Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Impian di Genggam Pinto

Dipandang sebelah mata, Kosta Rika melaju ke babak kedua dengan mengempaskan tiga mantan juara dunia. Berkat tuah tangan dingin sang Profesor.

30 Juni 2014 | 00.00 WIB

Impian di Genggam Pinto
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Kurang dari setahun lalu, siapakah yang langsung paham jika disebut nama Jorge Luis Pinto? Namanya memang belum sekondang pelatih-pelatih sepak bola lain. Barangkali warga dunia juga tak ada yang peduli ketika lelaki 61 tahun ini sesenggukan saat diwawancarai stasiun radio Kosta Rika, September tahun lalu. "Saya telah bekerja sangat keras selama hidup saya untuk membawa sebuah tim bisa lolos ke Piala Dunia," katanya terbata. Lalu terdengar sedu-sedan harunya.

Pinto saat itu memang baru saja membawa tim asuhannya, Kosta Rika, melaju ke putaran final Piala Dunia Brasil 2014. Tapi kini jagat sepak bola dunia mesti menaruh hormat kepadanya. Tim Los Ticos-julukan Kosta Rika-tak sekadar berpartisipasi di sana. Mereka bahkan mampu lolos ke babak kedua dengan mempecundangi tiga raksasa sepak bola di Grup D: Uruguay, Italia, dan Inggris.

Uruguay dihantam dengan skor mencengangkan: 3-1. Italia dipaksa ke luar lapangan dengan kepala tertunduk, ditekuk 1-0. Terakhir mereka menahan Inggris seri tanpa gol. Walhasil, Kosta Rika-negara kecil di Amerika Tengah yang berpenduduk kurang dari 4 juta dan hanya menghuni tangga ke-28 peringkat FIFA-sukses menjuarai grup. Uruguay jadi runner-up. Sedangkan Inggris dan Italia silakan pulang kampung duluan.

Mempermalukan tiga negara yang pernah mengangkat trofi Piala Dunia bukan pekerjaan semalam bagi Pinto. Ini adalah kisah tentang pengorbanan waktu dan tenaga selama bertahun-tahun, pengorbanan untuk membangun sebuah tim yang nggegirisi. Pinto punya cara sederhana menggambarkan penampilan garang anak asuhannya. "Ini karena Kosta Rika berlari, berlari, dan berlari," kata pria asal Kolombia itu.

Pinto mulai menangani tim ini pada 2011, saat Ricardo La Volpe gagal membawa Los Ticos berbicara di Copa America. Yang pertama kali dilakukan Pinto adalah merombak total anggota pasukan warisan La Volpe. Dia hanya mempertahankan beberapa pemain, di antaranya Oscar Duarte dan Joel Campbell. Ia lalu memasang teropong mengamati banyak pesepak bola yang cocok dengan filosofi sepak bolanya.

"Saya sangat mengagumi Italia," ujar Pinto kepada Reuters, Januari lalu. Menurut dia, Italia adalah tim yang kompak dan efisien. Tentu saja ia juga terkesima oleh ketatnya lini pertahanan Italia yang kondang itu. "Mereka tidak banyak menyerang, tapi mendapatkan hasil akhir baik," katanya. Pinto memang terkesima oleh cara bermain yang mengandalkan kecepatan serangan balik.

Bagi dia, salah satu kunci sukses menjalankan filosofi itu adalah fisik pemain harus kuat. Pemain dituntut mampu menyerang dengan cepat ketika serangan lawan bisa dimentahkan. Di timnya, Pinto mengandalkan penyerang cepat semacam Joel Campbell.

Dan, menurut kolumnis ESPN, Gabriele Marcotti, yang membedakan Pinto dengan pelatih lain dalam cara bermain counter attack adalah penggunaan pemain sayap yang cepat. Ia punya Bryan Ruiz dan Christian Bolanos. Kedua pemain itu bertugas menekan bek lawan dan masuk ke sisi dalam membantu penyerangan. "Tanpa latihan berat, fisik mereka tak mungkin siap menjalankan tugas ini," ucap Pinto.

Latihan fisik ala Pinto memang tak kenal ampun. Pada salah satu sesi latihan sebelum melawan Italia, sang Profesor-julukan Pinto-menggembleng anak didiknya selama tiga jam. Hasilnya, Italia takluk!

Jadi, ya, rencana Pinto sejauh ini berjalan mulus. Kosta Rika memiliki pertahanan yang seimbang. "Juga sangat efisien," ucapnya. Pinto mengklaim keterampilan utama Kosta Rika adalah pada pertahanan. "Tentu itu tidak hanya (bergantung pada) empat-lima bek, tapi juga seluruh tim."

Di samping kekuatan fisik, ketahanan mental menjadi kekuatan tim. Ini terlihat, misalnya, saat mereka ketinggalan 0-1 dalam laga melawan Uruguay. Saat itu tim tetap kompak dan bersemangat. "Saat berada di ruang ganti, kami semua tenang. Tidak ada yang saling menyalahkan," tutur Joel Campbell.

Yang mereka pikirkan saat itu hanya satu: bagaimana cara membalikkan keadaan. "Apa pun caranya," kata Campbell. Mereka ngotot, dan penggila bola menjadi saksi: akhirnya Uruguay menyerah 3-1. Dalam konferensi pers seusai pertandingan, Pinto mengatakan sikap kalemlah yang membuat timnya menang. "Reaksi anak-anak saat tertinggal adalah tepat. Mereka tetap tenang."

Di luar lapangan, Pinto beruntung karena mendapat dukungan penuh Federasi Sepak Bola Kosta Rika. "Mereka melakukan segala sesuatu dengan baik," ujarnya. Pinto menunjuk dimanfaatkannya pendekatan ilmiah dalam pembinaan. Misalnya pemanfaatan berbagai penelitian, mendalami indeks lemak, dan aerobik.

l l l

TAK seperti kebanyakan pelatih lain, pada masa mudanya Pinto bukanlah atlet sepak bola. Ia bergelut dengan bal-balan sejak lulus sarjana pendidikan olahraga dari Universidad Pedagogica, Bogota, Kolombia, 1971. Saat itu ia mendekati Gabriel Ochoa Uribe, mantan pemain, yang tengah menangani klub Kolombia, Millonarios. Pinto menawarkan diri sebagai pelatih fisik.

Ochoa setuju meskipun sebenarnya sudah didampingi pelatih fisik. "Tapi saya tertarik pada asisten berlatar belakang akademis," kata Ochoa di laman online harian Spanyol, El Pais, Senin pekan lalu. Latar belakang akademis itu pulalah yang kelak membuat Pinto dijuluki Profesor oleh anak asuhnya di tim nasional Kosta Rika.

Pinto membantu Ochoa selama setahun. Millonarios pun menjadi juara liga. Pada 1972, ia berangkat ke Brasil mendalami ilmu sepak bola. Di sana nasib mempertemukannya dengan Carlos Alberto Parreira, pelatih yang membawa Brasil menjadi juara dunia 1994.

Tampaknya kedekatan dengan Parreira-lah yang mempengaruhi filosofi sepak bola Pinto. Terutama soal pentingnya kekuatan fisik itu. Setelah tiga tahun berguru,

Pinto terbang ke Jerman untuk nyantri kepelatihan sepak bola di Deutsche Sportochschule, Cologne. Di sini dia juga menyerap ilmu selama tiga tahun.

Kembali ke Kolombia, Pinto bekerja sebagai anggota staf pelatih di klub Union Magdalena. Ia makin giat belajar dan membangun jaringan. Pada 1984, Pinto dipercaya membesut Millonarios. Setelah itu, ia berkelana sebagai manajer tim sepak bola selama 30 tahun belakangan. Hasilnya adalah tujuh gelar juara di liga utama Argentina, Peru, Venezuela, Kolombia, dan Kosta Rika.

Ochoa tak heran dengan pencapaian Pinto di Piala Dunia ini. Menurut dia, Pinto tidak akan mengambil langkah tanpa struktur taktis. "Dia seseorang yang merencanakan segalanya dan suka belajar," kata Ochoa.

Belajar tampaknya memang salah satu kunci sukses sang Profesor. Selama Piala Dunia ini, Pinto lebih suka mengurung diri di kamar hotel bersama anggota staf pelatih. Berjam-jam mereka menganalisis video pertandingan dan melakukan evaluasi.

Tapi Pinto bukan tipe profesor pendiam. Ia bisa garang kalau merasa diperlakukan tidak adil. Ini ia tunjukkan ketika FIFA meminta tujuh pemain Kosta Rika melakukan tes doping seusai pertandingan melawan Italia. Biasanya tes hanya dilakukan terhadap dua orang. Dia berang karena FIFA seperti tak percaya tim gurem seperti mereka bisa tampil perkasa.

Komentar Pinto sangat sarkas atas kejanggalan itu. Sekalian dia mempersilakan FIFA melakukan tes doping terhadap semua pemainnya. Kalau perlu, "Termasuk saya!"

Toh, ia paham akan rasa ingin tahu orang ihwal bagaimana timnya bisa berlari begitu kuat. Pinto menjawab pendek, "Itu karena kami pemain Kosta Rika!"

Gadi Makitan (The Guardian, ESPN)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus