Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Newsletter

Terkaan di Tengah Ketidakpastian Ekonomi

Target pertumbuhan ekonomi 8 persen per tahun bakal terganjal banyak persoalan. Tak cukup bersandar pada kebijakan populis.

19 Februari 2025 | 11.50 WIB

Terkaan di Tengah Ketidakpastian Ekonomi
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Setiap kali hendak menerbitkan liputan khusus "Outlook Ekonomi", ada keresahan dari kami, awak desk Ekonomi dan Bisnis Tempo. Di satu sisi, menggarap tulisan outlook atau analisa dan proyeksi atas kondisi ekonomi Indonesia setahun ke depan adalah waktu jeda bagi kami dari liputan-liputan yang beraroma skandal atau masalah. Tapi di sisi lain ada kekhawatiran, jika tulisan semacam ini kurang "menapak" atau kurang memiliki traksi pada pembaca Tempo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Karena itu, agar tetap menarik di mata pembaca Tempo, dalam setiap edisi outlook yang terbit setahun sekali, kami berupaya menyajikan reportase atas sejumlah kondisi terkini yang relevan dengan proyeksi atau analisa atas kondisi ekonomi setahun ke depan. Dengan kata lain, ketimbang hanya menyajikan analisa, data, dan konsensus para analis seperti media-media ekonomi pada umumnya, kami berupaya membumikan hal-hal rumit dan teknis agar lebih "enak dibaca dan perlu". Dengan cara itulah kami berharap pembaca bisa melihat kondisi ekonomi kita dalam setahun ke depan melalui hal-hal yang mengemuka saat ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Tahun ini, edisi outlook ekonomi Tempo menjadi istimewa dan penting. Sebab, inilah tahun pertama Prabowo Subianto menjabat Presiden. Dengan arah kebijakan dan program-program baru, ada tantangan tersendiri saat menganalisa dan membuat proyeksi terhadap apa yang akan terjadi di pertengahan dan akhir tahun. Demikian pula dengan perkiraan atas pencapaian sejumlah indikator, seperti pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Setelah sejumlah kebijakan dan program unggulan Prabowo berjalan seperti makan siang gratis dan swasembada pangan, apakah benar konsumsi bakal bertumbuh dan di saat yang sama: masihkah inflasi terkendali?

Untuk sementara, tak ada jawaban pasti atas pertanyaan di atas. Apalagi pengaruh kondisi ekonomi dunia yang penuh ketidakpastian masih akan terasa. Ancaman perang dagang, lesunya ekonomi Cina, biaya energi yang kian mahal di tengah konflik Timur Tengah, hingga turunnya harga komoditas ekspor unggulan menjadi bayangan kelam ekonomi kita di tahun "Ular Kayu" 2025.

Jika sudah begini, pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen seperti yang dibidik oleh Prabowo, menjadi target yang muskil. Apalagi Prabowo juga banyak bertaruh dalam sejumlah kebijakan. Seperti penghentian ekspor pangan yang bakal memicu kekurangan pasokan dan mengerek inflasi. Atau memaksakan program berbiaya besar seperti makan bergizi gratis di tengah sempitnya ruang fiskal. Jangan lupa, di sisi penerimaan nyaris tak ada harapan setelah Prabowo membatalkan kenaikan pajak pertambahan nilai. Satu-satunya peluang, dan ini akan sulit, adalah menarik tambahan pajak orang kaya atau dari para pengemplang pajak.

Risiko Besar di Sektor Pangan

Dalam Rapat Kerja Nasional Badan Karantina Indonesia di Mercure Convention Centre Ancol, Jakarta Utara, pada Kamis 16 Januari 2025, Menteri Koordinator Pangan Zulkifli Hasan menyatakan penghentian impor beras, gula, garam, dan jagung. Di saat yang sama, bak seorang panglima, Zulhas menyerukan dimulainya swasembada pangan dengan menggenjot produktivitas petani, komoditas, dan lahan pertanian agar kebutuhan konsumsi domestik bisa tercukupi.

Seruan Zulhas, Ketua Umum Partai Amanat Nasional, sejatinya adalah angan-angan lama Prabowo. Setelah kembali dari "pelarian" di Yordania pascaruntuhnya kekuasaan Soeharto, sang mertua dan bos rezim Orde Baru, Prabowo yang berstatus mantan perwira tinggi Angkatan Darat itu kemudian aktif menggalang para petani melalui Himpunan Kerukunan Tani Indonesia. Sejak saat itu hingga dalam beberapa periode kampanye pemilihan presiden yang dia ikuti, Prabowo menyerukan swasembada pangan. Sesuatu yang pernah tercapai di masa pemerintahan Soeharto. 

Ketika berhasil duduk di kursi presiden, swasembada pangan pun masuk dalam top prioritas kebijakan Prabowo. Pada tahun perdana kepemimpinannya, Prabowo menargetkan produksi beras naik dari 30 juta ton menjadi 32,8 juta ton. Dia rupanya becermin pada angka Kerangka Sampel Area Padi Badan Pusat Statistik yang  menunjukkan potensi produksi beras per bulan tahun ini bisa berada pada rentang 2 juta hingga 3 juta ton. Selain mengerek produktivitas lahan eksisting seluas 350 ribi hektare, pemerintah akan mencetak 750 ribu hektare sawah baru. Di sisi lain, pemerintah menaikkan harga beli gabah dari petani. Tujuannya agar petani semakin produktif dan konsumsi rumah tangga di pedesaan bisa terkerek.

Peningkatan produksi pangan tentu program yang baik, meski realisasinya masih menjadi pertanyaan. Akan tetapi keputusan menghentikan impor adalah hal yang gegabah. Jika target produksi tak tercapai, dari mana pasokan bisa diperoleh. Atau bisa jadi kampanye ini adalah gertakan pemerintah agar negara-negara pemasok jeri dan harga komoditas pangan di pasar global turun. Yang jelas, tanpa ketersediaan pasokan yang cukup risiko inflasi pangan bakal semakin kuat. Keterlambatan impor juga jelas punya konsekuensi biaya, dan hanya menguntungkan para pemburu rente. 

Penghiliran Berujung Kerusakan

Kebijakan besar Prabowo lainnya tahun ini adalah memacu penghiliran komoditas. Ada 28 komoditas mulai dari bahan mineral, minyak dan gas, hasil tangkapan ikan, hingga budidaya perkebunan yang akan "dihilirkan" atau diolah di dalam negeri, sebelum diekspor. Tujuannya agar semua nilai tambah bisa terjaring di dalam negeri.

Kebijakan ini mungkin hanya modifikasi dari penghiliran era pemerintahan Joko Widodo. Ketika itu penghiliran hanya pada komoditas nikel, bauksit, minyak sawit, dan batu bara. Jokowi mengklaim penghiliran bisa memberikan nilai tambah minimal tiga kali lipat dan Prabowo ingin mengulangi kesuksesan tersebut. Atau bahkan melampauinya. 

Ketika hendak mengolah 28 komoditas, pemerintah memerlukan investasi sedikitnya Rp 900 triliun. Ini untuk mendirikan kilang, pabrik, dan smelter yang memakan energi serta biaya tinggi. Di satu sisi, jika fasilitas-fasilitas itu dibangun oleh investor asing dan berhasil mendorong penyerapan tenaga kerja domestik, Indonesia akan menikmati aliran modal yang sangat produktif. Target pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen pun tak lagi mustahil. 

Menjadi pertanyaan, apakah penghiliran era Prabowo ini akan mengulang kerusakan yang terjadi di era Jokowi? Penghiliran nikel besar-besaran, yang digadang-gadang menghasilkan produk masa depan seperti baterai listrik, sampai saat ini hanya menyisakan kerusakan. Kerusakan lingkungan akibat eksploitasi tambang terjadi di berbagai wilayah, sementara hasil olahan nikel masih sebatas produk antara. Itu pun cuma untuk membuat baja, bukan baterai. Yang menikmatinya adalah investor asal Cina karena bisa mengirim olahan nikel berharga murah ke pabrik baja di kampung halamannya. Produk hilir berupa baja kemudian dijual kembali Indonesia. 

Penghiliran semacam itu bukan tak mungkin terulang pada era Prabowo. Eksploitasi besar-besaran mineral tembaga, bauksit atau ikan tangkapan seperti tongkol, cakalang, dan tuna segera terjadi. Demikian pula dengan pembukaan lahan sawah dan perkebunan, termasuk dengan membabat kawasan hutan. Siapa yang bakal diuntungkan kali ini? Selamat membaca.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus