Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cahaya dari Timur: Beta Maluku
Genre: Drama
Sutradara: Angga Dwimas Sasongko
Skenario: Swastika Nohara dan Iran Ramli
Pemain: Chicco Jerikho, JFlow, Shafira Umm, Jajang C. Noer, Abdurrahman Arif, Ridho Hafiedz, Aufa Assagaf, Bebeto Leutually, Burhannudin Ohorella, Randy A. Asri
Produser: Glenn Fredly, Angga Dwimas Sasongko, Andi Bachtiar
"Karena beta Maluku! Bukan Tulehu, bukan Paso. Bukan Islam, bukan Kristen."
Kata-kata itu meluncur dari mulut Sani Tawainella, lelaki asal Tulehu, desa di pinggir laut, sekitar 25 kilometer dari Kota Ambon, Maluku. Lelaki berbadan tegap berkulit legam itu mencoba menularkan semangat perdamaian kepada anak-anak di kampungnya yang sempat porak-poranda dihajar konflik antaragama. Sani, bekas pemain sepak bola yang menghidupi keluarganya dengan menjadi tukang ojek, mencoba menyelamatkan anak-anak dari kerusuhan dengan melatih mereka bermain sepak bola.
Sani bukan tokoh fiktif. Sutradara Angga Dwimas Sasongko pernah berjumpa dengannya pada 2007 ketika tengah membuat film di Ambon. "Sani menemani saya muter-muter Tulehu," ujar Angga. Tukang ojek yang sempat masuk pelatihan nasional ini banyak bercerita tentang pengalamannya di tengah konflik berdarah yang terjadi pada 1999-2000. Cerita itu kemudian oleh Angga, dibantu penulis skenario Swastika Nohara dan Irfan Ramli, diolah dan divisualisasikan ke dalam film berjudul Cahaya dari Timur: Beta Maluku.
Mengangkat kisah nyata ke layar lebar jelas bukan sesuatu yang istimewa. Entah sudah berapa judul film yang dihasilkan para sineas, termasuk sineas Tanah Air, berseliweran di layar lebar. Kisah inspiratif berlatar olahraga, terutama sepak bola, dengan formula from zero to hero juga bukan hal baru. Sebut saja Garuda di Dadaku (2009), Tendangan dari Langit (2011), dan Hari Ini Pasti Menang (2013). Namun Beta Maluku mampu menawarkan sesuatu yang baru.
Angga membuka filmnya dengan suguhan pemandangan indah Tuhelu dengan pantai pasir putih dan pelabuhan yang indah. Dari sini, penonton kemudian diajak mengenal Sani Tawainella (Chicco Jerikho). Sani sempat menjadi pemain tim nasional U-15 di Piala Pelajar Asia yang diadakan di Brunei Darussalam. Ia gagal menjadi pemain profesional. Bersama istrinya, Haspa (Shafira Umm), Sani pun memilih pulang dan bertahan hidup sebagai tukang ojek.
Pada menit-menit awal, film ini mengalir agak lamban dan membosankan. Setelah sedikit terseok-seok di awal, Angga akhirnya berhasil mengawal filmnya dengan mulus. Beta Maluku menjadi tontonan yang penuh pergulatan emosi. Di layar, kita menyaksikan bagaimana Tuhelu yang indah jadi begitu mencekam. Saling serang di antara mereka yang berlainan agama, pembakaran di mana-mana, tembakan, ledakan, penjarahan, dan anak-anak kecil yang berlari ketakutan. Untuk bagian ini, rasanya Angga berhasil menyadarkan betapa mengerikannya kerusuhan yang pernah terjadi di negeri ini.
Tapi Angga, yang sebelumnya menggarap film Hari untuk Amanda (2010), tak ingin penonton larut dalam kenangan pahit itu. Fokus dari cerita film ini: pertemanan, sepak bola, dan urusan rumah tangga. Melalui sepak bola, Sani membebaskan anak-anak dari pusaran konflik dan tekanan pasca-kerusuhan. Bersama rekannya yang mantan pemain sepak bola profesional yang pulang kampung karena cedera, ia mendirikan sekolah sepak bola. Sekolah ini menghasilkan pemain muda berbakat. Toh, keputusan Sani membaurkan anak-anak yang berbeda agama dalam satu tim menimbulkan risiko. Rekonsiliasi terus dilakukan saat itu. Namun tidak serta-merta luka batin anak-anak itu sepenuhnya sembuh.
Menyaksikan film ini mungkin mengingatkan kita pada film Laskar Pelangi. Tak hanya "mengeksploitasi" habis-habisan keindahan alam Maluku, film ini juga menghadirkan kultur budaya Ambon dengan logat dan dialek setempat. Glenn Fredly, yang ikut memproduseri film ini, menggandeng musikus-musikus Maluku menggarap latar musik dan membuat film ini benar-benar bercita rasa Indonesia timur.
Tapi yang tak kalah penting tentu saja jajaran pemain. Terutama Chicco Jerikho, yang benar-benar tampil di luar dugaan. Sosok Chicco, yang biasa kita saksikan di sinetron remaja atau film televisi, mampu meniupkan roh pada karakter Sani. Begitu juga jajaran pemain anak-anak yang warga asli Maluku. Meskipun tak lepas dari kekurangan-termasuk konflik yang bertumpuk dan beberapa adegan yang dibuat kelewat dramatis-film ini cukup mencuri perhatian.
Nunuy Nurhayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo