunia tragedi yang absolut dan keramat. I La Galígo me-rupakan turunan terakhir dari dunia masa lalu sebelum mencapai titik akhirnya. Ia tampan, tapi tidak diperhatikan, seorang good for nothing, tanpa masa depan. Ia tidak punya keturunan kecuali kisah yang diwariskannya.

    8 Jika kisah ini diceritakan dengan urutan terbalik, maka ia dimulai dengan kisah sebuah perkawinan yang gagal karena I La Galígo merupakan anak dari dua orang tua yang bercerai. Ayahnya, Sawérigading, pernah merayu dan menikah dengan seorang putri Cina, semacam Turandot. Ia ditakdirkan bukan untuk mencintai putri dari dunia terrestrial ini, tapi seorang makhluk supernatural, adik kembarnya sendiri. Karena itu, sang ayah sedih. Lagi pula I La Galígo dikandung oleh seorang wanita yang memandang rendah sang ayah. Dan ibunya menolak anak yang dilahirkannya itu. Hanya, ketika sudah terlambat, sang ibu baru sadar bahwa ia tidak pernah mengenal atau memahami suaminya atau putranya: mereka kedua-dua-nya tampan. Kehidupan sang ibu telah terbuang sia-sia, se-perti juga kehidupan suaminya, dan kehidupan putranya.

    9 Mengapa perkawinan ini gagal adalah karena per-kawinan dari dua orang yang saling sangat mencintai itu terlarang. Setiap langkah pencegahan telah dilakukan agar kedua kekasih ini tidak saling berjumpa. Se-perti dalam kisah Oedipus, dengan alasan yang berbeda. Sang pria dari pasangan yang sudah ditakdirkan bersatu itu terpaksa meninggalkan negerinya untuk menghindari incest karena kedua-keduanya saudara kembar. Sawériga-ding rela pergi jauh. Untuk mencapai negeri Cina yang ja-uh itu, ia harus menebang pohon yang paling keramat untuk dijadikan kapal. Sedangkan sang wanita juga terpaksa pergi jauh. Ia diselamatkan dari godaan berkat kesuciannya. Sebagai seorang pendeta wanita, ia dikirimkan ke dunia-atas. Dunia-bawah akhirnya terbukti menjadi takdir sang pria dari dua saudara kembar itu. Jika terjadi zina antara dua anak kembar, keberadaan dunia manusia itu sendiri akan hancur. Dan mereka sendiri sudah menjadi penghuni dari dunia yang berbeda. Bukan penghuni dunia manusia, melainkan penghuni dunia-bawah dan dunia-atas, yang lahir dari sulbi seorang ayah yang super-natural dan seorang ibu yang infra-natural.

    10 Namun, mereka akan bertemu dan segala sesuatu akan berakhir, karena awal yang tidak wajar ini. Dunia bawah para dewa akan berpisah dari dunia manusia. Dan dalam semacam happy ending kisah ini, anak perempuan yang tidak jelas terlahir dari sang pahlawan kisah tragis ini akan kawin dengan seorang anak laki-laki yang lahir bahkan secara lebih misterius dari sang pendeta wanita. Melalui deus ex machina, ganda ini semuanya berakhir dengan baik. Suatu dunia baru dimulai di mana cinta tertebuskan dan para dewa tidak menuntut suatu akhir yang tragis. Dunia sakral yang dilampaui I La Galígo berlalu sudah.

    11 Dan bagaimana dengan I La Galígo sang pendongeng itu sendiri? Sang libretto tidak banyak bercerita mengenai hal ini. I La Galígo tidak punya masa depan dan tidak juga keturunan. Ia singkatnya seorang pelaut Bugis yang tidak punya rumah dan tidak berdiam lama. Dalam kisah seorang pangeran Bugis ini, kita merasakan kepedih-an seorang pria. Dalam banyak hal, ia lebih merupa-kan kisah seorang pria daripada seorang wanita. Ia cerita tentang laki-laki yang pantang mengelak dari tantangan perkelahian, tapi akan selalu tidak terpuaskan. Ibu, adik perempuan, putri dari negeri jauh tetap tak tercapaikan. Ada setetes air mata kesedihan seorang pria yang mengalir sepanjang kisah ini, jika bukan air mata penyesalan diri yang terbuka. Pria Bugis ini berkelana, berjudi, berlaga dan bahkan memenangi laga itu, tapi pelabuhan ter-akhirnya berada di dunia bawah atau dunia yang mulai runtuh. Ia tidak pernah merasa diterima, betapapun tampan wajah-nya. Satu-satunya pelipur lara yang diperolehnya adalah seorang wanita yang meratapi kepergiannya.

    12 Inilah kisah cinta dua dunia. Satu dunia kebahagiaan gaib yang mengagumkan, satu lagi dunia kebahagiaan dunia yang fana. Kedua dunia ini ternyata tak tercapaikan selama-lamanya. Dalam Robert Wilson, kedua dunia ini menemukan juru tafsir yang jernih. Terutama citra-citra yang diciptakannya yang lekat dalam memori kita, dengan latar belakang realitas sakral yang statis serta pergerakan tak henti-hentinya dari benda-benda dan orang-orang kecil yang lewat dari kanan ke kiri, dan dari atas ke bawah, sementara kisah berlalu.

    13 Kisah ini juga tentang satu dunia. Dunia sakral yang sudah ditakdirkan akan lenyap sebelum dimulainya cerita. Narasi kisah ini dibacakan oleh seniman-seniman Indonesia dari berbagai daerah. Musik, tarian, nyanyian, dan budaya materi dari berbagai daerah mengisi teater dengan cahaya dan suara yang mengingatkan kita akan waktu dan ruang. Orang boleh merasa tidak terpuaskan dengan aspek-aspek tertentu, tapi secara keseluruhan I La Galígo menciptakan suatu opera yang benar-benar Indonesia dengan para pemulung pantai dan reruntuh di pantai yang benar-benar Indonesia.

    14 Memandang opera ini dari tingkat abstraksi yang lebih tinggi, tampaknya tidak lagi penting hari-hari ini apakah seseorang mementaskan Oedipus Rex, Maha-bharáta, atau I La Galígo. Orang selalu harus menciptakan kembali dunia yang telah lenyap, suatu dunia yang kita pandang sebagai negara asal kita yang telah hilang selama-lamanya, seperti yang dialami I La Galígo. Kita bertanya pada diri sendiri (seperti dilakukan Robert Wilson, atau Peter Brooks, atau Sardono Kusuma) siapa sebenar-nya kita hari ini, setelah kita semua menjadi pemulung benda-benda yang terempas di pantai sejarah.

    Tulisan ini berkaitan dengan pertunjukan I La Galígo di Lincoln Center for the Performing Arts, New York, 13-16 Juli lalu.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus