Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

RRC Mengejar, Indonesia Menyesal (?)

Kejar-kejaran terjadi dalam pengumpulan medali. Jepang urutan teratas, terus dibuntuti RRC. Di lain pihak, Indonesia menyesal tak mengirim atlit terbaik cabang atletik. (or)

30 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DOMINASI Jepang dalam Asian Games masih belum tergoyahkan. Sejak AG I diselenggarakan di New Delhi, 1951, mereka tak pernah tergeser dari urutan pertama dalam pengumpulan medali. Tapi RRC mengejarnya. RRC mulai memasuki kegiatan olahraga Asia lewat AG VII di Teheran, '74. Sebelumnya kursi Cina diduduki oleh Taiwan. Dari urutan ketiga di Teheran, RRC melompat ke tempat kedua dalam AG VIII di Bangkok yang berakhir pekan lalu. Mereka mengumpulkan 51 emas, 54 perak, dan 46 perunggu. Dibandingkan mereka di AG VII memboyong 33 emas, 46 perak, dan 27 perunggu -- suatu lompatan menonjol terakhir ini. RRC mengikuti 16 dari 20 cabang olahraga yang dipertandingkan di Bangkok. Namun besarnya pengumpulan medali, belum bisa dijadikan takaran kemajuan mereka sepenuhnya. Apalagi Iran -- dengan dominasi dalam angkat besi dan gulat, menempati urutan kedua setelah Jepang di AG VII, sekali ini absen. Bahwa RRC adalah suatu kekuatan baru, memang sudah terbukti. Bagaimana betul hebatnya mereka sekarang? "Sulit untuk dikatakan," kata Hsia Te Chun, seorang tokoh olahraga dari RRC. "Sampai saat ini, kami belum punya banyak kesempatan untuk bertanding di gelanggang internasional." RRC memang belum menjadi anggota semua federasi olahraga dunia. Misalnya, Federasi Renang Internasional (FINA) dan Federasi Panahan Internasional (FITA). Kenyataan itulah yang menyebabkan Ku Ping Fu dari Federasi Olahraga RRC tampak sedikit merendah. "Olahraga di RRC masih terkebelakang," katanya. "Di beberapa cabang kami masih ketinggalan. Sebagai contoh, renang." Di AG VIII, hampir semua medali emas nomor renang direbut oleh atlit Jepang. Tapi diduga RRC akan memainkan peranan penting dalam dunia olahraga Asia, setelah AG VIII. Lahirnya Dewan Tertinggi Olahraga Asia (SCSA), lembaga yang akan lebih banyak bergerak di bidang pemerataan prestasi, sedikit, banyaknya adalah gagasan mereka. Permintaan atau pertukaran pelatih di cabang olahraga yang dibutuhkan oleh suatu negara Asia akan diatur lewat SCSA. Di Olympiade, nanti? Taiwan, masih anggota Komite Olympiade Internasional (IOC), walaupun Montreal tidak membolehkannya turut dalam Olympiade 1976. RRC tampak belum begitu pasti hadir dalam Olympiade 1980 di Moskow mengingat kurang lestarinya hubungan mereka dengan Uni Soviet. Secara politis, Uni Soviet kelihatan condong untuk mengundang Taiwan. Apalagi RRC belum mendapatkan kartu keanggotaan IOC. Dalam AG VIII, 6 di antara 25 negara peserta yang tak kebagian medali sama sekali. Mereka adalah Bahrain, Qatar, Nepal, Arab Saudi, Emirat Arab. dan Bangladesh. Kecuali Nepal dan Bangladesh sisanya adalah negara petro dollar. Kenyataan ini sekaligus membuktikan bahwa negara kaya belum tentu dengan sendirinya berprestasi dalam olahraga. Tak Perduli Tak kurang menarik adalah kehadiran Lebanon, negeri Arab yang masih dilanda kerusuhan. Datang dengan 3 atlit -- kontingen paling kecil, Lebanon berhasil memboyong 1 emas dan 1 perak dari cabang angkat besi. Bandingkan dengan Indonesia yang membawa 76 atlit dari 11 cabang olahraga, cuma memboyong 8 emas, 7 perak, dan 18 perunggu. Itu pun 7 medali emasnya didaat dari nomor-nomor yang kurang universil, seperti bulutangkis dan tenis -- cabang ini tidak dipertandingkan di Olympiade. Indonesia juga telah melakukan kesalahan dengan tidak mengirimkan atlit terbaik dari cabang olahraga atletik. Ancaman skorsing bagi peserta nomor atletik AG VIII dari Federasi Atletik Amatir Internasional (IAAF) tampak begitu menghantui mereka. Mengingat Indonesia akan menjadi tuan rumah SEA Games X, 1979. Ternyata, baik anggota Federasi SEA Games maupun negara Asia lainnya tidak memperdulikan ancaman tersebut. Mereka datang dan tetap menurunkan atlit terbaiknya. Andaikata kontingen Indonesia tetap mengirimkan Jeffry Mathelehamua dkk, mungkin terbawa juga medali atletik ke Jakarta. Pemegang medali emas AG VIII di nomor 100 m, Suchart Jaesuraparp dari Muangthai yang membetot waktu 10,44 detik hanya selisih tipis dengan prestasi Mathelehamual (10,5 detik). Juga Carolina Riewpassa, yang prestasinya tak lebih buruk dibandingkan pelari 200 m Muangthai, Usanee Laopinkarn yang meraih medali emas dengan tempo 24,81 detik. Rekor Riewpassa 24,2 detik. Prestasi ini memang dicatatnya di Ludenscheid, Jerman Barat. 6 tahun lalu. Tapi dalam pelatnas AG VIII, angka itu sudah kembali didekatinya. Di cabang sepakhola, ketidak-hadiran kesebelasan Indonesia, juga menjadi pertanyaan bagi publik, rm,lupun peserta AG VIII lainnya, di Bangkok. Bagi mereka, tim Indonesia tetap merupakan kesebelasan yang baik. Sekalipun untuk bersaing dengan Korea Utara atau Korea Selatan, juara kembar AG VIII, cukup berat, tentunya. Tapi pamor sepakbola ini belum tergeser. Empat tahun mendatang, AG IX diselenggarakan di New Delhi. Tampaknya bukan hanya persainan prestasi menjadi ketat, juga akan bertambah cabang vang dipertandingkan. Olahraga ketang kasan berkuda (Equestarian), dan golf merupakan nomor baru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus