Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Halo pembaca,
Seperti sinetron atau film di Netflix, cawe-cawe juga bisa berjilid-jilid. Sinetron atau film bisa menyenangkan karena teknik binge-watching dan cerita yang bikin penasaran. Tapi cawe-cawe Jokowi bisa membahayakan demokrasi. Setelah “sukses” membawa anak sulungnya menjadi wakil presiden, kini ia hendak membawa anak bungsunya menjadi wakil gubernur Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gelagatnya mirip. Gibran Rakabuming Raka bisa maju menjadi kandidat wakil presiden setelah pamannya yang memimpin Mahkamah Konstitusi mengubah UU Pemilu soal batas umur. Kaesang Pangarep, si bungsu, juga bisa melenggang dalam pilkada Jakarta 27 November nanti karena Mahkamah Agung sudah merevisi batas usia dalam Peraturan KPU.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tadinya, menjadi calon kepala daerah tingkat I minimal berusia 30. Hakim agung mengubahnya menjadi minimal usia 30 saat pelantikan. Artinya, tak ada batas usia saat pencalonan. Kaesang genap berusia 30 pada 25 Desember 2024. Maka jika ia menang, ia tak tersandung aturan ini karena pelantikan gubernur dan wakil gubernur baru akan tahun depan.
Siapa calon gubernur jagoan Jokowi? Ridwan Kamil, mantan Gubernur Jawa Barat yang kini berseragam Partai Golkar. Ide ini bikin Golkar panas karena mereka menjagokan Ridwan kembali menjadi Jawa Barat-1. Ide Ridwan ke Jakarta didukung Gerindra karena mereka menjagokan Dedi Mulyadi, mantan Bupati Purwakarta yang dulu berseragam Golkar.
Ganjalannya cuma satu: lagi-lagi Anies Baswedan. Popularitas Anies di Jakarta paling tinggi. Maka, skenario pemilihan presiden mungkin akan terulang di Jakarta.
Pertanyaannya, mengapa para pemilik partai di Koalisi Indonesia Maju—koalisi partai pendukung Prabowo Subianto—manut saja dengan keinginan-keinginan Jokowi? Dia akan selesai berkuasa 20 Oktober. Setelah itu dia tak punya tangan untuk “memukul” lawan politik dan menelikung teman seiring yang menyeleweng karena ia tak punya partai.
Prabowo Subianto atau Susilo Bambang Yudhoyono, dua jenderal tentara ini, ikut-ikutan melayani hasrat berkuasa Jokowi.
Penjelasan sikap keduanya bisa merujuk pada praktik kartel politik yang menjadi ciri sistem kepartaian sejak Reformasi 1998. Partai dimiliki perorangan, bukan oleh sistem yang mengacu pada demokrasi. Akibatnya, partai rawan disetir karena kepentingan.
Praktik-praktik partai memiliki ciri-ciri kartel dijabarkan ilmuwan politik Universitas Gadjah Mada Kuskridho Ambardi dalam bukunya, Mengungkap Politik Kartel, yang terbit 2009. Masalahnya, mengapa para kartel ini tunduk kepada Jokowi yang tak punya partai?
Barangkali karena hubungan mutualisme antara Jokowi dan para pemilik partai itu. Pada akhirnya, mereka menikmati sumber daya negara yang disediakan Jokowi untuk menumpang berkuasa.
Bagaimana detail cawe-cawe Jokowi dan koalisi memanas gara-gara skenario memasangkan Ridwan Kamil-Kaesang Pangarep di Jakarta kami bahas di edisi pekan ini. Selamat membaca.
Bagja Hidayat
Wakil Pemimpin Redaksi
Baca selengkapnya di Majalah Tempo:
- Bersekutu dengan Anies Baswedan: Cara PDIP Melawan Jokowi dalam Pilkada Jakarta
- Panas-Dingin Gerindra-Golkar Akibat Ridwan Kamil Mau Maju Pilkada Jakarta
- Di Balik Penarikan Dana Muhammadiyah dari Bank Syariah Indonesia
- Penjelasan Komisioner BP Tapera soal Setoran yang Tak Masuk Akal
- Serangan Spesies Asing Invasif di Taman Nasional
- Perjuangan Karisma Evi Kembali Menjadi Juara Dunia Para Atletik