INSEKTISIDA tradisional telah menjadi kawan karib petani Pasundan sejak jaman baheula. Jauh sebelum revolusi insektisida sintetis berkibar, 1942, petani Priangan telah pintar meracik obat antihama serangga. Mereka memeras daun sirsak untuk mendapatkan larutan antiwalang sangit atau hama sundep. Potongan kulit pohon surian cukup dibenam dalam lumpur sawah untuk mengusir hama beluk yang bersembunyi dalam gulungan kuncup padi. Para petani itu ternyata tak bertindak sembarangan. Pembuktian ilmiah teknologi masa lalu itu dikemukakan oleh Ir. Rukmiati Koesoemadinata Tjokronegoro, dalam sidang promosi doktornya, di Universitas Padjadjaran, Bandung, Senin pekan ini. Predikat cum laude diraih oleh promovendus. Rukmiati, 41 tahun, setelah meneliti sekitar lima tahun, berhasil mendapatkan bahan aktif insektisida dari daun sirsak. "Ini penemuan baru yang benar-benar orisinil," ujar Prof. Dr. Sasongko S. Adisewoyo, guru besar Kimia Analitik Unpad, pembimbing Rukmiati. Penemuan Rukmi itu, Agustus silam, dipatenkan di Jepang. Beberapa sifat fisik dan kimia senyawa baru itu telah dikenali oleh dosen Unpad ini. Berat molekul, misalnya, telah diyakini sebesar 546 gram. Rumus kimianya C35H62O4. "Tapi struktur molekulnya saya belum tahu pasti," ujar Rukmiati. Lantaran struktur molekul itu masih belum terungkap tuntas, penamaan ilmiah belum dimungkinkan. Sejak 1981, Rukmiati menjajaki 93 jenis tumbuhan tropis yang dikenal antiserangga. Ekstrak -- kumpulan senyawa aktif yang telah dipisahkan dari material lain -- dicoba dikenakan pada ulat sutera, serangga yang dijadikan standar pengujian insektisida. Rukmiati menemukan efek ensektisidal itu pada 18 jenis. Ia memilih empat jenis: sirsak (Annona muricata, Linn.), surian (Toona sureni, Merr.), jintan (Cuminum cyminum, Linn.), dan daringo (Acorus calamus, Linn). Dari daun sirsak, Rukmi berhasil mengisolasi dua senyawa aktif. Tiga bioaktif lain ditemukan dari kulit batang surian, dan satu jenis lain diisolasi dari daunnya. Sayang, dari lima jenis senyawa -- dari sirsak dan surian ini -- baru satu yang bisa diidentifikasi. Upaya menelusuri sebuah senyawa memang bukan pekerjaan ringan. Serangkaian analisa kimia yang rumit harus dilakukan. Untuk mendapatkan senyawa aktif dari daun sirsak itu, misalnya, sederet prosedur ekstraksi dan kromatografi harus dilalui. Pada proses ekstraksi itu, daun sirsak yang telah digiling halus dilarutkan pada pelbagai larutan. Perlakuan ini bertujuan memisahkan bahan-bahan bioaktif itu. Perlakuan berikutnya adalah membentuk fraksi-fraksi. Beragam jenis bahan aktif itu dipisahkan menjadi lima fraksi yang berbeda kelarutannya, lalu diuji coba daya bunuhnya dengan mencampurkannya pada tepung yang diumpankan pada ulat sutera. Yang menimbulkan kematian tinggi berarti mengandung senyawa aktif. Bioaktif dipisahkan dari senyawa lain dengan cara kromatografi, cara pemisahan berdasarkan perbedaan derajat kelarutan pada suatu media. Setelah melalui lima macam tindakan kromatografi, Rukmi berhasil menemukan dua senyawa aktif. Proses identifikasi kemudian diteruskan dari laboratorium Unpad ke Jepang. Soalnya, gambaran tentang struktur molekul, misalnya, harus ditelusuri dengan peralatan canggih yang tak dimiliki Unpad. Senyawa alkena penemuan Rukmiati itu terbukti cukup ampuh. Dalam dosis 0,35% pada makanan ulat sutera, alkena ini bisa menyebabkan kematian 100 persen, dan pada dosis 0,175% menimbulkan mortalitas 80%. Kapan penemuan itu siap diterjunkan ke sawah atau ke rumah-rumah? "Wah masih perlu berpuluh-puluh tahap lagi untuk ke sana," kata Rukmiati merendah. Laporan Ida Farida (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini