Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Newsletter

CekFakta #39 Hoaks yang Berujung Perisakan

Hoaks Berujung Risak-Jumlah Like Instagram Disembunyikan, Buat Apa?-Kabar Kibul Kembali Hantam Ahok

30 Desember 2019 | 14.12 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Cyber bullying

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

  • Perisakan di dunia maya atau cyberbullying bisa menimpa siapa saja. Data UNICEF menunjukkan sekitar 50 persen remaja Indonesia pernah mengalami perisakan di dunia maya atau cyberbullying. Perisakan yang salah satunya dilakukan dengan cara menyebarkan berita bohong menyangkut korban itu, juga bisa terjadi pada generasi yang lebih tua. Di Bogor, seorang guru honorer sampai mengalami tekanan psikis akibat informasi palsu yang menyasar dirinya.
  • Instagram telah memulai uji coba global penyembunyian jumlah like di platformnya, termasuk di Indonesia. Kebijakan ini diyakini bermanfaat bagi kesehatan mental pengguna. Namun, mereka yang kontra menilai efek komentar negatif di Instagram terhadap pengguna lebih buruk ketimbang jumlah like.

Selamat hari Jumat, pembaca Nawala CekFakta Tempo! Apakah Anda pernah dirisak? Perisakan atawa bullying telah ada sejak lama. Seiring dengan perkembangan teknologi bullying terjadi juga di dunia maya, yang disebut cyberbullying. Belakangan, terkecoh oleh berita palsu banyak orang akhirnya menjadi pelaku cyberbullying. Hal itu diperparah oleh mindset bahwa mereka punya kebebasan yang mutlak untuk berkomentar di media sosial. Padahal, mereka sering salah sasaran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apakah Anda menerima nawala edisi 29 November 2019 ini dari teman dan bukan dari email Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nawala edisi ini ditulis oleh Angelina Anjar Sawitri dari Tempo Media Lab.

 

HOAKS BERUJUNG RISAK 

Tahukah Anda bahwa hoaks bisa memantik perisakan terhadap mereka yang menjadi sasaran kabar bohong tersebut? Itulah yang terjadi pada seorang guru honorer di Rumpin, Kabupaten Bogor, bernama Jajudin. Pria 29 tahun itu mengalami tekanan psikis gara-gara berita bohong mengenai dirinya yang tersebar di media sosial. Ribuan komentar kasar mampir di akun Facebook-nya, mulai dari pelabelan guru biadab hingga ancaman pembunuhan.

Perisakan itu bermula dari viralnya kabar penganiayaan terhadap Putra Mario, seorang remaja 15 tahun asal Cipinang Muara, Jakarta Timur. Sebenarnya, polisi sudah menangkap dua pelaku penganiayaan itu. Namun, beberapa akun di Instagram terlanjur menyebut Jajudin sebagai salah satu pelaku. Data dirinya pun sudah menyebar. Padahal, Jajudin sama sekali tidak tahu-menahu. Ia bahkan tidak  mengenal siapa Mario.

“Saya sempat mematikan Facebook. Saya syok. Istri, mertua, dan orang tua saya juga syok,” kata ayah satu anak itu. Jajudin sempat memberikan klarifikasi di akun Facebook-nya. Akan tetapi beberapa akun anonim masih saja menyebutnya sebagai penganiaya Mario. 

Peristiwa yang menimpa Jujudin pada Juni 2017 itu mungkin saja menimpa orang lain. Apalagi, semakin ke sini, hoaks kian merajalela. Di Amerika Serikat, fenomena itu tertangkap oleh lembaga riset independen Pew Research Center. Dalam sebuah penelitian terhadap 743 remaja berusia 13-17 tahun di AS, mereka menemukan  bahwa sekitar 59 persen remaja pernah mengalami perisakan di dunia maya atau cyberbullying. Dari jumlah itu, sebanyak 32 persen mengaku dirisak akibat rumor palsu mengenai mereka yang disebarkan oleh orang lain. 

Berdasarkan riset yang digelar pada pertengahan 2018 itu, sebanyak 63 persen remaja meyakini bahwa perisakan di dunia maya merupakan masalah utama yang dihadapi oleh anak seusia mereka. Mayoritas anak muda ini merasa bahwa kelompok-kelompok kunci, seperti guru, perusahaan media sosial, serta politikus, gagal mengatasi masalah tersebut. Sebaliknya, mereka menilai lebih positif cara orang tua mereka mengatasi cyberbullying.

Bagaimana dengan Indonesia? Berdasarkan data UNICEF, salah satu organisasi di PBB yang fokus pada kesejahteraan anak, sekitar 41-50 persen remaja Indonesia yang berusia 13-15 tahun pernah mengalami perisakan di dunia maya sepanjang 2016. Psikolog sosial, Koentjoro, mengatakan cyberbullying muncul antara lain karena maraknya media sosial. Menurut dia, banyak anak muda pengguna media sosial terlalu bebas menuliskan komentarnya.

Padahal, kata Koentjoro, anak-anak muda itu belum sepenuhnya mampu menyaring informasi yang mereka dapatkan. “Seringnya, anak muda mengumbar kekesalan dan rasa benci terhadap sesuatu atau seseorang tidak lagi secara face to face, tapi lewat media sosial tanpa adanya cross check. Hal ini sangat mudah menyulut kemarahan dan kebencian,” tutur guru besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada itu, seperti dikutip dari situs media Kumparan.

Kombinasi Ganas Media Sosial dan Cyberbullying

Media sosial memang merupakan arena utama cyberbullying. Menurut survei lembaga anti-bullying, Ditch The Label, Instagram merupakan media sosial yang paling sering digunakan untuk melakukan perisakan. Caranya bermacam-macam, mulai dari: komentar negatif pada unggahan tertentu; pesan pribadi yang tak bersahabat; hingga penyebaran sekaligus olok-olok terhadap unggahan atau profil akun tertentu.

Sebanyak 78 persen dari sekitar 10 ribu remaja responden berusia 12-20 tahun dalam survei di Inggris pada Juli 2017 itu, merupakan pengguna Instagram. Dari jumlah tersebut, sekitar 42 persennya mengaku mengalami perisakan di Instagram. Sementara itu, dari 60 persen responden pengguna Facebook, sekitar 37 persen pernah mengalami cyberbullying di platform tersebut.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Kebijakan Publik Instagram di Eropa saat itu, Michelle Napchan, mengatakan platformnya tengah mengembangkan teknologi pembelajaran mesin atau machine learning yang memungkinkan berbagai komentar kasar diblok secara otomatis. “Kami juga memberikan pilihan bagi pengguna untuk menonaktifkan komentar atau membuat daftar kata dan emoji yang ingin disensor dari kolom komentar,” ujar Napchan.

Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Anita Wahid, membagikan jurus bagi warganet agar terhindar dari hoaks dan cyberbullying. Dia menamakannya 5R, yakni right, respect, responsible, reasoning, dan resilience.

 

  • Right (hak) — Kita memiliki hak atas informasi dan hak untuk berekspresi. Tapi ingat bahwa orang lain juga memiliki hak-hak itu.
  • Respect (hormat) — Sama seperti di dunia nyata, di dunia maya pun ada keharusan untuk menghormati pendapat orang lain.
  • Responsible (tanggung jawab) — Kita harus bertanggung jawab atas apa yang kita unggah di media sosial karena unggahan itu pasti berdampak, baik kecil atau pun besar.
  • Reasoning (alasan) — Kita harus memahami apa alasan kita mengunggah sesuatu di media sosial. Jangan sampai, media sosial menjadi tempat sampah berbagai hoaks.
  • Resilience (ketahanan) — Setiap orang mesti memiliki ketahanan terhadap apa yang akan diterimanya di media sosial. Kita harus tetap bertahan pada kebenaran meskipun dirisak warganet.

 

Masih ingat bintang K-pop, Sulli, yang bunuh diri karena stres akibat perisakan yang diterimanya di media sosial? Atau yang terbaru, pada 24 November 2019 lalu, bintang K-pop, Goo Hara, yang bunuh diri karena alasan yang sama dengan Sulli? Kita harus bersama-sama menjaga agar peristiwa yang menimpa mereka tidak terulang. Caranya, terapkan jurus 5R di atas. Setidaknya, tahan diri, jangan menyebarkan suatu yang belum Anda ketahui kebenarannya.

Bagaimana dengan mereka yang mengalami cyberbullying? Jangan pernah meremehkan depresi. Untuk bantuan krisis kejiwaan atau tindak pencegahan bunuh diri di Indonesia, Anda bisa menghubungi Yayasan Pulih (021-78842580).

 

JUMLAH LIKE INSTAGRAM DISEMBUNYIKAN, BUAT APA?

Facebook mulai menguji coba penyembunyian jumlah like di Instagram secara global. Indonesia menjadi salah satu negara yang ikut mencicipi tes tersebut. Seperti apa uji coba itu dilakukan oleh Facebook? Dan sebenarnya, apa pentingnya penyembunyian jumlah like di Instagram ini?

- Menurut Facebook, pengguna Instagram yang kebagian uji coba ini akan mendapatkan notifikasi berupa pesan pop-up yang berbunyi “Menguji Perubahan pada Bagaimana Anda Melihat Like”. Setelah notifikasi tersebut muncul, pengguna tidak akan bisa melihat jumlah like di unggahan pengguna lain. Namun, pengguna masih bisa melihat jumlah like di unggahannya sendiri. Perubahan ini akan terjadi secara default dan tidak bisa diatur oleh pengguna.

- Menurut Instagram, penyembunyian jumlah like bertujuan untuk menghilangkan tekanan terhadap pengguna soal popularitas unggahannya. “Kami ingin teman Anda fokus pada foto dan video yang Anda bagikan, bukan pada banyak like yang Anda dapatkan,” ujar Instagram dalam pernyataan resminya. Bos Instagram, Adam Mosseri, juga berkata, “Tujuannya adalah untuk mengurangi kecemasan, agar pengguna tidak membanding-bandingkan diri mereka dengan orang lain.”

- Meskipun Instagram memiliki tujuan yang mulia dengan penyembunyian jumlah like, banyak selebritas memprotes kebijakan baru itu. Penyanyi Nicki Minaj, misalnya, mengancam akan berhenti mengunggah di Instagram jika fitur itu benar-benar berlaku. Sementara penyanyi Cardi B menilai penyembunyian jumlah like tidak akan mengurangi “racun” atau toxic yang ada di Instagram. Alasannya, berbagai komentar negatif di Instagram lebih berefek terhadap kecemasan pengguna.

- Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa penyembunyian jumlah like akan berdampak terhadap para influencer. Menurut studi yang dilakukan oleh HypeAuditor, dengan uji coba tersebut, jumlah like yang diperoleh para influencer menurun drastis. Di negara-negara yang sudah mencicipi uji coba sejak Juli lalu, yakni Irlandia, Italia, Jepang, Brasil, dan Australia, jumlah like menurun antara 5-15 persen pada unggahan para influencer yang memiliki pengikut sebanyak 5-20 ribu akun.

- Meskipun ada beberapa pihak yang kontra, banyak pula selebritas dan influencer yang mendukung kebijakan itu. Aktris Kim Kardashian, misalnya, sepakat bahwa penyembunyian jumlah like akan bermanfaat bagi kesehatan mental pengguna. Fotografer Indonesia, Putri Anindya, pun setuju dengan kebijakan itu. “Soalnya, dengan (jumlah) likes yang enggak ada, orang-orang akan fokus pada konten tanpa embel-embel engagement,” ujar perempuan yang akrab disapa Puan ini.

WAKTUNYA TRIVIA! 

Berikut beberapa kabar tentang disinformasi dan upaya menangkalnya pekan ini yang mungkin terselip dari perhatian. Kami mengumpulkannya untuk Anda.

- Seorang gadis 17 tahun, Feroza Aziz, mengunggah video di TikTok yang mengkritik kamp konsentrasi di Cina yang ditempati oleh para muslim. Video itu viral. Tak lama kemudian, akun Feroza diblokir oleh TikTok. Pemblokiran itu memicu kemarahan pengguna TikTok lainnya. Mereka menuduh perusahaan Cina pemilik TikTok, ByteDance, berusaha menyensor pandangan politik yang bertentangan dengan Partai Komunis Cina. Namun, TikTok membantah tuduhan itu dengan menyatakan bahwa pemblokiran berkaitan dengan video soal Osama bin Laden yang diunggah Feroza.

- Akun WeChat milik analis keamanan informasi di Texas Children’s Hospital, Bin Xie, ditutup gara-gara pesan yang ditulisnya terkait protes Hong Kong. Sebelumnya, pria Amerika keturunan Cina tersebut menulis di sebuah grup WeChat mengenai dukungannya terhadap kemerdekaan Hong Kong. Kepada The Verge, Xie menyatakan keheranannya atas penutupan akunnya di aplikasi pesan milik perusahaan Cina, Tencent, tersebut. Menurut dia, penutupan akun bisa dimaklumi jika si pemilik tinggal di Cina. Namun, jika si pemilik tinggal di luar Cina, termasuk AS, penutupan itu patut dipertanyakan.

- Pihak berwenang Amerika Serikat menangkap seorang pria yang diduga bagian dari The Chuckling Squad, kelompok hacker yang meretas akun Twitter milik Jack Dorsey, bos Twitter. Selain akun Dorsey, The Chuckling Squad juga meretas berbagai akun milik selebritas, termasuk aktris Chloe Grace Moretz. Kepada Motherboard, salah satu anggota The Chuckling Squad mengatakan bahwa pria yang ditangkap tersebut merupakan mantan anggota mereka. Pria itulah yang menyuplai nomor telepon para selebritas kepada kelompok mereka.

- Kelompok pemantau internet, NetBlocks, melaporkan bahwa jaringan internet di Iran berangsur normal setelah mengalami pembatasan lebih dari sepekan sejak 15 November 2019 lalu. Saat ini, tingkat konektivitas di Iran telah mencapai 64 persen setelah sebelumnya hanya berada di level 5 persen. Meski demikian, internet hanya bisa digunakan melalui wifi. Jaringan internet seluler masih belum pulih. Pembatasan internet dilakukan oleh pemerintah Iran menyusul demonstrasi yang menolak kenaikan harga bahan bakar minyak.

- Gugatan Facebook terhadap firma siber NSO Group berbuntut panjang. Pada akhir Oktober lalu, Facebook menuntut NSO karena perusahaan asal Israel itu menciptakan perangkat lunak mata-mata atau spyware yang memungkinkan klien mereka mencuri data dari ponsel seseorang lewat WhatsApp, aplikasi pesan milik Facebook. Setelah melayangkan gugatan tersebut, Facebook menangguhkan akun Facebook serta Instagram milik beberapa karyawan serta mantan karyawan NSO. Tapi para karyawan serta mantan karyawan NSO tersebut menggugat balik Facebook.

 

PERIKSA FAKTA SEPEKAN INI

Pemberitaan mengenai diangkatnya mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, sebagai Komisaris Utama Pertamina menyita perhatian publik dalam beberapa pekan terakhir. Seiring dengan ramainya pemberitaan tersebut, beredar sebuah video yang diklaim sebagai peristiwa penyegelan ruang kerja Komisaris Utama Pertamina oleh serikat pekerja Pertamina yang menolak Ahok. Sebelumnya, memang tersiar kabar bahwa Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), Arie Gumilar, menolak politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu duduk di jajaran pimpinan Pertamina.

Meskipun ada penolakan dari FSPPB, video penyegelan ruang kerja Komisaris Utama Pertamina tersebut tidak berkaitan dengan penunjukan Ahok. Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, video itu diambil pada 1 Maret 2017. Ketika itu, FSPPB menyegel ruang kerja Komisaris Utama Pertamina Tanri Abeng, Wakil Komisaris Utama Pertamina Arcandra Tahar, serta anggota Dewan Komisaris Pertamina Edwin Hidayat Abdullah untuk menuntut penjelasan mengenai pemberhentian Direktur Utama dan Wakil Direktur Utama Pertamina, Dwi Soetjipto dan Ahmad Bambang, sebulan sebelumnya.

Ikuti kami di media sosial:

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus