Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Newsletter

CekFakta #16 Masih Adakah Politik Akar Rumput?

Astroturfing, Gerakan Politik Akar Rumput Bohongan-Andri Bibir atau Orang Lain?-Selamat Datang di Dunia Penuh Kepalsuan

19 November 2019 | 17.50 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

  • Ada istilah untuk gerakan yang tampaknya seperti berasal dari akar rumput, namun nyatanya disponsori oleh pihak berduit: astroturfing. Kami membahas soal ini dalam nawala edisi 29 Mei 2019.
  • Publik tak percaya bahwa Andri Bibir adalah orang yang dipukuli anggota polisi berpakaian Brimob di Kompleks Masjid Al-Huda saat kerusuhan 22 Mei. Tempo menelusuri keberadaan Markus, pria lain yang juga disebut-sebut sebagai sosok korban pemukulan di video tersebut.

Apakah Anda menerima nawala ini dari teman, dan bukan dari email Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Edisi ini ditulis oleh Astudestra Ajengrastri dalam kerangka program TruthBuzz untuk Tempo.co. Ketahui lebih lanjut tentang program ini dan misi saya di bagian bawah surel.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASIH ADAKAH POLITIK AKAR RUMPUT?

Astroturfing. Kata ini menjadi diksi yang tepat untuk menggambarkan situasi masa sekarang. Ia berasal dari kata AstroTurf, sebuah merek dagang asal Amerika Serikat penyedia rumput sintetis untuk lapangan olahraga, sebagai pengganti rumput alami.

Maka, astroturfing berarti sebuah strategi kampanye terselubung yang didesain sedemikian rupa sehingga tampak seperti berasal dari masyarakat jamak (grass root), padahal kenyataannya diinisiasi atau didanai oleh perusahaan atau gerakan politik tertentu.

Asumsinya, orang akan cenderung lebih bersimpati dan meyakini objektivitas yang digerakkan oleh akar rumput, ketimbang kampanye blak-blakan oleh golongan tertentu. 

Praktik politik astroturfing yang berhasil akan menciptakan efek kereta atau bandwagon effect, yang pada akhirnya mencampuradukkan para pendukung yang benar-benar asli, dengan yang sekadar bayaran saja.

Istilah astroturfing sendiri pertama kali dicetuskan pada 1985 oleh Lyod Bentsen, yang kala itu menjabat sebagai Senator Texas. Bentsen saat itu mendapati bahwa segunung surat masukan soal undang-undang asuransi dari masyarakat yang ditujukan padanya, ternyata berasal dari perusahaan asuransi sendiri. “Surat ini dibuat-buat,” ia berujar.

Mengapa isu ini penting: Era digital memperkenalkan kita kepada buzzer dan cyber army. Percakapan daring yang tampak seperti dilakukan oleh masyarakat akar rumput alias organik ternyata diorganisasi dan didanai dengan maksud-maksud tertentu. Ketika para influencer ini berhasil memengaruhi opini publik, hanya tinggal menunggu waktu sampai efek astroturfing di dunia maya pindah jadi gerakan betulan ke dunia nyata. 

Tantangan untuk pemeriksa fakta: bot, salah satu yang paling sering dipakai dalam astroturfing, diprogram untuk menyebarkan disinformasi secara masif. Melakukan debunk secara manual untuk sesuatu yang didesain bekerja dengan otomatis, di masa mendatang, bakal jadi hal yang tak relevan lagi. Waktunya mengalahkan mesin dengan kecerdasan artifisial.

AKUI SAJA, KITA HIDUP DALAM DUNIA “PLASTIK” SERBA PALSU 

Setidak-tidaknya kita harus sadar bahwa saat ini kita hidup dalam kenyataan yang telah terdistorsi—rasanya ngeri bila berpikir bahwa banyak orang masih tidak menyadari banyaknya kepalsuan yang disuguhkan di depan mata mereka, namun tetap menganggap itu semua nyata.

- Pekan ini, Facebook mengaku telah menghapus 2,2 juta akun palsu di platform-nya dalam waktu tiga bulan. (via Kompas)

- Tahun lalu, survei oleh Pew Research Center menemukan dua per tiga dari seluruh tautan ke situs-situs populer yang dicuitkan di Twitter berasal dari bot. Bot juga menyumbang lebih dari separuh kegiatan selancar di dunia maya.

- Pada Pemilu Meksiko 2018, hasil survei palsu sengaja disebarkan politisi untuk memengaruhi opini publik. Pola serupa memantik keraguan berkepanjangan pada lembaga survei dari masyarakat Indonesia di masa kampanye Pemilu 2019 lalu.

- Berita-berita palsu dari situs media abal-abal memenuhi lini masa media sosial.

- Bermunculannya ladang bisnis yang menjual like dan follower, mengorbitkan akun-akun influencer palsu.

Mengapa isu ini penting: Yang terjadi pada hari ini adalah sececap rasa atas apa yang akan terjadi di masa mendatang. Nantinya, kita akan semakin susah lagi menyaring yang mana yang nyata dari video, foto, audio, dan narasi-narasi palsu. 

Kalau semuanya palsu, siapa yang bisa kita percaya? Survei Kepercayaan Media yang dilakukan oleh Poynter di AS pada tahun lalu menemukan kepercayaan publik kepada media mainstream meningkat (54 persen), justru ketika Presiden Donald Trump terus-menerus memojokkan media sebagai penyebar berita palsu atau fake news. Akankah publik Indonesia juga kembali menyandarkan rasa percaya mereka pada media? 

WAKTUNYA TRIVIA! 

Informasi-informasi sekilas yang mungkin terselip dari perhatian. Kami mengumpulkannya untuk Anda.

Apa yang bisa kita pelajari dari pembatasan akses media sosial oleh pemerintah saat kerusuhan 22 Mei lalu?

- Melalui utasan di Twitter, Menkominfo Rudiantara bersikukuh pembatasan ini efektif mencegah meluasnya kerusuhan. Ia menuliskan juga daftar situs dan akun yang ditutup Kominfo—ribuan akun media sosial, satu website, dan 61.000 akun WhatsApp.

- Perdebatan pro-pembatasan fitur internet di masa darurat dan kontra-pembatasan atas dasar demokrasi terus berlanjut. Anda masuk tim sebelah mana?

- Penting untuk dipikirkan kembali: Pembatasan ini belum terbukti efektif meredam penyebaran hoaks. Penggunaan VPN yang tiba-tiba meroket membuat Rudiantara kemudian meminta masyarakat menghapus layanan ini setelah pemblokiran berakhir.

Bersama Tirto, International Center for Journalists (ICFJ) merilis hasil survei soal penyebaran hoaks di Indonesia di masa jelang dan pascapemilu lalu.

- Salah satu hasilnya, orang yang berusia lebih tua cenderung mudah percaya pada informasi apapun yang dikirim melalui WhatsApp dan meneruskannya (mem-forward) kembali.

- Pesan misinformasi paling dipercaya adalah tentang klaim konspirasi imunisasi dan vaksin (31,08 persen).

- Dalam survei lanjutan yang dilakukan Tirto dengan Jakpat usai hari pencoblosan, sebanyak 62,01 persen responden menyebarkan informasi soal politik via WhatsApp. Masih kalah dibanding info jual-beli (67,37 persen) dan kesehatan (66,88 persen).

Kumparan menurunkan tiga artikel terkait dengan sebaran hoaks medis. Selami lebih dalam dengan membaca artikel di tautan ini, yang ini, dan ini.

PERIKSA FAKTA SEPEKAN INI 

Saat video yang menampakkan adegan sejumlah polisi dengan pakaian Brimob menjadi viral, pemeriksa fakta dan redaksi Tempo bergerak untuk melakukan verifikasi. Kami memastikan dua hal dalam artikel cek fakta yang bisa Anda baca di tautan ini. Pertama, bahwa pemukulan ini benar terjadi di Kompleks Masjid Al-Huda, bukan di Thailand seperti klaim yang sempat beredar di media sosial. Dan kedua, bahwa sosok yang dipukuli dalam video tersebut bukanlah Harun Rasyid, peserta aksi 22 Mei asal Duri Kepa, seperti yang juga beredar di media sosial.

Polisi belakangan merilis identitas pria yang dipukuli itu sebagai Andri Bibir, tukang parkir serabutan yang menyediakan batu dan air untuk pendemo. Sebagai bagian dari kerja jurnalistik, kami mencari konfirmasi ulang pernyataan polisi tersebut, apalagi saat kemudian ada nama lain yang muncul sebagai sosok yang diduga dipukuli, Markus. Hasilnya, kami bertemu sejumlah saksi yang memberi pernyataan berbeda, ada yang memastikan korban pemukulan adalah Andri, namun ada juga yang mengatakan korban adalah Markus. Hingga kini, kejelasan soal siapa pria yang dipukuli itu memang masih kabur. Namun yang pasti, ia bukan Harun Rasyid yang diketahui tewas dalam kerusuhan di flyover Slipi.

Yang jelas, polisi telah menetapkan Mustofa Nahra sebagai tersangka atas unggahannya di media sosial soal kasus ini. Di sisi lain, para anggota Brimob juga akan diinvestigasi oleh Propam atas tindakan pemukulan itu. Lebih lanjut, per 28 Mei, Bareskrim Polri menetapkan 10 tersangka penyebaran informasi bohong sepanjang 21-28 Mei.

TruthBuzz adalah program fellowship dari International Center for Journalists (ICFJ) yang bertujuan untuk memperluas literasi dan mengatasi permasalahan disinformasi di lima negara yakni Indonesia, India, Nigeria, Brazil, dan Amerika Serikat. Saya adalah penerima fellowship ini di Indonesia. Salah satu misi saya bersama Tempo.co adalah untuk menyebarkan hasil kerja tim pemeriksa fakta yang menangkis berbagai hoaks.

Kenal seseorang yang Anda rasa tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini.

Ikuti kami di media sosial:

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus