NAMA Bimantara makin jadi jaminan saja. Di mana saja ia bergerak, sukses diperoleh. Tak kecuali kali ini. Pekan lalu Istora Senayan tak saja disemarakkan dengan poster Bimantara, tapi juga oleh gema Bimantara World Junior Badminton Invitation (BWJBI) 1. Hasilnya: empat gelar dapat disabet, dan hanya ganda putra yang terlepas. Lebih dari itu, inilah turnamen bulu tangkis yunior dunia pertama yang diakui dan masuk kalender resmi IBF. Maka, tidak sia-sialah kerja Justian Suhandinata dan Titus Kurniadi, yang getol melobi anggota IBF. Tentu bukan soal itu saja yang diandalkan. Sudah empat tahun rintisan turnamen ini diperjuangkan. "Mulanya, ada turnamen Bimantara Jakarta Open I tahun 1983," tutur Justian, Ketua Pengda PBSI DKI Jaya itu. Kecil-kecilan dan hanya diikuti empat negara ASEAN. Tahun berikutnya meningkat jadi 10 negara, termasuk beberapa negara Eropa Barat. Berikutnya lagi menurun jadi 8 negara peserta, karena pemberitahuan yang terlambat. Tapi tahun lalu sempat diikuti 14 negara. Atas sukses itulah turnamen ini dianggap penting. "Inilah turnamen bulu tangkis yunior terbesar di dunia," komentar Roy Ward, Wasit Kehormatan IBF, sambil menambahkan pujian buat Justian dan grup Bimantara. Anggota parlemen Australia dan juga kolomnis sport pada Sun News Victoria yang berumur 63 tahun ini berharap masih akan bisa menghadiri turnamen untuk 4 atau 5 tahun mendatang. "Para pemain yang berpartisipasi di sini mungkin kualitasnya tak kalah dengan yang senior," katanya cerah. Kecerahan juga terlihat pada Wakil Presiden IBF, Emile Termetz. "Saya sangat bahagia melihat kejuaraan yang sekarang ini. Dan saya akan melaporkan ke IBF bahwa segala sesuatunya telah berjalan dengan baik," katanya. Warga Kota Haarlem, Belanda, ini menyebut, misalnya, akomodasi yang memadai. Lain, misalnya, dengan kejuaraan Dunwijk Open di Belanda. "Dunwijk itu hanya sekadar kacang, yang tak patut diperbandingkan dengan kejuaraan kali ini," tuturnya. Turnamen Dunwijk yang diselenggarakan di Haarlem, 25 kilometer dari Amsterdam, memang bisa disebut kejuaraan internasional, walau berskala kecil. Peserta utamanya dari Eropa Barat. Tapi Jepang dan Indonesia tak absen. Di turnamen Dunwijk tahun 1986 lalu, pemain harapan yang bisa menggantikan kedudukan King atau Icuk, Ardy B. Wiranata, 17 tahun, tertahan di tangan Fung Permadi -- pemain dari Djarum Kudus yang kali ini absen karena sudah lewat umur. Ia harus puas dengan hasil runner up. Kini penasaran Ardy, siswa SMA Ragunan Jakarta, itu tertebus. Pada turnamen BWJBI I, yang diikuti 21 negara dengan 85 pemain asing dan 250 pemain dalam negeri ini, Ardy bagai macan terbang. Dengan tinggi 170 cm dan berat 64 kilogram, ia punya permainan komplet. Terkamannya membuat pemain Cina, Jin Feng, terseok di final, dua set 15-10, 15-6. Pada permainan reli-reli panjang yang cantik di semifinal, Ardy juga mengeokkan pemain Cina lainnya, Wu Wenkai. Perjuangan mengenal raket buat Ardy, putra Leo Wiranata -- pengurus PBSI juga -- memang sudah dirintis sejak umur 9 tahun. Ia juga sudah punya pengalaman di Danish Open dan English Master. Gemblengan di Pelatnas Kosambi yang setiap hari rata-rata 6 jam punya andil juga. Pecut inilah yang membuat Ardy juga menjuarai ganda campuran ketika berpasangan dengan Susi Susanti. Mereka menghajar pasangan campuran gemblengan dalam negeri: Lilik Sudarwati/Ricky di final. Patut dicatat lagi adalah ketegaran Susi Susanti. Gadis berusia 17 tahun ini seperti tak punya rasa capek. "Cukup istirahat setengah jam, saya bisa recover untuk siap tempur," kata gadis Tasikmalaya yang kini jadi pelajar SMA Ragunan itu. Sejak kelas III SD ia sudah mengayun raket. "Baru tahun 1985 saya juara POPSI," ujar pemain yang pernah mengalahkan Kirsten Larsen, si juara All England 1986 itu. Pada turnamen BWJBI I ini di samping menggondol gelar juara tunggal putri, Susi juga menjuarai ganda campuran dan ganda putri. Di tunggal putri, keringatnya diperas untuk menghadang perlawanan Lee Jung-Mi dari Korea. Susi, yang pada awalnya agak tersendat, grogi, akhirnya mampu menyudahi permainan Lee dengan 11-6, 8-11, dan 11-6. Lee pun sesenggukan, penuh sesal. Ketika berpasangan dengan Lilik Sudarwati, Susi berhasil memupuskan harapan pasangan Korea, Lee Jung-Mi/Gil Young-A, dengan angka 9-15, 15-6, dan 15-5. "Pemain Korea itu dari peringkat 1 sampai 8 prestasinya merata," komentar Susi tentang lawannya itu. Susi, yang berlatih di bawah bimbingan Minarni dan Liang Chu Xia, memang dipersiapkan dalam tim bayangan Uber Cup mendatang. Bermain di bawah dukungan penonton yang rata-rata 6.000 orang per hari, para pemain Indonesia memang berjaya. Rasanya, turnamen yang berakhir pada Minggu 29 November itu memang diciptakan untuk orang kita. Dengan biaya yang tak kurang dari Rp 225 juta, penonton bisa datang tanpa dipungut bayaran. Panitia cukup mengandalkan sponsor saja. "Kalau tiketnya dijual, uang masuknya tak seberapa, penonton pun akan sedikit," kata Justian. Lagi pula, ia pun tak mau disibukkan dengan tetek bengek jual tiket, cetak karcis, dan sebagainya. Kejuaraan tanpa hadiah uang ini memang semarak. Spanduk Porkas menghiasi pintu masuk. Maklum, Porkas memang salah satu sponsor. Berapa dana yang terkumpulkan dari sponsor? Justian enggan menyebut jumlahnya. Ia lebih menekankan soal manfaat yang bisa dipetik dari turnamen ini. "Anak-anak daerah bisa diikutkan. Kalau diadakan di luar negeri, 'kan belum tentu bisa ikut?" kata Justian, yang juga Direktur PT Bimantara Bayu Nusa -- perusahaan yang bergerak di bidang poer dan energi itu. Diakuinya turnamen ini dalam kalender IBF membuat kalangan perbulutangkisan dunia lega. Sebab, ada komitmen yang tercetus dari grup Bimantara. "Kami sepakat untuk menyelenggarakan kejuaraan ini paling tidak hingga 1991," tutur Justian. Widi Yarmanto dan Bachtiar Abdullah (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini