Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Newsletter

CekFakta #20 Audrey Yu dan Sirkulasi Misinformasi oleh Media

Saat Media Malah Populerkan Hoaks-Masalah dengan TikTok-Salah Kaprah Kartu Pra-Kerja karena Malas Membaca

2 Desember 2019 | 19.15 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

  • Ketika ada informasi kabur dari sumber tak terverifikasi (baca: sosial media), kita berharap bisa berpaling ke media untuk mencari kebenaran. Yang kini terjadi, beberapa media mempublikasikan informasi viral tanpa mengambil peran sebagai verifikator. Kabar tentang Audrey Yu menjadi salah satu contohnya.
  • TikTok, aplikasi yang populer di kalangan pengguna muda di seluruh dunia, mulai jadi incaran di sejumlah negara. India berusaha melarang TikTok diunduh, sementara Inggris menyoroti masalah pornografi anak di platform ini.

Selamat hari Senin, pembaca nawala CekFakta Tempo, dan selamat datang di edisi ke-20 nawala ini pada 15 Juli 2019. Beberapa hari lalu, misinformasi tentang Audrey Yu yang yang dikatakan bekerja di NASA dan ditawari pekerjaan di BPPT oleh Presiden Jokowi merebak. Penelusuran menunjukkan kabar ini viral setelah media gagal memverivikasi sebuah unggahan. Sementara itu, aplikasi populer TikTok mulai jadi sorotan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apakah Anda menerima nawala ini dari teman, dan bukan dari email Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Edisi ini ditulis oleh Astudestra Ajengrastri dalam kerangka program TruthBuzz untuk Tempo.co. Ketahui lebih lanjut tentang program ini dan misi saya di bagian bawah surel.

AUDREY YU DAN SIRKULASI MISINFORMASI OLEH MEDIA

Kabar tentang Audrey Yu Jian Hui adalah kabar yang baik, bahkan membuahkan haru dan menggugah rasa cinta tanah air. Audrey yang disebut berasal dari Surabaya, sejak kecil sudah cemerlang. Ia disebut masuk Universitas Indonesia pada usia 13 tahun, menulis buku best seller, lulus S3 di Paris, dan bekerja pada NASA. Audrey juga dikatakan bertemu Presiden Joko Widodo saat KTT G20 di Jepang, ditawari masuk BPPT, dan tanpa pikir panjang menerimanya dengan antusias. Sayang, sebagian besar kabar ini bohong.

Namun, hoaks adalah hoaks, meski di dalamnya terkandung muatan yang bisa diinterpretasikan positif. 

Ismail Fahmi, pembuat alat pendata tren percakapan Twitter Drone Emprit, menemukan informasi ini pertama kali dicuit oleh satu akun pada 7 Juli 2019 dengan mem-forward berita lawas tertanggal 10 November 2018 dengan judul “Mengenal Audrey Yu, Gadis Jenius yang Pernah Ditolak Semua Universitas di Indonesia”. Twit ini tak banyak direspons orang.

Di hari sama tak lama berselang, akun lain mencuitkan kisah Audrey, kali ini dengan gaya utasan dan narasi yang lebih meyakinkan. Fahmi juga mencatat, sejumlah media lantas membuat artikel soal Audrey hanya berbekal informasi dari cuitan akun @nithasist tersebut.

Sayang, sebagian besar artikel-artikel ini minim verifikasi dan justru menambahkan kata-kata seperti “dikabarkan”, “disebut-sebut”, dan “diisukan” dalam judul.

Ini hanyalah satu contoh terbaru bagaimana media yang terverifikasi—dalam hal ini terdaftar di bawah Dewan Pers—justru turut menyebarluaskan misinformasi. 

Sebelumnya, Remotivi pernah melaporkan bagaimana liputan media mainstream malah ikut menyebarkan kepanikan saat isu susu kental manis (SKM) merebak pada Juli tahun lalu.

Andil media dalam menyebarkan kabar bohong juga pernah terjadi di Amerika Serikat. Setelah peristiwa penembakan di SMU Santa Fe di Texas pada 2018, sejumlah media mewawancarai seorang pria yang mengaku menjadi saksi saat penembakan berlangsung. David Briscoe, begitu ia mengaku, bahkan mengatakan dirinya sempat menyelamatkan beberapa siswa yang ketakutan. Permasalahannya, tidak ada nama Briscoe dalam daftar guru di sekolah Santa Fe.

Nyaris setahun kemudian, Texas Tribune melacak keberadaan Briscoe di Florida dan menghubunginya via Twitter. Briscoe menyangkal pernah berada di Santa Fe dan mengaku menjadi korban pencurian identitas. Sekurangnya empat media, termasuk CNN dan Wall Street Journal, lantas mengoreksi artikel mereka yang memasukkan Briscoe sebagai narasumber. Mereka juga merilis permintaan maaf kepada pembaca atas kesalahan ini. Kekeliruan ini baru diperbaiki pada Juli 2019.

Mengapa isu ini penting? Kecerobohan media dalam menulis artikel tanpa melakukan pekerjaan rumah (yakni mencari verifikasi) menambah rumit benang kusut penyebaran misinformasi. Digital News Report 2019 dari Reuters Institute yang meneliti tren pemberitaan di seluruh dunia menemukan angka orang yang menghindari membaca berita tahun ini naik dari riset yang dilakukan dua tahun lalu.

Meski, Reuters Institute mencatat alasan penghindaran membaca berita ini bukan hanya karena para responden menemukan banyaknya berita bohong di mana-mana, sehingga tak tahu lagi sumber mana yang bisa dipercaya. Ini, kata laporan itu, bahkan hanya sebagian kecil penyebabnya saja.

Esai yang ditulis oleh Joshua Benton untuk Nieman Labs mengeksplorasi lebih lanjut dinamika ini. Benton menemukan banyak orang menghindari membaca berita karena rasa depresi dan gelisah yang ditimbulkannya, seakan-akan tidak ada berita bagus yang membuat pembaca merasa positif.

Artinya, meski cara bekerja media mainstream masih banyak yang harus dibenahi, para pemeriksa fakta patut merasa optimistis. Selama ini, kami khawatir bahwa misinformasi dan menurunnya kepercayaan publik terhadap media mainstream adalah penyebab utama menurunnya minat baca berita. Kini, kita tahu bahwa akar isu ini lebih kompleks dari itu.

PENGAWASAN DAN PELARANGAN UNTUK TIKTOK

Seberapa populernya TikTok? Platform bertukar video yang kebanyakan berisi penggunanya melakukan lipsync sambil menari-nari ini adalah aplikasi paling banyak diunduh pada 2018, angkanya sudah melewati satu miliar di Google Play dan App Store.

- TikTok mengubah lanskap media sosial. Tak seperti Instagram, ia belum disesaki oleh pengiklan atau influencer. Tak seperti YouTube, bahkan pengguna baru masih berkesempatan membuat konten viral. Dan tak seperti Facebook, ia tak ramah untuk orang tua—membuat para pengguna TikTok yang kebanyakan Generasi Z rentan diintai bahaya.

- Awal tahun ini, parlemen Inggris meluncurkan investigasi terhadap TikTok terhadap cara mereka mengumpulkan data pengguna yang berusia di bawah 13 tahun. TikTok sendiri memasang umur 13 tahun sebagai usia minimal bagi mereka yang ingin mendaftarkan akun, namun mereka menyadari bahwa “ada persentase signifikan pengguna yang berusia di bawah 13 tahun.” (via The Guardian)

- Motherboard melaporkan, meski tampak ramah bagi anak, ada sebagian pengguna yang menggunakan platform ini untuk mengeksploitasi konten pornografi anak.

- Di India, TikTok sempat dicopot dari toko daring Google dan Apple menuruti perintah pengadilan, dengan alasan “menodai budaya dan mempromosikan pornografi”—selain juga karena banyaknya kasus perundungan dan pengguna yang celaka demi membuat konten. India adalah pasar terbesar TikTok, sekitar 40 persen pemakai TikTok berasal dari sini.

- Muncul kembali di India setelah berminggu-minggu dilarang, pekan lalu parlemen India kembali berusaha menghilangkan TikTok dari peredaran. Kali ini dengan alasan banyaknya penyebaran ujaran kebencian dan tuduhan pembagian data pengguna dengan pemerintah Cina. (via Financial Times)

- Terkait sirkulasi misinformasi, sejauh ini peredaran hoaks di TikTok memang belum semasif Facebook atau platform lain. Di Medium, seorang pengguna mengumpulkan sejumlah misinformasi berupa #lifehack dan #prank, yang meski tampak tak berbahaya, berpotensi menormalisasi konten-konten yang tak berbasis fakta: misalnya, bila ada angka 8 di barcode berarti produk yang Anda beli dibuat oleh buruh anak, atau bila ponsel Anda berdengung berarti pertanda ada radiasi dari menara telekomunikasi, dan lain-lain.

- Walaupun tampak tak berbahaya saat ini, diskusi tentang moderasi konten di platform TikTok harus segera dilakukan, sebelum nantinya masalah ini bertambah besar dan kompleks untuk dihadapi.

WAKTUNYA TRIVIA! 

Informasi-informasi sekilas yang mungkin terselip dari perhatian. Kami mengumpulkannya untuk Anda.

- Google meluncurkan program literasi digital bertajuk “Be Internet Awesome”, yang akan membantu anak-anak mengidentifikasi berita palsu, bot, dan bentuk disinformasi lainnya. Kurikulum yang dikembangkan Google selama dua tahun ini juga mencangkup keamanan digital, cara mendiskusikan konten yang tak layak, dan mendorong perilaku berinternet secara positif sejak dini. 

- Menghadapi gelombang deepfake yang diperkirakan semakin marak, Journalists Resource mendaftar lima sumber daya yang bisa membantu jurnalis dalam memahami dan mengatasi deepfake dengan lebih baik.

- Sesuatu yang sudah dibagikan di dunia maya, tidak akan pernah benar-benar hilang. Setelah aplikasi berbasis kecerdasan buatan yang mampu membuat gambar wanita manapun menjadi telanjang, DeepNude, ditutup oleh pembuatnya sendiri pada pekan lalu, The Verge melaporkan sejumlah versi bajakannya masih beredar di internet.

- Contoh terbaru bagaimana misinformasi bisa memulai perang antarnegara: peristiwa pengeboman dua kapal minyak di Teluk Oman yang nyaris memicu perang AS-Iran, tulis Duta Besar Danuel Benjamin dan Steven Simon untuk Politico.

- Karena malas membaca dan memahami program Kartu Pra-Kerja Joko Widodo, pemuda asal Sulawesi Selatan ini mengumumkan keputusannya untuk fokus menganggur. Vice Indonesia melaporkan, unggahan media sosial pemuda ini membuahkan perundungan panjang dari netizen.

PERIKSA FAKTA SEPEKAN INI 

Masih ingat artikel periksa fakta yang pernah ditulis tim Tempo tentang unggahan yang menyebut remaja yang dianiaya polisi di belakang Kompleks Masjid Al-Huda bukanlah Harun Rasyid asal Duri Kepa? Majalah Tempo dalam edisi 6 Juli 2019 mengupas lebih dalam siapa korban penganiayaan polisi tersebut. Kami menemukan korban bukanlah Andri Bibir seperti yang diakui polisi. Selanjutnya, KontraS mendesak polisi untuk mengungkap apa yang terjadi saat itu dan siapa korban yang dianiaya sebenarnya.

TruthBuzz adalah program fellowship dari International Center for Journalists (ICFJ) yang bertujuan untuk memperluas literasi dan mengatasi permasalahan disinformasi di lima negara yakni Indonesia, India, Nigeria, Brazil, dan Amerika Serikat. Saya adalah penerima fellowship ini di Indonesia. Salah satu misi saya bersama Tempo.co adalah untuk menyebarkan hasil kerja tim pemeriksa fakta yang menangkis berbagai hoaks.

Kenal seseorang yang Anda rasa tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini.

Ikuti kami di media sosial:

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus