Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semua penduduk lokal ini ingin berkulit putih. Seandainya mereka bisa menjadi bangsa berkulit putih dengan cara memotong kelingking mereka, pastilah seluruh Indies akan penuh dengan orang-orang tanpa kelingking....
Demikian tulis Willem Walraven, tentara Belanda yang ditempatkan di Indonesia pada masa kolonial-yang oleh Belanda disebut Hindia Belanda. Dia menikah dengan gadis Indonesia bernama Itih dan mempunyai sembilan anak. Belakangan, Walraven menjadi administrator perkebunan gula, lantas ia lebih dikenal sebagai seorang wartawan. Kutipan di atas adalah salah satu suratnya yang ditulis untuk keponakannya di Belanda.
Surat ini adalah bagian dari puluhan surat yang dibacakan aktor Belanda dalam pameran video instalasi "Sluimerend Vuur atau Looming Fire: Stories from the Dutch Indies", pameran karya sineas Hungaria, Péter Forgács, yang menggunakan puluhan arsip film amatir dan ratusan surat penduduk Hindia Belanda dari 1900 hingga 1945. Pameran ini adalah salah satu acara utama Festival Tong Tong yang diselenggarakan di Den Haag pada Juni ini. Setahun lalu, pameran ini disajikan di Eye Filmmuseum di Amsterdam selama dua bulan dan mendapat tanggapan positif. Itulah sebabnya Direktur Festival Tong Tong Fair Siem Boon dan Ellen Derksen menganggap penting untuk memperlihatkan kepada masyarakat Belanda perihal sebagian hidup keseharian di Indonesia masa kolonial.
Dalam Festival Tong Tong, festival seni tahunan di Den Haag yang terdiri atas berbagai acara kesenian yang diadakan penduduk Indo-Belanda, pameran Looming Fire yang digelar di kawasan festival di Malieveld itu menempati ruangan yang sangat besar hampir tanpa penerangan. Ada 12 layar putih yang ditancapkan yang terus-menerus menayangkan puluhan film amatiran buatan berbagai keluarga Belanda yang berkisah tentang keseharian keluarga Belanda, keluarga campuran Indo-Belanda, pembantu, sopir, kawan-kawan, keluarga, dan bahkan hubungan Keraton Yogya dengan pejabat Belanda.
Pengunjung bisa duduk tepat di muka setiap layar untuk menyaksikan footage setiap home-video yang tentu masih berwarna hitam-putih tapi terpelihara dengan baik itu. Setiap film rata-rata berdurasi tiga-lima menit, diiringi narasi berbagai surat pribadi. Surat-surat itu, seperti yang dikutip di atas, sebetulnya tak ada hubungannya dengan film yang ditayangkan.
Tapi, seperti dikatakan Péter Forgács, sebagai kurator dan tim periset semua mencoba menyeleksi surat dan footage film itu dan mencocokkan menurut periodenya. Hasilnya, dari layar ke layar, kita seolah-olah menyaksikan serangkaian sisi keseharian orang-orang Belanda dan keluarganya, bagaimana cara mereka berpikir, bagaimana mereka berinteraksi dengan penduduk pribumi, dan bagaimana mereka melihat Indonesia.
"Tujuan utama kami memang memberi kesan bagaimana kehidupan sehari-hari orang Eropa di Hindia Belanda," kata Forgács kepada Tempo.
Karena itu, yang kita saksikan bukan sebuah drama panjang tiga babak dengan perkenalan tokoh, klimaks, dan akhir cerita. Yang kita saksikan adalah montase dari berbagai sosok pada zaman itu yang belum tentu mewakili kehidupan masyarakat secara umum. Misalnya, hampir semua orang pribumi dalam film-film tersebut adalah petani atau pembantu yang pada zaman itu masih disebut baboe. Karena itu, footage tentang Sultan Hamengku Buwono IX di masa remaja menjadi potongan film yang menonjol dan paling bersejarah. Film bisu itu milik keluarga Stern, dokter gigi yang melayani Sultan Yogya dan keluarganya. Film itu memperlihatkan interaksi Hamengku Buwono IX dengan keluarga dokter Stern dan hubungan mereka yang dekat. Di situ terlihat bagaimana mereka saling mengunjungi dan bercengkerama.
Tentu saja karena film tentang keluarga keraton, ini tak bisa dianggap sebagai wakil atau gambaran sosiologis umum pada masa itu. Dalam footage lain terlihat bahwa kaum pribumi jelas "ras" yang dianggap lebih inferior seperti juga yang terpancar dari surat-surat yang dibacakan narator untuk mengiringi setiap film.
Dalam sebuah film yang menggambarkan suasana kantor pabrik gula, semua atasan adalah orang Belanda dengan jas dan celana putih yang necis; staf dan klerek juga orang Belanda, sedangkan kaum pribumi adalah mereka yang bekerja di ladang. Footage antara tuan Belanda dan buruh pribumi diletakkan dalam satu layar besar splitscreen sehingga penonton akan menyaksikan kontras yang tak bisa tidak akan melahirkan emosi.
Karena potongan film yang ditayangkan itu bisu, pembacaan surat yang mengiringinya memang menjadikan seluruh karya video instalasi ini seperti sebuah dunia masa lalu yang terdiri atas begitu banyak laci kecil yang berisi potongan cerita yang berserakan. Potongan cerita itu tak lengkap sehingga pengunjung kemudian mengembangkan imajinasinya sendiri.
Misalnya ada surat-surat dari keluarga Kuyk yang menetap di Hindia Belanda sejak 1924 hingga 1930, yang memperlihatkan cara berpikir keluarga Belanda saat itu. Tuan Kuyk bekerja untuk radio Holland, radio yang pertama kali berhasil menghubungkan komunikasi antarpulau. Surat dari Nyonya Rien Kuyk itu berbunyi seperti ini:
Ada banyak artikel panjang tentang Jan Pieterszoon Coen di beberapa harian. Betapa dia seorang yang serba bisa dan berbakat. Tapi artikel itu menyebabkan keguncangan di antara kaum pribumi yang sama sekali tak ingin mengakui kebesarannya....
Pada kesempatan lain, Rien Kuyk mendeskripsikan dalam suratnya sebuah pemandangan yang tak terbayangkan di masa kini:
Minggu pagi kami membawa anak-anak ke Zanvoort di Priok, yang dulu disebut Petit Trouville... angin laut berembus pada pukul setengah sebelas, artinya udara tak terlalu panas. Ada banyak pengunjung di sana: sebuah keluarga Cina yang tambun dengan begitu banyak anak dan banyak makanan; kelompok Eropa dengan anak-anaknya yang berenang-renang dengan mengenakan baju renang yang ganjil, dan beberapa orang Yahudi....
Surat-surat semacam ini membangkitkan imajinasi kita tentang kegiatan keluarga pada masa itu. Ada beberapa footage keluarga yang tampil di layar, keluarga pernikahan campur antara perempuan Belanda dan lelaki Tionghoa-Indonesia; ada juga film keluarga yang sekadar saling kunjung.
Pameran instalasi yang disambut oleh pengunjung Den Haag ini adalah sebuah proyek besar yang melibatkan koleksi film milik EYE di Amsterdam dan Sound and Vision di Hilversum, Belanda. "Sebagian dari film itu juga ada yang milik pribadi beberapa orang. Sedangkan surat-surat itu diseleksi dari koleksi KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal- Land-en Volkenkunde) oleh Evelyn Buchheim," kata Péter Forgács.
Tujuan Festival Tong Tong mengadakan pameran ini di Den Haag, menurut Direktur Festival Siems Boon, adalah "mendorong masyarakat Indo Belanda dan seluruh masyarakat Belanda untuk bisa memandang lebih kritis terhadap sejarah kolonial dan kepada diri sendiri". Siems menekankan, "Kami ingin melihat perbedaan reaksi setiap orang yang menyaksikan."
Reaksi pengunjung, karena kita sudah memasuki era yang sangat jauh berbeda, tentu saja terkejut mendengar surat-surat yang dibacakan. Sementara potongan film itu seperti membawa kita pada masa lalu yang jauh dan asing, Yogya yang masih bersih dan sepi atau rumah-rumah kolonial di Batavia yang masih memiliki teras adem dengan anak-anak Belanda yang berlari-lari, surat-surat yang dibacakan menyadarkan bahwa perbedaan ras masih sangat penting sebagai garis demarkasi.
"Saya juga syok membaca beberapa surat itu ketika menyeleksi," kata Evelyn Buchcheim kepada Tempo. "Ini sebuah dunia masa lalu."
Namun, seperti diutarakan Péter Forgács, "Tentu tak ada lagi yang akan menggunakan kalimat semacam itu saat ini. Tapi harus diingat, di masa kolonial, cara berpikir seperti mereka dianggap normal. Bukan hanya di Hindia Belanda, melainkan juga di seluruh daerah koloni yang lain."
Karena itu, sangat menarik pertanyaan yang diajukan peneliti KITLV, Fridus Steijlen, kepada saya: "Apakah karya Péter Forgács ini bisa dianggap sebagai dokumen sejarah?"
Pertanyaan itu sama saja jika ada yang bertanya apakah sebuah novel sejarah atau film sejarah bisa dianggap sebagai dokumen sejarah. Pada akhirnya, pameran Looming Fire adalah sebuah karya seni video instalasi, bukan dokumen fakta keras. Tapi, di sana, di ruangan itu, kita menyaksikan kelebatan bayang-bayang 60 tahun lalu, bagaimana nenek moyang kita mencoba bertahan, entah bagaimana caranya. Tak jarang, karya seni jauh lebih banyak berbicara sebagai bagian dari narasi sejarah.
Leila S. Chudori (Den Haag, Belanda)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo