Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah panggung terbuat dari tumpukan kursi dan meja menggambarkan sebuah ruang kelas. Dua orang tampak duduk berdampingan. Gerak tubuh mereka menciptakan suasana gelisah, tegang, seperti tengah menunggu sesuatu. Dialog yang singkat dan terkesan tidak penting sesekali memecah keheningan. "Kamu kentut, ya?" kata salah seorang, yang langsung dibantah temannya.
Percakapan yang sama berulang beberapa kali seakan-akan menjadi pengisi waktu bagi mereka dalam sebuah penantian. Beberapa saat kemudian, lima orang muncul dari balik meja. Mereka juga tengah dilanda kebosanan karena penantian panjang. Untuk membunuh waktu, mereka bermain lompat tali.
Itulah salah satu pertunjukan menafsirkan naskah Menunggu Godot karya Samuel Beckett dalam Mimbar Teater Indonesia #IV di Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta, Jumat malam dua pekan lalu. Dalam perhelatan itu, tampil sejumlah kelompok seni dalam bentuk beragam, dari pertunjukan teater hingga pantomim-seperti yang ditampilkan Sena Didi Mime.
Sepanjang pertunjukan selama sekitar 90 menit tersebut, para pemain Sena Didi Mime berkutat dalam dialog singkat yang berulang serta permainan-permainan konyol. Keterkaitan Ruang Kelas dan Menunggu Godot diperlihatkan melalui masuknya seorang anak kecil ke panggung. Melalui logat khas dari Indonesia timur, anak itu mengatakan, "Godot tidak jadi datang."
Sutradara pertunjukan, Yayu Unru, mengatakan, dalam karya Ruang Kelas itu, Godot bisa menjadi apa saja. "Banyak momen penantian yang bisa terjadi dalam ruang kelas," ujarnya seusai pertunjukan. Penantian atas kedatangan guru, kerinduan pada jam kosong, hingga menunggu hasil ujian bisa menjadi Godot dalam momen yang terjadi di dalam ruang kelas.
Yayu hanya perlu waktu sekitar dua bulan untuk mempersiapkan pertunjukannya itu. Di luar negeri, proses adaptasi naskah drama klasik ke panggung pantomim, menurut dia, menjadi hal yang sudah lazim. Salah satu hal yang mempermudah, dia tidak perlu memasukkan karakter bagi para pemain pantomimnya.
Akan halnya kelompok Studio Taksu dari Solo mementaskan karya Setiap Pukul Enam. Dalam pertunjukan pada Ahad malam dua pekan lalu itu, tak ada tokoh Vladimir, Estragon, Pozzo, Lucky, dan Boy seperti dalam naskah Menunggu Godot. Sutradara Jarot Budi Darsono menggantinya melalui pemain yang mengenakan kostum berupa seragam sekolah, pegawai negeri, eksekutif muda, hingga perawat.
Selama pertunjukan sekitar 30 menit, para pemain lebih banyak duduk terdiam di kursi yang ditata tidak beraturan. Sesekali mereka bergerak serempak seperti robot bertukar tempat duduk. Ekspresi yang ditunjukkan menyiratkan semacam keputusasaan dalam sebuah penantian yang panjang.
Ketua panitia Mimbar Teater Indonesia #IV, Hanindawan, mengatakan. "Kami mencoba menyuguhkan naskah ini dalam bentuk yang berbeda, seperti pantomim, tari, serta gerak," ujarnya. Di Indonesia, penggarapan naskah Menunggu Godot dalam bentuk selain teater belum lazim. Mimbar Teater Indonesia #IV menjadi tempat adu kreativitas dalam menggarap naskah berjudul asli En Attendant Godot yang sangat panjang itu. "Selama ini, naskah itu dikenal sebagai naskah drama klasik yang berat serta absurd."
Ahmad Rafiq
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo