PERANG melawan gulma (tumbuhan pengganggu) tampaknya telah maju setapak lagi. Ini jika penemuan Supriyatna Sutardjo yang dua pekan lalu memberikan gelar doktor cum laude di Universitas Padjadjaran, Bandung, kepadanya memang terbukti bisa diterapkan dan dimanfaatkan. Supriyatna, dalam disertasinya, menyebut adanya tiga senyawa bioaktif pengatur pertumbuhan asam linoleat, kumarin, dan flavonoid, pada daun ki hujan -- yang dikenal sebagai pohon peneduh. Pada pengujian hayati, ketiga senyawa itu terbukti bisa menghambat pembentukan gliberalin (GA), hormon perangsang pertumbuhan yang tersintesa pada kebanyakan biji-bijian, tunas, atau pucuk batang. Karya ilmiah Supriyatna ini agaknya patut dicatat karena, kabarnya, baru kali inilah orang awak berhasil mengisolasi bahan pengatur pertumbuhan dari flora asli Indonesia. Penemuan Supriyatna itu adalah buah yang dipetik dari penelusuran ilmiah selama tiga tahun. Pada tahap pertama, dosen Jurusan Farmasi, Unpad, ini mengumpulkan 154 macam spesimen yang diambil dari 110 jenis tumbuhan tropis Indonesia. Semua sampel diekstraksikan, dan masing-masing dibagi menjadi beberapa fraksi: antara lain fraksi yang mengandung senyawa dari kerabat benzoat, asam sinamat atau fenol. Semua fraksi diuji kemampuannya. Dari pengujian hayati, yakni penelitian efeknya terhadap perkecambahan benih padi, diperoleh bukti bahwa hanya fraksi-fraksi dari daun ki hujan (Samanae saman) yang mengandung bahan bioaktif penghambat pertumbuhan. Kemudian bahan aktif itu diungkit. Setelah spesimen itu diteliti di Jepang segala, ditemukan sosok senyawa aktif itu sebagai asam linoat, kumarin, dan flavoid. Serangkaian uji hayati pun dilakukan secara berulang. Supriyatna, dalam penelitian itu, menekankan penelitian atas kumarin dan asam linoleat. Penelitian pengaruh bioaktif itu terhadap sintesis GA dilakukan dengan sistim bebas sel, teknik yang dikembangkan ahli-ahli Amerika yang kini sedang trendy di Korea dan jepang. Teknik itu tak menggunakan sel-sel utuh sebagai obyek penelitian, tapi dengan sel-sel yang dinding luarnya telah hancur. Supriyatna menggunakan sel-sel dari biji labu (Cucurbita maxima), sebagai obyek pengujian. Sel-sel yang kehilangan dinding itu ditampung pada sebuah tabung rekayasa, yang berisi media penumbuh. Isi media itu, antara lain, bahan-bahan nutrisi: glukosa, mineral, juga beberapa protein. Dalam media itu, sel-sel biji labu kendatipun telah kehilangan dindingnya tetap menyelenggarakan kegiatan blologis sebagaimana biasa. Maka, kegiatan sintesa GA pun bisa dipantau. Bahan-bahan aktif itu, pada penelitian Supriyatna, dimasukkan ke dalam sistim bebas sel. Ternyata, pembentukan GA dalam larutan hidup itu semuanya terhambat. Pada tempat lain, larutan bioaktif itu diteteskan pada cawan yang berisi benih padi. Kali ini memberikan hasil yang berbeda. Kumarin memberikan hambatan secara nyata, sedangkan linoleat tidak. Berikutnya, zat pengatur pertumbuhan itu dicobakan pada tanaman padi yang ditanam pada pot-pot dalam rumah kaca. Kali ini pun, kumarin menunjukkan kelebihannya dibanding asam linoleat. Pada konsentrasi larutan 0,1-0,2%, kumarin mampu menghambat pertumbuhan batang dan daun padi. Pengaruh yang sama tak ditunjukkan oleh linoleat. Penelitian Supriyatna memang masih terlalu dini untuk digunakan sebagai rekomendasi praktek budidaya pertanian, misalnya. "Untuk penerapannya, masih perlu kerja sama dengan disiplin lain, dengan ahli pertanian umpamanya," kata dosen Unpad ini. Namun, penemuan itu punya prospek bagus untuk keperluan herbisida -- bahan antigulma misalnya. Yang diharapkan dari sebuah herbisida: efektif terhadap tumbuhan pengganggu, seperti rumput atau alang-alang, tapi tak mengusik tanaman budidaya. Memang, bahan temuan Supriyatna masih perlu diuji lebih jauh, kapan efektif dan kapan tidak. Namun, sebagai bahan alamiah, senyawa kumarin atau linoleat tak akan banyak menimbulkan persoalan bagi lingkungan. Bahan-bahan itu mudah diurai dan didaurulangkan. Kegunaan bahan penghambat pertumbuhan tentu tak terbatas untuk herbisida. "Bisa juga untuk membuat bonsai," ujar Dr.Ir. Giat Suryatmana, ahli ilmu faal benih dan pascapanen Fakultas Pascasarjana Unpad. Kerepotan dalam mengatur nutrisi tanaman kerdil itu, akan terbantu dengan penggunaan zat penghambat tumbuh itu. Kemungkinan lain, kata Dr. Giat, adalah penggunaan bahan itu untuk penyimpanan dan pengangkutan benih. Pengangkutan benih padi atau kacang-kacangan kadangkala makan waktu panjang. Dengan pemakaian bioaktif itu, "Benih tak keburu tumbuh di jalan," ujarnya. Laporan Jenny Ratna Suminar (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini